Oleh: Dr. Fahmi Abduh Dahlan.
Analis & Praktisi Kebijakan Publik.
Dalam ruang tausiyah publik, hampir setiap saat kita mendengar ucapan, Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. (Baca: rahmatan lil alamin). Di dalam Al Quran, Allah SWT berfirman dalam Surat Al Anbiya Ayat 107 : “Wa mā arsalnāka illā raḥmatal lil-‘ālamīn”, yang artinya: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”.
Dalam setiap muqaddimah acara pula, setelah puji syukur kepada Allah SWT, kita mengucapkan shalawat kepada Nabi Besar Muhammad SAW, diikuti dengan kalimat “telah membawa ummat manusia dari alam kegelapan (the dark ages/Jahilliah) ke kondisi yang penuh dengan pencerahan Ilmu Pengetahuan (renaissance/aufklarung)”. Namun demikian, substansi dari perwujudan “raḥmatal lil-‘ālamīn” menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan sesuai tuntunan syariat dalam tataran formulasi kebijakan publik belum bisa diimplementasikan sesuai harapan.
Hal ini dapat dirasakan oleh publik, ketika Pemerintah mengesahkan produk hukum Qanun No. 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Kekisruhan dalam tataran implementasi mulai terjadi dan dirasakan oleh masyarakat. Padahal visi utama dari implementasi qanun tersebut adalah untuk menghadirkan “rahmat bagi seluruh masyarakat Aceh” sesuai tuntunan syariat. Apa daya, ternyata kondisi realitas faktual belum sesuai harapan.
Qanun_Legal Formal Vs. Qanum_Evidence-based Policy.
Sengkarut layanan publik di sektor perbankan tersebut hari-hari ini mengusik nalar berfikir kita semua. Sebagian pihak mengklaim Qanun LKS tersebut telah disusun dengan khidmat sesuai tuntunan syariat secara legal-formal. Penjelasan yang diberikan bahwa persoalan yang terjadi di lapangan adalah hanya persoalan teknis yang tidak terkait dengan qanun tersebut (dari berbagai sumber). Pemahaman seperti ini memberi kesimpulan bahwa produk qanun tersebut adalah bukan sebuah produk kebijakan publik yang dirumuskan dengan pendekatan scientific approach sesuai tuntunan syariat.
Lebih jauh, melihat kondisi yang terjadi di lapangan, terlihat bahwa formulasi strategi dalam proses pengambilan kebijakan memberi perhatian yang minim pada aspek rasionalitas berbasis evidence-based sesuai tuntunan syariat. Dalam konteks tersebut, terlihat syariat dipandang terbatas pada sebuah produk hukum “Fiqh” yang dipertimbangkan secara terbatas hanya kepada aspek legal formal. Para pengambil kebijakan seperti lebih terobsesi kepada produk hukum yang pendekatan perumusan lebih dominan berbasis kepada aspek legal-teoritis dan normatif, namun hanya memberikan perhatian yang minim kepada pendekatan strategi/cara (e.g.best practices) untuk mencapai visi/maqashid (obsession to the law,but forgetting the way) mengacu kepada kondisi faktual di lapangan (evidence-based) sesuai prinsip perkembangan ilmu pengetahuan dengan tidak mengabaikan bahwa Provinsi Aceh berada dalam ruang ekosistem ekonomi nasional dan global.
Ruang Publik Membumikan Nilai-Nilai Syariah.
Di sisi lain, sebagian orang merasa khawatir untuk memberikan padangan secara langsung terhadap produk qanun tersebut, karena khawatir diberi label sebagai pihak yang anti-terhadap syariah. Padahal, pemahaman nilai-nilai syariah melalui tataran inplementasi qanun tersebut telah dipersempit ruang geraknya ketika pendekatan implementasi strategi dilakukan dengan memberi perhatian minim terhadap konteks faktual di lapangan. Hal ini menjadikan nilai-nilai universalitas syariah kehilangan maknanya karena hanya disandarkan pada aspek legal formal, tapi melupakan aspek substansi implementasi, yaitu pendekatan membumikan nilai-nilai syariah dalam kerangka kerja sesuai prinsip kebijakan publik Islami untuk mencapai tujuan Maqashid Sharia (prinsip keadilan).
Pandangan sempit yang mempersoalkan mengemukanya realitas yang dirasakan publik terkait kualitas layanan produk perbankan sebagai pandangan yang anti-syariah adalah pandangan keliru nan sempit yang akan menurunkan kualitas & kapasitas dari qanun tersebut untuk menghadirkan prinsip keadilan sesuai tuntunan syariat. Satu hal yang tidak boleh diabaikan terkait sebuah produk hukum bahwa tujuan desain sebuah produk tersebut adalah untuk memberikan kondisi yang lebih baik bukan untuk menimbulkan kesulitan dan kekisruhan di tengah masyarakat.
