Oleh: Zarkasyi Yusuf
ASN Pada Kanwil Kementerian Agama Provinsi Aceh. Berkhidmat Pada LAZIS-NU Aceh.
Kembang Tanjong kini menjadi destinasi wisata kuliner, media sosial dan kontribusi youtuber telah membumikan keunikan Kembang Tanjong, Kabupaten Pidie. Namun, reportase kali ini saya tidak akan bercerita tentang kuliner Kembang Tanjong, tetapi kisah dan semangat kedermawanan masyarakatnya terutama masyarakat tempo dulu, dampaknya masih bisa dirasakan sampai sekarang.
Bagi anda yang pernah melewati jalur Sigli – Kembang Tanjong, tepatnya kawasan kilometer sembilan, “batee sikureung” sebutan yang digunakan orang kampung saya, terdapat sebuah gampong bernama Aron Kuta Baro. Bermula dari gampong inilah saya akan kisahkan ie geupet bangau sebagai salah satu model filantropi masyarakat Kembang Tanjong tempo dulu, kira kira sekitaran tahun 1953.
Ie geupet bangau adalah sebutan untuk air putih yang ditempatkan dalam wadah kuali tanah yang diuapkan dengan membakar sikeum padee (ampas gabah padi), sehingga airnya hangat dan baunya terasa gurih. Ie geupet bangau ini disediakan setiap hari oleh seorang warga Aron Kuta Baro, hampir saban hari ia selalu menyediakannya, ditempatkan di ujung lorong menuju gampong, ujong lorong itu kebetulan di pinggiran jalan lintas Sigli-Kembang Tanjong.
Kehadiran ie geupet bangau menjadi rahmat tersendiri bagi warga yang lalu lalang Sigli- Kembang Tanjong. Mereka bisa menikmati air gratis, melepas dahaga saat kelelahan menuju atau pulang dari Sigli, baik pejalan kaki atau bersepeda dengan jarak perjalanan Sigli – Kembang Tanjong kurang lebih 12 kilometer. Kehadiran ie geupet bangau menjadi pelepas dahaga warga. Menyediakan ie geupeut bangau muncul dari kesadaran pribadi seorang hamba Allah yang bernama (Allah Yarham) Halimah, motivasinya hanya untuk membantu melepaskan dahaga mereka yang menempuh perjalanan Sigli-Kembang Tanjong ataupun sebaliknya. Ide ie geupet bangau menjadi salah satu bentuk kedermawanan dan bakti sosialnya, semoga Allah memberi keluasan kuburnya. Tidak hanya Halimah, Nurjannah adalah perempuan yang berkontribusi besar dalam merintis lahirnya mesjid Jamik di Kembang Tanjong yang dibangun pada tahun 1977 yang diberinama Mesjid Nurul Mukmin Kecamatan Kembang Tanjong.
Semangat kedermawanan masyarakat Kembang Tanjong puncaknya dibuktikan dengan pendirian sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Pembangunan Pendidikan Islam Pidie (YPPIP) pada tahun 1965. Terlalu lama tidak terdengar kabarnya dengan berbagai dinamika dan dialektika di dalamnya, kini nama yayasan tersebut telah berubah nama menjadi Yayasan Pendidikan Masyarakat Islam Kembang Tanjong (YPMIKT). Meskipun terjadi perubahan nama, tujuannya adalah untuk kemashlahatan agama, sosial dan pendidikan masyarakat Kembang Tanjong. Salah satu kontribusi YPPIP adalah lahirnya Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kembang Tanjong (MIN 26 Pidie) yang terletak di pusat kecamatan Kembang Tanjong.
Ie geupet bangau, hanya mewakili kisah sederhana kedermawanan masyarakat Kembang Tanjong tempo dulu. Semangat kedermawanan tumbuh dan berkembang bukan pada landasan pencitraan semata. Tumbuh dan berkembangnya semangat kedermawanan itu adalah bukti keshalehan dan ketaqwaan serta semangat untuk mewariskan kebaikan kepada anak cucu. Bukti lain semangat kedermawanan itu yang mamfaatnya masih dirasakan sampai sekarang adalah tanah wakaf sawah atau lazim dikenal dengan nama “umeung meusara”. Berdasarkan data wakaf dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Pidie, jumlah tanah wakaf (umeung meusara) dalam kecamatan Kembang Tanjong sebanyak 354 persil dengan luas 588.718 m2, tersebar dalam 45 desa dalam kecamatan Kembang Tanjong.
