Oleh: Ns. Kurnia Wijayanti, S.Kep., M.Kep.
Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Islam Sultan Agung, Semarang; Penerima Program Hibah Pengabdian Masyarakat Terintegrasi MBKM 2022
Stunting merupakan salah satu permasalahan utama di Indonesia. Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 oleh Kementerian Kesehatan, angka prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2021 sebesar 24,4%. Stunting pada masa kanak-kanak adalah salah satu hambatan paling signifikan bagi perkembangan manusia. Secara global mempengaruhi sekitar 162 juta anak di bawah usia 5 tahun. Stunting, atau terlalu pendek untuk usia seseorang, didefinisikan sebagai tinggi badan yang lebih dari dua standar deviasi di bawah median standar pertumbuhan anak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Stunting adalah kondisi ketika balita memiliki tinggi badan di bawah rata-rata. Ini bukan berarti kekerdilan tapi stunting artinya kekurangan gizi dalam waktu yang panjang tidak sesuai dengan kebutuhan. Stunting berpotensi memperlambat perkembangan otak, dengan dampak jangka panjang berupa keterbelakangan mental, rendahnya kemampuan belajar, dan risiko serangan penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, hingga obesitas.
Stunting seringkali dimulai sejak dalam kandungan dan berlanjut selama 2 tahun pertama kehidupan setelah bayi dilahirkan. Di beberapa tempat, determinan stunting prenatal tampaknya lebih berpengaruh daripada yang lain. Dalam sebuah penelitian di Indonesia (Schmidt et al. 2002), panjang bayi baru lahir merupakan penentu yang lebih kuat dari panjang badan menurut usia pada 12 bulan dibandingkan dengan faktor lain yang diteliti.
Stunting dapat terjadi pada berbagai profil keluarga, namun umumnya anak stunting lebih banyak terjadi pada keluarga dengan keluarga tidak tamat Sekolah Dasar, ibu yang terlalu muda, dan anak yang lahir dengan BBLR. Adanya ketidaktahuan orang tua atau keluarga terhadap asupan gizi anak yang menjadi penyebab hal ini terjadi. Juga dikarenakan faktor ekonomi keluarga. Sebab, untuk mencukupi gizi anak ini membutuhkan biaya tersendiri.
Apa dampak stunting bagi negara?
Jumlah penduduk Indonesia yang menempati urutan kelima di dunia, alih-alih menjadi berkah, bonus demografi terancam menjadi malapetaka karena tingginya persentase balita penderita stunting di Indonesia. Padahal, balita saat inilah yang kelak menjadi tenaga produktif di masa depan. Dalam hal ini, penduduk miskin cenderung memiliki prevalensi stunting yang lebih tinggi dibandingkan penduduk miskin, dan hampir 4-54% penduduk Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan minimum makanan bergizi. Malnutrisi kronis adalah hambatan terbesar bagi potensi anak dan pembangunan sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Berdasarkan data Human Development Report UNDP 2016, Indonesia memiliki angka IPM yang masih tertinggal jauh bila dibandingkan dengan 4 negara ASEAN lainnya, yakni (5) Singapura (IPM: 0.925); (30) Brunei (IPM: 0.865); (59) Malaysia (IPM: 0.789); (87) Thailand (IPM: 0.740); (113) Indonesia (IPM: 0.689). Ini menunjukkan lambatnya laju peningkatan kualitas pembangunan SDM kita sejak zaman kemerdekaan bila dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, bahkan dengan negara/negara ASEAN.
Keseriusan pemerintah dalam menangani permasalahan stunting juga kian dituntut sigap mengingat dampak stunting terhadap perekonomian tidak kecil. Berdasarkan data yang diolah dari laporan World Bank Investing in Early Years Brief, 2016, stunting dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi dan produktivitas pasar kerja terhambat serta memperburuk kesenjangan/inequality. Catatan Bank Dunia (2016) menyatakan bahwa dalam jangka panjang stunting dapat menimbulkan kerugian ekonomi sebesar 2-3% dari produk domestik bruto (PDB) per tahun. Jika PDB Indonesia sebesar Rp13.000 triliun, diperkirakan potensi kerugian akibat stunting dapat mencapai Rp260 triliun-390 triliun per tahun.
