Oleh: Jabal Ali Husin Sab
Analisis Kebijakan Publik Saman Strategic Indonesia.
Salah satu faktor yang menjadi stimulus utama dalam aktivitas ekonomi; baik dalam upaya menaikkan taraf perekonomian, memberantas kemiskinan maupun dalam upaya mendorong tumbuhnya kewirausahaan (entrepreneurship) adalah permodalan atau pembiayaan dari bank atau lembaga keuangan lainnya.
Jika kita merujuk kepada pola pembiayaan lembaga keuangan konvensional, baik bank pemerintah, bank swasta maupun lembaga keuangan lain yang meminjamkan sejumlah uang, maka kita akan menemukan sejumlah hal yang bisa dikatakan menjadi kendala, khususnya bagi usahawan yang belum dan baru memulai usaha, maupun kalangan penduduk dari taraf kehidupan paling miskin yang hendak membangun sebuah usaha.
Pinjaman bank pada umumnya mensyaratkan agunan atau jaminan untuk dapat meminjam sejumlah uang dengan mekanisme pembayaran uang harus diangsur sejak bulan pertama setelah sejumlah uang dipinjamkan dengan lama pembayaran angsuran yang relatif terbatas.
Bank atau lembaga keuangan lain juga mensyaratkan usaha yang telah berjalan untuk dapat meminjam sejumlah uang. Sistem pembiayaan seperti ini tidak akan melahirkan usahawan yang benar-benar baru, melainkan hanya mengembangkan usaha milik usahawan atau pelaku UMKM yang telah memulai usahanya. Padahal kita menginginkan lahirnya banyak usahawan baru, menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan taraf hidup penduduk miskin dengan memberi kesempatan bagi mereka menjalankan usaha.
Jika pinjaman uang hanya diberikan atas jaminan agunan, tentu sedikit sekali kelompok masyarakat yang mampu. Sudah pasti model pinjaman seperti ini hanya menguntungkan bagi mereka yang punya aset ataupun mereka yang mampu, hanya saja tidak punya aset cair.
Pembiayaan Mikro (Microfinance)
Untuk itu disini saya terinspirasi dengan Grameen Bank yang didirikan oleh Muhammad Yunus di Bangladesh. Grameen Bank memberikan pinjaman kepada penduduk miskin untuk menjalankan usaha dengan pinjaman yang relatif kecil atau disebut dengan microfinance atau pembiayaan mikro. Di Bangladesh, Grameen Bank telah berhasil menghidupkan banyak usaha baru dan efektif dalam menanggulangi kemiskinan di negara tersebut.
Kira-kira satu tahun lalu, saya mendengar di YouTube bahwa Ray Dalio, seorang milyuner, investor sukses dan tokoh filantropi di Amerika Serikat mempromosikan konsep microfinance ini melalui Grameen Bank America.
Menariknya, Grameen Bank yang awalnya didirikan di Bangladesh kemudian ditiru konsepnya dan didirikan di Amerika Serikat dengan pendanaan melalui filantropi. Ray Dalio sendiri menjadi salah satu founder dan board di Grameen Bank America.
Di Amerika Serikat, setidaknya mereka telah meminjamkan uang sejumlah 2 miliar US Dollar dengan rata-rata peminjam mendapatkan pinjaman sebesar 4.200 US Dollar atau setara dengan 65 juta rupiah. Uniknya, tingkat pengembalian pinjaman mencapai 99 persen, lebih besar dari pengembalian pinjaman dari kredit-kreditnya para konglomerat.
Ray Dalio menjelaskan bahwa pinjaman yang diberikan tersebut jumlahnya sebesar yang dibutuhkan untuk memulai suatu usaha. Misal, memberikan pinjaman sebesar yang dibutuhkan untuk membeli mesin cuci bagi yang ingin memulai bisnis laundry. Sesederhana itu.
Hanya saja selama ini perhatian lembaga keuangan untuk memberikan pinjaman mikro yang bermaksud mengembangkan usaha mikro terbilang kecil. Penduduk miskin yang tidak memiliki aset apapun untuk dijadikan agunan tidak mendapat kesempatan mengakses pembiayaan dari bank.