Melestarikan Semangat Filantropi.
Secara terminologi, filantropi diartikan dengan rasa kecintaan kepada manusia yang terpatri dalam bentuk pemberian derma kepada orang lain (Ilchman, 2006:vii-viii). Dalam bahasa Indonesia, istilah yang cukup sepadan dengan filantropi adalah “kedermawanan sosial”. Praktik sedekah, zakat (mal dan fitrah), sumbangan dan wakaf adalah manivestasi “kedermawanan sosial” yang begitu popular dalam masyarakat. Filantropi adalah kedermawanan sosial yang terprogram dan ditujukan untuk pengentasan masalah sosial (seperti kemiskinan) dalam jangka panjang. Filantropi merupakan konseptualisasi dari praktik penyediaan layanan sukarela (voluntary services), pemberian sumbangan sukarela (voluntary giving) dan asosiasi sukarela (voluntary association) untuk membantu pihak lain yang membutuhkan sebagai ekspresi rasa cinta dan kasih sayang (PALASTREN, 2019:105).
Dalam Islam, memiliki semangat kedermawanan adalah hal penting. Jika tidak, maka akan dianggap sebagai pendusta agama. Ini menjadi dasar filantropi Islam yang bersumber dari Surat al-Ma’un ayat 1-7, dijelaskan bahwa salah satu dari tanda orang yang mendustakan agama adalah tidak menyantuni anak yatim dan enggan menolong orang miskin. Terkait semangat filantropi, dalam al-Qur’an kata infaq dengan berbagai derivasinya terdapat 71 kali, kata shadaqah terdapat 24 kali, perintah mendirikan shalat kadang disandingkan dengan perintah menunaikan zakat. Diharapkan dengan konsep filantropi Islam, ummat ini paham bagaimana menjaga kemashalahatan agar tetap lestari dan terlaksana, sehingga tidak ada kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin.
Sekarang, semangat kedermawanan yang telah diwariskan oleh orang tua tempo dulu sejatinya dapat terus dijaga, dipertahankan serta diwarisi kepada anak anak cucu. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan, pertama. Menceritakan kembali kisah kisah bertuah yang menunjukkan betapa hebatnya orang tempo dulu dalam soal kedermawanan, mereka tidak pernah peduli dengan pencitraan. Hanya satu motivasinya, agar generasi berikutnya bahagia dan lebih sejahtera. Kedua, pergunakan apa yang telah diwariskan oleh orang tempo dulu sesuai dengan peruntukannya, dipergunakan sebaik-baiknya untuk kemashlahatan dan mampu meningkatkan kesejahteraan. Ketiga, kita jangan hanya menikmati hasil dari semangat filantropi orang tempo dulu. Tetapi, bagaimana merevitalisasi semangat semangat tersebut menjadi semangat baru bagi kita dan generasi yang akan datang, sehingga kita akan mampu mengulang sejarah kehebatan para pendahulu. Imam Jalaluddin as-Suyuthi (1445 – 1505 M) dalam sebait syair menjelaskan, “wa khairun nas dzu syarafin qadim, aqama linafsihi syarfan jadida” (sebaik-baik manusia adalah mereka yang memiliki kemulian masa lalu, kemudian menjadikannya menjadi motivasi untuk meraih kemulian-kemulian baru).
Terkait semangat filantropi masyarakat Kembang Tanjong, ikhtiar untuk menghargai, melestarikan semangat kedermawanan mereka yang telah mengorbankan pikiran, tenaga dan harta demi keberlangsungan dan kesejahteraan hidup anak cucunya adalah dengan menjaga serta memposisikannya pada tempat yang sesuai, agar mampu menjadi salah satu jalan untuk meraih kemashlahatan, meningkatkan kesejahteraan serta menjadi semangat dalam melahirkan kebaikan-kebaikan baru, untuk sekarang dan masa yang akan datang. Satu lagi, jangan pernah lupa untuk menghadirkan setiap untaian do’a atas kebaikan-kebaikan yang telah mereka perbuat, semoga diampuni dosa-dosanya dan diterima segala amal kebaikannya. Ingat, salah satu indikator bangsa yang besar adalah mampu menghargai jasa-jasa para pendahulunya.[]