Oleh: Safuadi. ST., M.Sc., Ph.D
Kepala Perwakilan Kementerian Keuangan Provinsi Aceh
“Paradoks Aceh: Kaya Tapi Miskin”
Aceh, tanah yang diberkahi laut yang biru, hutan yang hijau, dan tanah yang kaya dengan emas, kopi, hingga gas bumi. Tapi, ada satu pertanyaan besar yang terus menggema: Mengapa provinsi dengan segala limpahan kekayaan ini justru masuk daftar daerah termiskin di Indonesia? Bagaimana mungkin, tanah yang disebut ‘Serambi Mekah’—tempat budaya, sejarah, dan sumber daya bertemu—tak mampu membawa kemakmuran bagi rakyatnya sendiri?”
“Bayangkan ini: Setiap tahun, Rp49 triliun dana segar dikirimkan dari pusat ke Aceh. Tapi dari jumlah itu, Rp44 triliun keluar lagi untuk membeli barang-barang yang kita tak produksi sendiri. Aceh seolah menjadi kolam yang diisi, lalu bocor tanpa henti. Apakah ini takdir? Atau, hanya cerminan dari potensi yang salah kelola?”
“Hari ini, kita tidak bicara soal menyalahkan siapa-siapa. Kita bicara tentang memahami paradoks ini. Tentang membongkar apa yang salah dan bagaimana kita bisa membuat Aceh yang benar-benar kaya—bukan hanya di atas kertas, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Karena Aceh bukan hanya tentang masa lalu yang megah, tapi masa depan yang bisa kita bentuk bersama.”
“Bayangkan sebuah daerah yang dikenal dunia bukan hanya karena sejarahnya, tetapi juga karena potensinya. Bukan hanya karena tragedinya, tetapi karena kebangkitannya. Itulah Aceh, tanah yang memiliki segalanya: budaya, keindahan alam, sumber daya, dan nilai-nilai luhur. Namun, apa yang terjadi? Mengapa nama Aceh di panggung dunia lebih sering terdengar sebagai cerita lama daripada kisah baru?”
“Selamat datang di perjalanan ini. Sebuah eksplorasi tentang harapan, tantangan, dan solusi. Ini bukan hanya cerita tentang Aceh. Ini adalah kisah tentang bagaimana kita bisa mengubah kemiskinan menjadi kemakmuran, dan potensi menjadi realita. Mari kita mulai.”
Saya ingin mengawali refleksi akhir tahun dengan sebuah ungkapan perasaan dan pemikiran saya. Di bawah langit yang menaungi tanah Aceh, tempat sejarah menyatu dengan harapan, saya menulis dan mengantarkan ke hadapan Anda untuk menyampaikan pandangan tentang peluang dan tantangan ekonomi yang ada di Aceh. Provinsi yang kita banggakan ini adalah saksi dari perjuangan, ketabahan, dan keinginan kuat untuk maju.
Namun, Aceh juga merupakan refleksi dari perjalanan kita sebagai bangsa: penuh potensi tetapi diwarnai oleh berbagai tantangan yang harus diatasi bersama. Hari ini, dengan penuh rasa syukur, kita merenungkan perjalanan yang telah kita tempuh sepanjang tahun 2024, khususnya dalam upaya mendorong kemajuan Aceh sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia yang besar.
Aceh, dengan segala potensinya, telah menorehkan jejak ekonomi yang mencerminkan harapan dan tantangan. Sepanjang tahun ini, kontribusi Aceh terhadap ekonomi regional Sumatera terus mencatatkan peningkatan, terutama melalui sektor-sektor utama seperti pertanian, perikanan, dan energi baru terbarukan. Dalam hal penerimaan Bea dan Cukai, Aceh bahkan mencatat pertumbuhan tertinggi di Sumatera, yaitu sebesar 150,18%, suatu pencapaian luar biasa yang menjadi bukti kekuatan ekonomi lokal bila dikelola dengan baik.
Namun, kita harus menghadapi realitas bahwa pertumbuhan ekonomi Aceh masih tertinggal dibandingkan dengan rata-rata regional Sumatera. Tingkat pengangguran dan kemiskinan tetap menjadi tantangan yang membutuhkan perhatian serius dari semua pihak. Defisit logistik dan minimnya infrastruktur bisnis yang memadai masih membatasi optimalisasi ekspor komoditas unggulan Aceh.