Kemudian dalam microfinance di Grameen Bank America, lama tenor atau masa pinjaman pun dipanjangkan agar uang terus berputar di masyarakat. Lama pinjaman bisa mencapai hingga 10 tahun. Dengan makin lama tenor pinjaman, maka si peminjam bisa terus memanfaatkan pinjamannya untuk terus diputar dan digunakan dalam membangun usahanya. Disamping itu, beban harian untuk membayar tagihan pun terbilang menjadi relatif kecil karena beban waktu peminjaman lama.
Jika memang bank-bank daerah kita, semisal Bank Aceh dan BPR Mustaqim membuat sebuah layanan perbankan baru berupa pembiayaan mikro atau microfinance semacam model Grameen Bank seperti yang telah saya jelaskan di atas, atau memang dibangun bank perkreditan khusus mikro lainnya, saya percaya bahwa masalah kemiskinan di Aceh dapat teratasi dengan melahirkan banyak usahawan baru, meningkatkan jumlah UMKM dan juga berkontribusi dalam menekan jumlah pengangguran.
Lembaga Keuangan Khusus Sektor Pertanian: Bank Tani
Salah satu masalah lain terkait pembiayaan perbankan adalah bahwa sistem pembiayaan perbankan mengharuskan peminjam untuk membayar pinjaman sebulan setelah pinjaman diterima. Model pembiayaan seperti ini kurang cocok bagi petani.
Petani membutuhkan uang sebagai modal pada masa tanam untuk membeli kebutuhan seperti pupuk, benih dan yang lainnya. Sementara petani baru mendapatkan uang untuk membayar pinjamannya adalah ketika masa panen, saat hasil panennya terjual.
Untuk itu harus ada sistem pembiayaan khusus yang menyesuaikan dengan pola kerja petani. Maka perlu diinisiasi lembaga keuangan khusus untuk memberi pinjaman bagi petani dalam memenuhi kebutuhan pertaniannya. Mungkin kita bisa menyebutnya dengan Bank Tani.
Dengan mendirikan lembaga keuangan khusus bagi petani, hal ini berpotensi untuk mendongkrak produktivitas hasil pertanian kita. Dengan adanya ketersediaan modal, maka sektor pertanian kita dipastikan akan bergairah.
Sebagai provinsi yang bertumpu pada sektor pertanian, dimana salah satu kendala bagi petani selama ini, sebagaimana saya temukan dalam pengkajian dan wawancara adalah masalah modal. Petani seringkali tidak punya modal pada masa tanam dan terpaksa berurusan dengan rentenir untuk dapat melakukan proses tanam dengan konsekuensi hasil tani dibeli rentenir dengan harga yang lebih rendah. Akhirnya petani mendapatkan keuntungan yang relatif minim.
Menyesuaikan Dengan Syariat Islam
Salah satu hal yang harus dihindari dari sebuah kegiatan ekonomi adalah proses-proses yang dilarang oleh syariat, salah satunya adalah riba.
Apabila bank atau lembaga keuangan meminjamkan sejumlah uang dalam tempo tertentu dan dibayar dengan jumlah lebih dari yang dipinjamkan, maka bank mengambil manfaat dari pinjaman dan hal ini dikategorikan sebagai riba.
Untuk menghindari transaksi riba, pembiayaan mikro maupun bank tani yang saya sebutkan sebelumnya, dapat menyesuaikan pola pembiayaannya sesuai dengan syariat. Caranya adalah, bank tidak memberikan pinjaman uang, melainkan peminjam membeli kebutuhan usahanya dari bank dengan harga yang memberi keuntungan bagi bank namun juga terjangkau bagi nasabah, dengan dibayar cicil. Maka akad yang dipakai adalah jual beli dengan pembayaran cicil. Hal ini terbilang sah secara syariat dan terhindar dari riba.
Maka melalui tulisan ini, apabila pemerintah di level provinsi maupun kabupaten/kota mencoba melahirkan alternatif pembiayaan perbankan melalui pembiayaan mikro bagi UMKM dan Bank Tani bagi petani sebagaimana yang telah dijelaskan, saya yakin kebijakan ini akan mampu menggenjot pertumbuhan ekonomi masyarakat, khususnya di sektor riil. Yang mana dampaknya akan langsung dirasakan masyarakat dengan peningkatan taraf penghasilan dan memberikan peluang terciptanya lapangan kerja serta melahirkan banyak usahawan baru.