Pendekatan multisektoral dan sinergi lintas sektoral
Berbagai bentuk kebijakan telah direncanakan dan disempurnakan hingga akhirnya sampai pada Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 berjudul “Rencana Aksi Nasional Percepatan Penanggulangan Stunting”, yang mulai memperkuat konvergensi melalui penyediaan data, pendampingan keluarga dari Calon Pengantin, pengawasan terhadap keluarga berisiko stunting kepada anak usia 24 s/d 59 bulan, dan audit kasus stunting. Beberapa upaya tersebut dilakukan mengingat angka stunting di Indonesia masih tertinggi kedua setelah Papua Nugini di Asia-Pasifik. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah stunting ini dibutuhkan peran banyak pihak, mulai dari tingkat pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, pemerintah kota/kabupaten, sampai ke pemerintah kecamatan dan desa.
Program penurunan angka prevalensi stunting kini menjadi prioritas pembangunan, diharapkan program ini dapat terlaksana tepat sasaran. Berbagai program penurunan angka prevalensi stunting yang telah direncanakan oleh pemerintah pusat harus terintegrasi hingga ke desa mulai dari pembangunan posyandu, penyediaan makanan sehat, pembangunan sanitasi dan air bersih hingga balai pengobatan desa dan lainnya. Selain menggunakan alokasi belanja dana kesehatan, semua itu juga bisa memanfaatkan dana desa.
Terlepas dari alokasi dana desa yang disalurkan untuk penanganan stunting, pemerintah sejatinya perlu mengawasi dan memastikan program tersebut sudah tepat sasaran. Sebab persoalan stunting tidak bisa diukur dari satu faktor saja untuk dapat mewujudkan generasi premium Indonesia di masa depan. Termasuk harus adanya intervensi gizi yang dilakukan Pemerintah Daerah atau menjadi program Pemerintah Provinsi. Biasanya program intervensi gizi dengan memberikan makanan tambahan gizi. Minimal program dilakukan selama 30 hari hingga 3 bulan ke depan berupa bantuan tambahan makanan. Setelah itu, baru nanti dilihat perkembangannya.
Beberapa hal yang dapat menjadi inovasi dalam mengurangi stunting meliputi komitmrn politik yang berkelanjutan, adanya kegiatan multisektoral, focus pada intervensi berdasarkan bukti keberhasilan, peningkatan akses layanan kesehatan berkualitas, dan mobilitas dan keterlibatan masyarakat untuk pemberian dan pemanfaatan layanan. Mengurangi prevalensi stunting merupakan tonggak penting untuk meningkatkan hasil belajar bagi anak-anak dan produktivitas masa depan. Jika tren seperti itu dipertahankan, ini akan berdampak lama pada sumber daya manusia.
Pentingnya pendekatan program multifase ini untuk meningkatkan hasil gizi menjadi semakin nyata dan membutuhkan pendekatan multisektoral untuk mempercepat kemajuan pengurangan stunting. Pada fase ini juga akan meningkatkan sinergi dengan investasi sektoral lainnya, khususnya di bidang pertanian dan perlindungan sosial, untuk mendukung hasil gizi yang lebih baik. Bukti menunjukkan bahwa cakupan yang lebih besar dari ketahanan pangan, perlindungan sosial, dan intervensi gizi untuk yang paling rentan dan termiskin berkontribusi pada upaya untuk mengurangi kemiskinan, kerawanan pangan kronis, dan stunting.
