Oleh: Jabal Ali Husin Sab
Penulis adalah analis kebijakan publik Saman Strategis Indonesia (SSI).
Jumlah persentase penduduk miskin di Aceh berada pada angka 14,23 persen di tahun 2024. Sementara jumlah persentase kemiskinan di desa di Aceh berada pada angka 16,75 persen. Ini berarti bahwa kantong-kantokg kemiskinan di Aceh lebih besar jumlahnya di pedesaan. Dalam upaya pengentasan kemiskinan Aceh, kita perlu melihat masyarakat di pedesaan sebagai prioritas utama dalam upaya pengentasan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja dan pengembangan potensi ekonomi di pedesaan.
Jika kita coba memperhatikan struktur ekonomi Aceh, Aceh masih termasuk sebagai provinsi agraris dengan lebih setengah penduduknya bekerja di sektor pertanian, peternakan dan perkebunan. Untuk itu, upaya pengentasan kemiskinan yang menjadi prioritas adalah dengan lebih mengutamakan pengembangan sektor pertanian, peternakan dan perkebunan di pedesaan, mengingat desa sebagai kantong kemiskinan dan corak masyarakat kita di pedesaan yang berkultur agraris. Dalam tulisan singkat ini saya coba menawarkan solusi dalam upaya pengentasan kemiskinan di desa, penciptaan lapangan kerja dan pegembangan potensi pertanian di Aceh.
Mengembangkan Desa dan Menciptakan Lapangan Kerja
 Salah satu tantangan dalam pengentasan kemiskinan di desa yang bercorak agraris, khususnya pada wilayah berpenduduk padat (seperti Kabupaten Aceh Utara dan Pidie yang juga tingkat persentase kemiskinannya tinggi) salah satunya adalah soal ketersediaan lahan produksi berupa kepemilikan tanah. Tidak semua petani memiliki areal luas lahan garapan yang cukup. Hal ini dapat dicarikan solusi dengan memilih komoditas tanaman budidaya bernilai jual tinggi yang hanya perlu areal luas tanam yang minimal, namun punya nilai yang tinggi di pasaran, semisal tanaman lada dan jenis rempah-rempah lain atau seperti tanaman nilam dan vanili yang bernilai jual tinggi
Fakta yang bisa kita temui di lapangan adalah bahwa banyak dari keluarga miskin yang berada di pedesaan sama sekali tidak memiliki lahan untuk garapan pertanian, atau hanya memiliki lahan terbatas, solusinya adalah dengan penggarapan lahan pertanian bersama secara berkelompok.
Tanah pertanian yang digarap adalah tanah yang status kepemilikannya adalah milik gampong. Untuk itu, perlu diatur mekanisme reformasi agraria (pertanahan) dengan mekanisme penyediaan lahan pertanian gampong, yaitu bukan dengan menyerahkan tanah kepada individu petani, melainkan sejumlah tanah diserahkan kepemilikannya kepada gampong, lalu dibuat sebuah badan usaha di tingkat gampong (BUMG) yang pekerja dan pengelolanya melibatkan kelompok yang terdiri dari penduduk miskin di desa tersebut.
Pengusahaan pengolahan lahan gampong oleh badan usaha milik gampong perlu dilaksanakan dengan bersifat padat karya, artinya menyerap banyak jumlah pekerja, sehingga bisa dipastikan bahwa tiap desa sudah memastikan tersedianya sejumlah lapangan kerja bagi warganya dalam taraf ekonomi tertentu (warga miskin), serta memastikan adanya penghasilan tetap bagi warga miskin yang ada di desa tersebut.
Untuk pengolahan lahan garapan bersama di bawah BUMG, perlu ada semacam fasilitasi pembinaan dan pendampingan agar dapat dikelola secara profesional. Juga perlu memastikan terserapnya tenaga kerja dari kelompok penduduk miskin dan pengangguran yang telah dibina dan dipersiapkan agar dapat bekerja secara profesional.
