Oleh: Juanda Djamal
Ketua Fraksi Partai Aceh, DPRK Aceh Besar (2019-2024).
Kureung Reumbang Tapeupah,
Pat njang salah tapeubeuna,
Tameusaboh Tapuwoe marwah bansa.
Tema diatas menjadi pesan yang dalam mengenai 14 tahun perjalanan perjuangan Partai Aceh (PA). Dimana PA bukan saja partai politik sebagaimana keberadaan partai lainnya. Namun, PA merupakan alat perjungan rakyat Aceh setelah transformasi strategi perjuangannya dari bersenjata ke politik dan diplomasi.
Dasarnya adalah perundingan perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Negara Republik Indonesia (NRI) telah menghasilkan perjanjian politik “damai” antara keduanya. Selanjutnya bersepakat menjalankan perjanjian dalam kerangka konstitusi Negara Republik Indonesia, Undang-undang No.11/2006 tentang penyelenggaraan Pemerintahan Aceh.
Perjanjian damai Helsinki dan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, juga mengatur transformasi GAM dari gerakan bersenjata ke gerakan politik, yaitu BAB XI, Pasal 75 – Pasal 95. Maka, atas transformasi GAM ke politik diatur secara sah dalam konstitusi Negara Republik Indonesia. Maka petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mendirikan Partai Aceh pada 7 Juli 2007 di Banda Aceh dan disahkan oleh Menkumham secara resmi.
Kapital Perjuangan Aceh
Kearajaan Aceh Darussalam (KAD) memberikan pembelajaran penting pada generasi kita hari ini, 400 tahun (1496-1903) keberadaan kesultanan Aceh telah menunjukkan nilai-nilai perjuangannya. Setidaknya kebangkitan KAD saat kesultanan Pasai meredup setelah perang panjang menghadapi Portugis, kebangkitannya mencapai puncak kejayaannya setelah 11 sultan memimpin Aceh yaitu era Sultan Iskandar muda (1607 – 1636), setidaknya butuh waktu 110 tahun atau lima generasi.
Meskipun kemudian secara perlahan mengalami penurunan, tentu banyak sekali faktornya. Namun salah satunya “konflik internal” atau perang saudara dalam memperebutkan kekuasaan, begitu pula mulai menghadapi bentuk-bentuk imperialisme dan kolonialisme, sampai perang Belanda dan Jepang, serta ketidakadilan republik sampai mengharuskan rakyat Aceh memberontak dua kali, kepemimpinan Tgk Daud Beureueh dan Tgk Muhammad Hasan di Tiro dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Perang sepanjang masa, dimulai saat maklumat perang Belanda 26 Maret 1873, dan berakhir saat perjanjian damai Helsinki (2005) telah meruntuhkan peradaban Aceh. Kesempatan kita untuk membangun sumber daya manusia (SDM) Aceh yang kuat agar mampu mengelola semua potensi Sumber Daya Alam (SDA) mengalami hambatan. Sebaliknya, energi kita terlalu banyak dihabiskan untuk berperang karena kedaulatan Aceh menjadi utama.
Energi Perang Kemandirian dan kemakmuran.
Kapital utama orang Aceh adalah jiwa berperang. Pantang menyerah untuk melawan, tentunya jiwa tersebut dibentuk oleh kuatnya identitas “Islam dan Aceh” yang menyatu. Sehingga dikenal “hukom ngon adat lagee zat and sifeut”. Maka, Snouck Hurgronje menyatakan selain ideologi jihad yang sudah tertanam dalam masyarakat Aceh, hal yang cukup berpengaruh bagi semangat pasukan Aceh adalah hikayat yang di dalamnya terdapat syair-syair yang mengandung ajakan berjihad.
Mengenai jihad orang Aceh banyak ditulis oleh para tokoh agama Aceh. Kekuatan inilah yang menjadi spirit dan energi untuk terus berperang. Namun setelah perjanjian damai Helsinki, spirit dan energi berperang telah bertransformasi dalam area politik dan diplomasi. Tentunya ini tangan berat, karena strategi “politik dan diplomasi” membutuhkan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dan persatuan.
Namun demikian, setelah 16 tahun damai MoU Helsinki dan 14 tahun berdirinya Partai Aceh (PA). Masih adakah jiwa perjuangan dalam diri kita?
Jawabannya tentu hanya bisa di jawab oleh pribadi-pribadi orang Aceh. Karena, transformasi aktor perjuangan atas generasi DI/TII, generasi GAM, dan “generasi intelektual 98” sudah menyebar ke dalam beragam sektor. Mulai menjadi kaum akademisi, pengusaha, kontraktor, aparatur sipil negara, petani dan bahkan politisi.
Kondisi demikian, seharusnya menjadi kekuatan, karena kesempatan untuk mengkreasikan gagasan sedemikian terbuka. Namun, sejauh ini kita masih terus berproses menemukan kerangka dan strategi yang lebih tepat untuk memanfaatkan kesempatan tersebut.
Pada sisi lain, kita pun jangan terlena dengan kekuasaan dan terus terjebak dalam kontradiksi internal Aceh. Snouck Hurgronje pernah mengatakan bahwa Perang Aceh bukan suatu perang antar kelas, melainkan perang rakyat. Karena itu perang Aceh tidak akan selesai jika masih ada rakyat yang melakukan perlawanan dan semua rakyat yang melakukan perlawanan harus dimusnahkan sampai tuntas.
Salah satu faktor yang memperlemah perjuangan Aceh hari ini adalah kontradiksi internal Aceh. Lebih fokus misalnya antara pejuang yang masih bertahan di luar Aceh dengan di dalam. Saling menyerang dan beradu argumen. Khususnya di dalam, karena mengikuti sistem politik demokrasi, maka perebutan kekuasaan “saling cah gateh” saat pemilu dan Pilkada, dan perebutan paket proyek untuk kepentingan personal. maka kian memperburuk keharmonisan dan menciptakan disorientasi atas agenda bersama “Aceh National Interest”.
Jadi, dengan momentum milad Partai Aceh ke-14. Hendaknya menjadi titik baru kebangkitan politik Aceh. Selain Kureung Reumbang Tapeupah, Pat njang salah tapeubeuna, kita juga dituntut untuk melakukan rekonsolidasi politik para pejuang Aceh.
“Tameusaboh Tapuwoe marwah bansa” Karena hanya kekuatan inilah yang dapat melakukan lompatan jauh kedepan. Mewujudkan “Kemandirian dan Kemakmuran”