Oleh: Hayatullah Pasee
Koordinator Forum Aceh Menulis (FAMe)
Kabar duka datang dari Darussalam Banda Aceh. Dr. Tgk Baharuddin AR atau yang sering kami sebut Aduen Baha berpulang untuk selamanya. Beliau orang tua sekaligus guru kami di keluarga besar Ikatan Pemuda Aceh Utara (IPAU) yang berasal Buloh.
Selama hidupnya, beliau bukan pendendam. Apa yang mengganjal di pikirannya tidak sungkan untuk diutarakan, istilah dalam bahasa Aceh, kiban crah meunan beukah.
Saya mulai mengenalnya saat belajar Ilmu Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) di Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry (UIN sekarang). Beliau begitu bersemangat saat memberikan mata kuliah komunikasi politik. Beliau sering memotivasi mahasiswa untuk mampu menjadi orator, bahkan untuk orator di panggung-panggung politik sekalipun.
Almarhum juga rajin dan senang bersilaturahmi. Beliau begitu peduli terhadap orang yang terkena musibah, seperti kematian atau musibah lainnya. Sifat suka memudahkan urusan orang lain melekat pada dirinya.
Saya masih teringat, saat masih kuliah sarjana, beliau pembimbing pertama skripsi saya. Agar skripsi saya cepat selesai, beliau membimbing langsung tanpa harus dibimbing oleh pembimbing kedua, Pak Fairus Ibrahim terlebih dahulu. Biasanya, pembimbing pertama gengsi kalau belum ke pembimbing kedua. Istilahnya jangan coba-coba ke pembimbing pertama kalau belum ke pembimbing kedua. Namun aturan itu tidak berlaku untuk beliau. Meskipun begitu, saya menghargai pembimbing kedua, tetap saya datang untuk mendapatkan bimbingan dari keduanya.
Alhamdulillah, dua bulan skripsi saya rampung. Karena saya sejak masih kuliah sudah jadi jurnalis, judul yang saya angkat, yaitu Analisis Press Release LSM Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh. Begitu sidang munaqasyah dibuka, beliau selaku pembimbing pertama langsung menyelutuk, “Ini bukan meja penghakiman, jangan membuat mahasiswa seperti diadili di depan para penguji.” Pak Yarmen Dinamika dan Pak Syukri Syama’un selaku penguji tersenyum mendengarnya.
Sidang skripsi saya berjalan lancar dengan durasi waktu selama 30 menit. Lumayan singkat. Saya benar-benar tidak merasa sedang diuji tetapi lebih kepada diajak bercanda.
Yang menarik bagi saya serta menjadi motivasi, yaitu beliau meminta saya menulis ulang skripsi saya dalam bentuk format buku. Selama berdiri Fakultas Dakwah belum ada penelitian dengan tema seperti yang saya lakukan. Bahkan mata kuliah Press Release kekurangan bahan saat itu. Akhirnya, skripsi itu saya tulis ulang dan diterbitkan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh (DPKA) dan mendapatkan honor sebagai royalti Rp7 juta. Lumayan menurut saya selaku mahasiswa membuat skripsi dapat cuan.
Sejak saat itu, saya suka menulis buku. Ada kepuasan tersendiri ketika memegang sebuah susunan kertas yang sudah ber-ISBN di sampulnya ada nama saya. Dan, yang paling terkesan lagi saya dengan almarhum adalah ketika saya bermasalah dengan salah seorang penjabat UIN. Saya mengkritik kebijakan UIN dalam hal pemberian sertifikat mahasiswa berprestasi yang kurang manusiawi menurut saya. Masalah itu berbuntut panjang. Ada beberapa orang yang berdiri di pihak saya waktu itu, yaitu Aduen Baha, aduen Teuku Murdani dan beberapa senior lainnya.
Saat itu, ada isu saya mau dikeluarkan sebagai mahasiswa pascasarjana gegara kritikan itu, beliau yang paling vokal membela saya. Bahkan beliau sampaikan, “Menye kaneuk mita masalah ngen Hayatullah Pasee, kaduek dile ngen lon, mangat katusoe soe jih.” Saya lupa beliau sampaikan itu di forum mana, tetapi informasi itu sampai ke saya.
Sejak saat itu, saya benar-benar menganggap beliau seperti orang tua saya. Beliau melindungi anak-anaknya walaupun kami sendiri sedikit nakal.
Terima kasih guru sekaligus orang tua kami. Semoga Allah terima amal ibadahnya dan diampunkan segala dosanya. Selamat jalan sang inspirator. []




