Aceh memiliki peluang besar untuk menjadi pusat pertumbuhan ekonomi nasional dan internasional. Dengan memperkuat sektor hilirisasinya, seperti pengolahan hasil perkebunan, perikanan, dan kehutanan, Aceh dapat memanfaatkan kedekatannya dengan pasar Asia Selatan dan Asia Barat yang terus berkembang. Selain itu, restorasi mangrove sebagai konservasi karbon dan pengembangan wisata halal di Sabang dan Pulau Banyak dapat memberikan sumber pendapatan berkelanjutan bagi masyarakat.
Namun, peluang ini tidak akan terwujud tanpa keberanian untuk menghadapi tantangan. Kita perlu menekan biaya logistik yang tinggi melalui pembangunan infrastruktur strategis seperti pelabuhan dan bandara ekspor, termasuk pengembangan Bandara Kuala Langsa dan Malikulsaleh untuk pengangkutan hasil laut dan produk pertanian. Selain itu, kolaborasi dengan sektor pendidikan tinggi untuk melahirkan tenaga kerja yang terampil harus menjadi prioritas.
Refleksi akhir tahun ini juga mengingatkan kita akan pentingnya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Aceh harus memanfaatkan Dana Otonomi Khusus dengan lebih efektif untuk mempercepat program penanggulangan kemiskinan, termasuk melalui pendidikan vokasi dan peningkatan akses modal bagi pelaku usaha kecil. Dengan diversifikasi ekonomi yang menekankan pariwisata, agro-maritim, dan industri kreatif, Aceh memiliki peluang besar untuk menciptakan lapangan kerja baru dan mengurangi ketergantungan pada transfer pemerintah pusat.
Visi untuk Aceh adalah visi untuk Indonesia. Ketika Aceh maju, Indonesia juga maju. Ketika Aceh menjadi pintu gerbang perdagangan dan pariwisata internasional, Aceh tidak hanya memajukan dirinya sendiri tetapi juga memperkuat posisi Indonesia di panggung dunia.
Peluang yang Menginspirasi
Aceh memiliki peluang besar yang dapat menjadi pilar utama pertumbuhan ekonomi. Mari kita telaah beberapa di antaranya:
- Sumber Daya Alam yang Melimpah Aceh adalah rumah bagi kekayaan alam yang belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal. Sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan menawarkan peluang luar biasa untuk hilirisasi. Kopi Gayo, misalnya, telah menjadi ikon global yang dapat dikembangkan lebih lanjut melalui pengolahan bernilai tambah. Selain itu, hasil laut seperti lobster dan kepiting memiliki pasar besar di Asia Selatan dan Barat, yang menantikan produk berkualitas dari Aceh. Dengan investasi strategis pada infrastruktur ekspor, Aceh dapat menjadi pusat perdagangan maritim yang diakui.
- Potensi Pariwisata yang Belum Tergarap Dari keindahan Pulau Banyak hingga kedalaman sejarah di Banda Aceh, pariwisata Aceh memiliki daya tarik unik yang dapat mendukung sektor ekonomi kreatif. Pariwisata halal, yang sesuai dengan identitas budaya Aceh, dapat menarik wisatawan domestik dan internasional.
- Restorasi Ekosistem dan Karbon Kredit Aceh memiliki potensi besar dalam konservasi lingkungan melalui restorasi mangrove. Peluang untuk berpartisipasi dalam pasar karbon global tidak hanya mendukung keberlanjutan, tetapi juga menciptakan pendapatan baru yang dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur hijau.
- Posisi Strategis Berada di pintu gerbang barat Indonesia, Aceh memiliki potensi besar untuk menjadi pusat perdagangan internasional, menghubungkan Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Timur Tengah. Dengan memperkuat konektivitas logistik, Aceh dapat menjadi simpul strategis dalam jaringan perdagangan global.
- Pemberdayaan Mahasiswa dan Pemuda sebagai Pilar Ekonomi Digital Salah satu solusi terbaik adalah memberdayakan mahasiswa dan pemuda yang memiliki keunggulan digital. Mereka dapat menjadi agen perubahan dan pelaku ekonomi digital yang menghubungkan Aceh ke seluruh dunia. Dengan keahlian di bidang teknologi, pemuda Aceh dapat mengembangkan platform e-commerce, mendukung promosi pariwisata secara global, dan mempermudah akses pasar internasional untuk produk lokal.