Menghasilkan dan Mengembangkan Komoditas Unggulan di Desa
Selain itu, dengan mengupayakan lahan gampong yang dikelola secara kolektif dengan melibatkan pekerja dari penduduk berkategori miskin, tiap desa punya target dan capaian tersendiri untuk menghasilkan komoditas pertanian unggulan yang berasal dari desa tersebut. Jika di satu kabupaten ditargetkan 10 hingga 20 gampong menghasilkan satu jenis komoditas pertanian yang sejenis, maka bisa dipastikan, per satu kabupaten, sesuai dengan jumlah gampong yang ada, dapat memenuhi target menghasilkan lima hingga tujuh komoditas pertanian unggulan di kabupaten tersebut.
Perencanaan dan pemilihan komoditas pertanian unggulan yang dibagi dalam cluster per 10 hingga 20 desa ini dapat berkontribusi bagi upaya diversifikasi produksi hasil pertanian daerah. Apabila direncanakan dengan matang dan dengan perhitungan yang cermat, maka tiap-tiap komoditas pertanian yang dicoba kembangkan, dapat memenuhi kebutuhan pasar provinsi, regional, nasional, bahkan bisa disiapkan untuk memenuhi kebutuhan pangsa pasar ekspor dengan perencanaan hasil produksi yang memenuhi kuota yang cukup untuk kebutuhan ekspor komoditas pertanian.
Selama ini, pengembangan komoditas pertanian terkesan tidak dilaksanakan secara terencana dan masif. Sehingga yang terjadi adalah target untuk mencapai jumlah produksi tertentu dalam upaya diversifikasi komoditas pertanian tidak terwujud. Akhirnya komoditas yang ditanam secara acak dan terbatas oleh sejumlah petani tidak menjadi salah satu komoditas unggulan dengan jumlah produksi yang memadai.
Untuk itu, menjadi sangat penting dan krusial, upaya pengembangan pertanian dan penciptaan komoditas unggulan pertanian dilaksanakan sejalan dengan rencana strategis pengentasan kemiskinan dan pemajuan desa yang dilaksanakan dalam perencanaan yang terangkum dalam sebuah blueprint perencanaan dan pelaksanaan.
Pembentukan Satuan Tugas Pengentasan Kemiskinan
 Dalam mengatasi kemiskinan di pedesaan, sekaligus menciptakan lapangan kerja di desa, serta upaya mengembangkan pertanian daerah, harus dikelola secara berbarengan dalam sebuah tata kelola dan tata laksana yang melibatkan berbagai pihak dan stakeholder terkait, lintas instansi dan lintas lembaga serta melibatkan jenjang pemerintahan mulai di tingkat gampong hingga ke tingkat provinsi.
Hal tersebut tidak akan terlaksana apabila dalam tata kelola dan tata laksana kerja, dilaksanakan secara terpisah antara satu instansi dengan instansi lainnya. Dalam upaya mensinergikan rencana tersebut, berbagai instansi, pihak dan stakeholder yang ada perlu disatukan dalam sebuah satuan tugas. Untuk itu saya menyarankan sebuah gagasan agar dibentuknya “Satuan Tugas Pengentasan Kemiskinan dan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat” untuk dapat menyelesaikan permasalahan kemiskinan, masalah lapangan kerja, dan masalah pertumbuhan ekonomi yang salah satu masalahnya terkait dengan desa dan pertanian.
Melalui Satgas yang dibentuk, satgas tersebut akan menyusun rencana kerja dan mengontrol pelaksanaan kerja dengan kewenangan mengarahkan instansi-instansi terkait untuk melaksanakan kebijakan yang diturunkan dalam program-program yang direkomendasikan oleh Satgas tersebut.
Dengan itikad baik pucuk pimpinan pemerintahan provinsi, serta didorong oleh tekad, semangat serta sebuah tim kerja yang paham permasalahan dan punya solusi kongkrit, saya optimis bahwa masalah tingkat kemiskinan di Aceh bisa ditangani dan ditekan secara signifikan dalam rentang waktu paling tidak satu periode masa tugas gubernur.***