Kemajuan menuju pengurangan stunting akan datang dengan memastikan akses layanan giizi langsung dan intervensi sensitive gizi, melalui kombinasi fasilitas masyarakat yang kuat dengan sumber daya yang baik, sistem persediaan yang memadai dan kepemimpinan yang terkoordinasi, berkolaborasi lintas sektor pemerintah dan masyarakat sipil.
Paket Intervensi
Pengurangan stunting tidak terjadi hanya dengan satu kegiatan melainkan diperlukan paket intervensi meliputi: (1) Memberdayakan dan mendukung upaya koordinasi tenaga kesehatan berbasis rumah sakit dan kesehatan masyarakat atau bidan; (2) Upaya yang terkoordinasi dan terkonsentrasi untuk mengatasi penyebab langsung seperti penyakit dan asupan makanan serta penyebab mendasar akses ke perawatan kesehatan yang berkualitas, pendidikan dan pengentasan kemiskinan sangat penting, intervensi untuk mengatasi stunting harus saling terkait dan beragam seperti penyebabnya. Penyebab stunting tidak linier, sehingga respon terhadap stunting juga tidak linier; (3) Pendirian “Rumah Cegah Stunting” dan Pembentukan “Kader Smart Cegah Stunting”; (4) Bantuan tunai dapat digunakan untuk membeli makanan padat gizi selama masa kehamilan, laktasi dan MP-ASI, menambah penghasilan dan meningkatkan akses pelayanan kesehatan. Selain itu merangsang pasar dan ekonomi lokal untuk meningkatkan ketersediaan pangan bergizi, dan memberdayakan perempuan melalui penguasaan sumber daya.
Peran Kader Smart Cegah Stunting
Rumah cegah stunting dapat menjadi rumah singgah ataupun tempat konsultasi dan pelayanan stunting bagi warga setempat. Analogi sebuah keluarga, rumah cegah stunting dipimpin oleh seorang dokter, atau bidang, atau perawat, atau ahli kesehatan dari warga setempat yang ditunjuk oleh kepala desa. Sebagai Pembina Kader Smart Cegah Stunting adalah ibu Kepala Desa setempat. Sedangkan anggota keluarga dari rumah cegah stunting adalah para kader smart cegah stunting. Jumlah anggota kader smart cegah stunting disesuaikan dengan perbandingan jumlah penduduk di desa yang bersangkutan. Jika desa terdiri dari beberapa dusun maka tiap dusun harus ada keterwakilan kader smart stunting.
Para Kader Smart Cegah Stunting menjadi garda terdepan dalam penyuluhan tentang stunting melalui Posyandu di dusun masing-masing. Para Kader Smart Cegah Stunting dibekali dengan pengetahuan tentang stunting, cara mendeteksi, dan pencegahan sejak dini angka stunting pada anak. Para Kader Smart Cegah Stunting juga diberi pelatihan keterampilan menggunakan alat deteksi tumbuh kembang pra screening perkembangan anak dan alat pengukuran pencegahan resiko stunting. Mereka dapat melakukan edukasi pentingnya pemberian gizi seimbang pada anak di Posyandu. Mereka melakukan kampanye kesadaran public untuk mempromosikan pesan-pesan kunci, misalnya: Pemberian ASI Ekslusif, Fortifikasi makanan sehat (rumah dan makanan pokok), Peduli kesehatan ibu dan anak, sanitasi, dan sebagainya.
Kesimpulannya bahwa upaya pemerintah dalam mencegah dan percepatan menurunkan angka stunting perlu memberdayakan serta melibatkan peran serta masyarakat sampai pelosok desa. Pembentukan Rumah Cegah Stunting dan Kader Smart Cegah Stunting melalui intervensi dan kampanye sangat efektif membantu pemerintah mensosialisasikan pengetahuan dan mempercepatan penurunan angka stunting di masyarakat. Melalui Kader Smart Cegah Stunting maka alih pengetahuan dan alih keterampilan dari Kader kepada masyarakat menjadi lebih cepat dan efektif.[]