Tantangan yang Menguji Kita
Di balik peluang besar tersebut, ada tantangan nyata yang harus diatasi:
- Biaya Logistik yang Tinggi Keterbatasan infrastruktur seperti pelabuhan dan bandara membatasi efisiensi perdagangan. Biaya logistik yang tinggi melemahkan daya saing produk Aceh di pasar internasional.
- Ketergantungan pada Transfer Pusat Ketergantungan yang besar pada dana otonomi khusus dan transfer pusat menimbulkan risiko bagi keberlanjutan pembangunan. Kemandirian fiskal harus menjadi prioritas dengan diversifikasi sumber pendapatan daerah.
- Pengangguran dan Keterbatasan Tenaga Kerja Terampil Tingginya tingkat pengangguran, terutama di kalangan pemuda, menunjukkan adanya kesenjangan antara kebutuhan pasar kerja dan keterampilan yang dimiliki tenaga kerja lokal. Pendidikan vokasi dan pelatihan kerja menjadi solusi yang mendesak.
- Minimnya Investasi Asing Rendahnya tingkat investasi langsung asing (FDI) di Aceh mencerminkan perlunya perbaikan iklim investasi. Stabilitas hukum, keamanan, dan kebijakan yang pro-investasi harus diperkuat.
Visi untuk Masa Depan Aceh
Dengan segala potensi yang dimilikinya, Aceh dapat menjadi model pembangunan berkelanjutan yang memadukan kekayaan alam, budaya, dan teknologi. Untuk mewujudkan visi tersebut, saya mengusulkan langkah-langkah berikut:
- Penguatan Infrastruktur Strategis
- Pembangunan pelabuhan internasional di Krueng Geukuh, Malahayati dan Calang.
- Pengembangan Bandara Lasikin, Syach Hamzah Fansuri, Kuala Langsa dan Malikulsaleh dengan landas pacu minimal 2500 meter untuk mendukung ekspor langsung produk-produk unggulan bernilai tinggi seperti produk maritim dan durian beku.
- Pembangunan jalan tol dan jalur kereta api untuk meningkatkan efisiensi logistic barang-barang unggulan Aceh seperti Kopi, Coklat, Rotan dan Nilam.
- Pemberdayaan UMKM dan Koperasi
- Dukungan modal dan pelatihan bagi pelaku usaha kecil.
- Membangun ekosistem digital untuk mempromosikan produk Aceh di pasar global.
- Pengembangan Pariwisata Halal
- Memperkuat branding Aceh sebagai destinasi wisata halal terkemuka.
- Mengembangkan paket wisata yang mengintegrasikan budaya, sejarah, dan alam.
Investasi pada Pendidikan dan Teknologi
- Meningkatkan akses pendidikan vokasi untuk menciptakan tenaga kerja siap pakai.
- Mendorong inovasi teknologi di sektor pertanian dan perikanan.
Aceh adalah cerminan harapan dan tekad bangsa Indonesia. Dalam perjalanan ini, kita tidak hanya melihat masa lalu sebagai pelajaran, tetapi juga masa depan sebagai peluang untuk maju. Mari kita bersama-sama menjadikan Aceh sebagai pusat pertumbuhan yang inklusif, berdaya saing, dan berkelanjutan.
Kondisi Ekonomi Terkini Aceh
1. Pertumbuhan Ekonomi. Aceh mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 4,01% pada Triwulan III 2024, yang masih berada di bawah rata-rata regional Sumatera sebesar 5,02%. Pertumbuhan ini dipengaruhi oleh sektor pertanian, perikanan, dan perdagangan yang menjadi kontributor utama PDRB Aceh. Namun, tingkat pertumbuhan ini menunjukkan perlunya upaya lebih untuk mempercepat diversifikasi ekonomi dan hilirisasi komoditas unggulan.
2. Inflasi dan Tingkat Pengangguran. Tingkat inflasi di Aceh terkendali pada 1,55% (yoy), yang merupakan salah satu yang terendah di Sumatera. Namun, tingkat pengangguran yang masih tinggi, mencapai 5,6%, menjadi tantangan besar, terutama di kalangan usia produktif. Hal ini mencerminkan kebutuhan untuk menciptakan lapangan kerja baru yang berbasis pada sektor unggulan dan padat karya.
