Oleh: Muna Yastuti Madrah
Dosen di Fakultas Agama Islam Universitas Islam Sultan Agung
Setiap 2 Mei, kita merayakan Hari Pendidikan Nasional. Upacara diadakan, baliho dipasang, dan pidato tentang kemajuan dibacakan. Tapi di balik semua itu, pernahkah kita bertanya: untuk siapa sebenarnya pendidikan kita dibangun? Apakah untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan dan ketidakadilan? Atau justru untuk memenuhi kebutuhan pasar global yang bahkan tak dapat kita kendalikan?
Dalam beberapa dekade terakhir, wajah pendidikan di Indonesia berubah drastis. Kampus bukan lagi sekadar ruang pencarian ilmu, tetapi menjadi pusat perebutan akreditasi, branding institusi, dan persaingan masuk peringkat dunia. Gelar guru besar semakin dikejar, meski kualitas “menjadinya” sering dilewatkan. Kampus didorong mengejar kuota mahasiswa asing sebagai bentuk internasionalisasi. Di permukaannya tampak menjanjikan, tapi mari kita jujur: pendidikan kita kini makin disesuaikan dengan kebutuhan pasar mereka, bukan kebutuhan rakyat kita.
Melihat dari Perspektif Geopolitik: Mengapa Pendidikan Terdampak?
Geopolitik adalah cara pandang yang melihat bagaimana lokasi geografis dan kekuatan politik saling memengaruhi dalam perebutan pengaruh global. Dalam konteks pendidikan, geopolitik berperan besar: negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Tiongkok tidak hanya bersaing dalam tarif dagang dan teknologi, tetapi juga dalam penyebaran nilai, model pendidikan, dan dominasi pengetahuan.
Kita bisa lihat dari derasnya beasiswa luar negeri, kampus asing yang membuka cabang di negara berkembang, hingga standarisasi internasional yang diselipkan lewat kerja sama pendidikan. Kedengarannya bagus. Tapi ada yang harus kita kritisi: ketika standar global itu lebih mencerminkan kepentingan ekonomi dan politik negara kuat, apakah kita sedang mendidik untuk merdeka atau justru melanggengkan ketergantungan?
Dampak dari arus geopolitik itu nyata terasa dalam kebijakan pendidikan di dalam negeri. Standar global yang dibawa masuk lewat kerja sama internasional sering kali diadopsi tanpa proses kontekstualisasi. Alih-alih memperkuat karakter dan kemandirian pendidikan nasional, kita justru tergoda meniru segala yang berbau internasional—mulai dari model kurikulum, cara berpikir, hingga gaya manajemen pendidikan. Dalam banyak kasus, institusi pendidikan terjebak dalam obsesi terhadap “citra global” alih-alih menjawab kebutuhan riil masyarakat.
Sebagai gambaran, mari cermati maraknya berbagai pilihan model pencapaian gelar akademik. Ada yang reguler, kelas karyawan, hingga program akselerasi. Kampus berlomba membuka prodi kekinian yang mudah dijual, sementara bidang-bidang ilmu yang dianggap “tidak marketable” dipinggirkan. Riset dituntut menghasilkan paten, bukan solusi. Bahkan, sekolah dasar pun kini diserbu tren digitalisasi tanpa memperhatikan kesiapan guru atau kebutuhan kontekstual siswa.
Ketegangan dagang antara AS dan Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir, misalnya, tidak hanya berdampak pada ekspor-impor barang, tetapi juga pada aliran teknologi, kebijakan beasiswa, hingga program-program pendidikan tinggi lintas negara. Indonesia yang berada di kawasan Indo-Pasifik menjadi wilayah strategis yang tak luput dari pengaruh ini. Banyak kampus didorong untuk menjalin kerja sama dengan lembaga asing, kadang lebih karena pertimbangan politik dan akses pendanaan ketimbang kebutuhan akademik yang berbasis lokal. Dalam banyak kasus, kerja sama internasional ini membawa agenda yang bersifat asimetris—di mana pihak Indonesia menjadi penerima model, bukan pencipta kebijakan. Hal ini memperkuat posisi pendidikan Indonesia sebagai konsumen pengetahuan, bukan produsen ide-ide baru.
Kurikulum pun demikian. Banyak yang dibentuk untuk menyiapkan anak-anak kita agar “kompetitif” di pasar global. Tapi pasar siapa? Untuk pekerjaan macam apa? Jika sebagian besar lulusan akhirnya menjadi buruh migran, pekerja lepas di platform digital, atau pelayan dalam industri pariwisata asing—maka di mana letak visi kemandirian bangsa?
Pendidikan Islam Juga Tak Kebal: Sebuah Refleksi Kritis
Sebagai pengajar politik pendidikan Islam, saya tidak menutup mata. Dunia pendidikan Islam pun tak kebal dari tarik-menarik geopolitik dan pasar. Lembaga pendidikan Islam kadang terlalu sibuk menyesuaikan diri dengan jargon moderasi, kurikulum internasional, dan digitalisasi simbolik—namun kehilangan arah dalam membangun kesadaran kritis.
Padahal Islam memiliki warisan intelektual besar yang mampu membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan. Konsep seperti tauhid, adab, dan rahmatan lil alamin semestinya bukan hanya jargon brosur kampus, tetapi ditanamkan sebagai kesadaran sosial-politik: bahwa belajar adalah tindakan pembebasan, bukan penyesuaian.
Sayangnya, banyak lembaga pendidikan Islam justru menjadi tempat lahirnya kepasifan. Bukannya mengkritisi struktur global yang timpang, kita malah sibuk meniru model kampus luar, mengidolakan ranking QS, dan menjadikan beasiswa luar negeri sebagai puncak prestasi, tanpa mempertanyakan konsekuensi sosialnya.
Hari Pendidikan Nasional seharusnya tidak sekadar dirayakan dengan simbol dan selebrasi. Ia harus dijadikan momen untuk mengoreksi arah. Kita butuh pendidikan yang berpihak—pada rakyat, pada keadilan sosial, dan pada masa depan yang berdaulat. Pendidikan yang tidak hanya mengejar akreditasi, tapi membentuk karakter warga negara yang berpikir kritis, solutif, dan merdeka dari hegemoni pasar global.
Sebagai pendidik, pembuat kebijakan, atau orang tua, kita semua memiliki peran dalam membentuk arah pendidikan bangsa. Mari kita pastikan bahwa pendidikan benar-benar menjadi alat pembebasan, bukan sekadar komoditas pasar.
Hari ini, mari kita jujur pada diri sendiri: pendidikan kita memang berkembang—namun apakah benar ia telah membebaskan? Telah memerdekakan?
Selamat Hari Pendidikan Nasional!