3. Kontribusi Ekspor dan Bea Cukai. Penerimaan Bea dan Cukai di Aceh mencatat pertumbuhan tertinggi di Sumatera, yaitu sebesar 150,18% (yoy). Secara persentase, Aceh mencapai 195,71% dari target penerimaan Bea Cukai. Ini menunjukkan potensi besar dari sektor perdagangan luar negeri, terutama melalui komoditas seperti hasil laut, kopi, dan produk pertanian lainnya.
Kinerja Fiskal dan Belanja Pemerintah
- Pendapatan Daerah. Realisasi pendapatan negara di Aceh mencapai 93,67% dari target, dengan pertumbuhan pendapatan pajak yang signifikan. Namun, Aceh masih menghadapi tantangan dalam meningkatkan kemandirian fiskal. Kontribusi Aceh terhadap pendapatan nasional didominasi oleh transfer pemerintah pusat, yang menunjukkan ketergantungan yang tinggi pada dana alokasi.
- Belanja Negara. Realisasi belanja pemerintah di Aceh mencapai 95,42% dari pagu, yang menunjukkan tingkat penyerapan anggaran yang baik. Namun, efektivitas belanja dalam mendorong pembangunan ekonomi dan sosial masih perlu ditingkatkan, terutama untuk proyek infrastruktur dan program penanggulangan kemiskinan.
- Ketahanan Pangan dan Pendidikan. Hingga mendekati akhir tahun, anggaran ketahanan pangan di Aceh terealisasi sebesar 81,45%, dengan fokus pada pembangunan infrastruktur pertanian. Di sektor pendidikan, realisasi anggaran mencapai 84,19%, yang mendukung program-program pendidikan vokasi dan pelatihan yang dibutuhkan dunia kerja termasuk kemampuan berbahasa asing merupakan langkah mendesak untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja lokal.
Peluang dan Tantangan Ekonomi Aceh
- Peluang Hilirisasi dan Ekspor. Aceh memiliki potensi besar dalam hilirisasi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Komoditas unggulan seperti kopi Gayo, durian, lobster, dan kepiting dapat memberikan nilai tambah lebih tinggi melalui pengolahan dan ekspor langsung ke pasar Asia Selatan dan Asia Barat. Bandara Kuala Langsa dan Malikulsaleh dapat dioptimalkan untuk mendukung ekspor produk hasil laut dan pertanian, termasuk melalui penambahan fasilitas penyimpanan dingin dan perpanjangan landasan pacu.
- Tantangan Infrastruktur dan Logistik. Biaya logistik yang tinggi menjadi salah satu kendala utama dalam mendorong daya saing ekspor Aceh. Ketiadaan “infrastruktur bisnis” yang memadai, seperti pelabuhan modern, jalan tol penghubung dan jalur kereta api barang, membatasi aksesibilitas ke pasar internasional.
- Diversifikasi Ekonomi. Ketergantungan pada sektor primer, terutama pertanian dan perikanan, membuat ekonomi Aceh rentan terhadap fluktuasi harga global. Diversifikasi ekonomi melalui pengembangan sektor pariwisata, industri agro, industri maritim, energi baru terbarukan, dan industri kreatif menjadi kebutuhan mendesak dan harus diletakkan pada skala prioritas utama.
Strategi Pembangunan Aceh
- Penguatan Infrastruktur Strategis. Percepatan pembangunan pelabuhan internasional di Krueng Geukuh dan pengembangan Bandara Kuala Langsa menjadi prioritas untuk meningkatkan akses perdagangan dan investasi. Peningkatan fasilitas di Bandara Malikulsaleh untuk mendukung pengangkutan komoditas ekspor seperti kopi dan hasil laut.
- Restorasi Ekosistem dan Karbon Kredit. Restorasi mangrove sebagai area konservasi karbon memberikan peluang besar bagi Aceh untuk masuk dalam pasar karbon global. Pendapatan dari penjualan karbon kredit dapat digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur berkelanjutan.
- Peningkatan Kesejahteraan Sosial. Pemerintah Aceh perlu fokus pada program pemberdayaan ekonomi masyarakat, termasuk pelatihan keterampilan bagi generasi muda melalui pendidikan vokasi yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja. Dukungan terhadap UMKM melalui peningkatan akses modal dan pelatihan manajemen usaha menjadi langkah penting dalam memperkuat ekonomi lokal.
- Pariwisata dan Budaya. Pariwisata halal di Sabang, Pulau Banyak, Spot Tsunami dan Gua Tujuh Laweung dapat menjadi daya tarik utama bagi wisatawan domestik dan internasional. Penguatan 4A (Akses, Atraksi, Amenitas, dan Ancillary) menjadi kunci dalam pengembangan sektor ini.
Refleksi Akhir Tahun
Refleksi akhir tahun ini menegaskan bahwa Aceh memiliki peluang besar untuk tumbuh menjadi wilayah strategis di Sumatera dan Indonesia. Dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, posisi geografis, dan kekayaan budayanya, Aceh dapat menjadi motor penggerak ekonomi regional. Namun, hal ini membutuhkan komitmen bersama dari pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha untuk mengatasi tantangan yang ada.
Tahun 2025 menjadi momentum bagi Aceh untuk mempercepat langkah menuju kemandirian ekonomi yang berkelanjutan. Kolaborasi yang erat antara pemerintah pusat dan daerah, didukung oleh investasi yang tepat sasaran, akan menjadi kunci keberhasilan bagi kemajuan Aceh di masa depan.
Akhir kata, mari kita bersama-sama melangkah ke tahun 2025 dengan tekad yang lebih kuat, visi yang lebih jelas, dan kerja sama yang lebih erat. Dengan semangat dan dedikasi kita semua, saya yakin Aceh akan berdiri sejajar dengan provinsi-provinsi lain dalam memberikan kontribusi terbaiknya untuk bangsa dan negara ini.
Epilog
“Aceh, dengan segala kekayaan yang dimilikinya, seharusnya menjadi simbol kemakmuran, bukan kemiskinan. Paradoks ini ada bukan karena kita kekurangan, tapi karena kita belum cukup bijak memanfaatkan apa yang kita punya. Bukan hanya soal kekayaan alam, tapi juga soal kekayaan jiwa, pemikiran, dan kebersamaan kita sebagai masyarakat Aceh.”
“Hari ini, kita dihadapkan pada dua pilihan: terus hidup dalam paradoks, atau bersama-sama membangun realitas baru. Realitas di mana Aceh tak lagi dikenal sebagai daerah kaya yang miskin, tetapi sebagai daerah kaya yang membawa kemakmuran bagi rakyatnya. Realitas di mana Aceh tidak hanya menjadi konsumen, tapi produsen. Tidak hanya bergantung pada transfer dana, tapi mampu berdiri di atas kaki sendiri.”
“Aceh memiliki potensi besar untuk mendorong pariwisata dengan tema ‘Experience Aceh – The Hidden Paradise of Indonesia,’ menghadirkan pengalaman unik yang memadukan keindahan alam, budaya, dan sejarahnya. Selain itu, Aceh dapat memperkenalkan merek global untuk Kopi Gayo, seperti ‘Gayo Coffee – Premium Coffee in The World,’ untuk mengukuhkan posisinya sebagai salah satu kopi terbaik di dunia. Tidak hanya itu, Pulau Banyak dapat dipromosikan sebagai ‘World Exclusive Resort,’ destinasi eksklusif kelas dunia yang menarik wisatawan premium.”
“Masyarakat Aceh, kita harus mulai dari diri kita sendiri. Ubah cara kita memandang kekayaan. Jangan hanya bertanya, ‘Apa yang Aceh punya?’ Tapi tanyakan juga, ‘Apa yang bisa saya lakukan untuk Aceh?’ Karena perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. Langkah yang kita ambil bersama, dengan hati yang tulus dan semangat yang tak pernah padam.”
“Mari kita renungkan ini: Kekayaan sejati bukan tentang apa yang kita miliki, tapi tentang apa yang bisa kita ciptakan. dan Aceh memiliki segalanya untuk menciptakan masa depan yang lebih baik—jika kita mau. Jika kita tahu. dan jika kita mampu.”
“Aceh kaya, tapi jangan biarkan itu menjadi kutukan. Mari kita ubah kekayaan itu menjadi berkah. Bukan hanya untuk kita, tapi untuk anak cucu kita, untuk masa depan Aceh yang kita banggakan bersama. Karena Aceh bukan hanya tentang tanah dan lautnya. Aceh adalah kita. dan kita adalah kunci untuk mengakhiri paradoks ini.”
“Aceh yang makmur dimulai dari Anda. Dari kita. Dari sekarang.”
Dengan semangat gotong-royong dan visi yang jelas, saya yakin Aceh akan menjadi salah satu pilar utama kemajuan Indonesia.[]