Aceh dalam Ruang Ilmu Pengetahuan & Ekosistem Ekonomi skala Nasional dan Global.
Dalam aspek perkembangan ilmu pengetahuan, “tafsir nilai-nilai Syariah” sebagai bagian dari proses ijtihad dalam sektor perbankan masih terus berproses mencari bentuk terbaik dalam ruang ekosistem ekonomi dan perdagangan dunia. Para Ulama sendiri berbeda pandangan dalam melihat “selisih biaya (baca : bunga)” yang kemudian disebut sebagai “Riba” dalam konteks praktik perbankan saat ini. Salah satu Ayat dalam Al Quran yang digunakan sebagai rujukan adalah Surat Ali Imran ayat 130, yang artinya : Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Lebih jauh, secara umum, para Ulama memiliki dua tafsir berbeda dalam melihat issue tersebut. Pertama adalah para Ulama yang menyimpulkan bahwa segala bentuk bunga bank termasuk kategori riba karena adanya unsur menzalimi dan ketidakadilan (e.g. Fatwa MUI No. 1 Tahun 2004). Kedua para Ulama yang berpandangan bahwa bunga bank menjadi haram Ketika beban yang diambil berlipat ganda dan eksploitatif, hanya memberikan manfaat besar pada satu pihak (lender) dan mengorbankan pihak yang lain (borrower) seperti Muhammad Abduh, Muhammad Rashid Ridha, Abd. Al Wahab Khallaf dan Mahmud Syaltut. Namun demikian, kedua pandangan di atas, tidak memiliki perbedaan penafsiran ketika melihat esensi pelarangan riba diletakkan dalam tujuan untuk menegakkan sistem ekonomi yang berkeadilan sesuai tujuan dari Maqashid Sharia.
Tanpa bermaksud untuk masuk ke dalam perbedaan pandangan di atas, dalam konteks perencanaan kebijakan publik, tentu keberadaan Indonesia (baca : Provinsi Aceh) dalam ruang sistem ekonomi global tidak boleh diabaikan begitu saja. Pengabaian terhadap kondisi faktual tersebut akan mengakibatkan sistem ekonomi biaya yang tinggi yang tidak efektif dan efisien.
Tidak ada gejolak berarti ketika konversi Bank Aceh menjadi Bank Aceh Syariah (BAS) dilakukan ketika sistem masih memberikan opsi “exit strategi” bagi masyarakat. Proses tersebut berkontribusi menaikkan market share Bank Syariah di Indonesia untuk keluar dari jebakan persentase 5% di tahun 2017 lalu. Setelah merger tiga Bank Syariah BUMN menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI), market share perbankan syariah berada di posisi lebih kurang di atas angka 6%.(https://finansial.bisnis.com/read/20210216/231/1356972/bank-syariah-indonesia-bris-terbentuk-market-share-perbankan-syariah-tumbuh).
Pembacaan terhadap data ini yang kemudian terabaikan oleh tim perumus qanun, khususnya dalam proses memformulasi Ketentuan Peralihan Pasal 65 dalam Qanun LKS tersebut, yang menghilangkan opsi keberadaan sistem perbankan konvensional di Aceh sebagai alternatif pilihan. Sebagai contoh, tim Perumus Qanun LKS tidak mempertimbangkan jika proses pelayanan optimal dari sektor pembangunan infrastruktur IT di sektor perbankan membutuhkan biaya yang relatif besar (https://www.inews.id/finance/bisnis/bank-mandiri-alokasikan-belanja-modal-untuk-it-rp24-triliun-pada-2019). Cukup naif, jika kemudian misalnya kita merekomendasikan Bank Aceh Syariah untuk berinvestasi dalam waktu singkat untuk membangun Infrastruktur IT sebesar yang dilakukan oleh Bank Mandiri dengan perbandingan market share yang tidak berimbang.
Padahal, faktanya di Aceh sudah ada Bank Aceh Syariah dan Baitul Mal (e.g. alternatif implementasi Qardhl Hasan). Pertanyaannya adalah mengapa pemerintah daerah tidak mengoptimalkan peran kedua lembaga keuangan/badan pemerintah tersebut untuk membuktikan bahwa “performa Islamicity Index” nilai-nilai syariah universal di lembaga tersebut akan berproses menjadi lebih baik dan siap berkompetisi dengan bank-bank nasional konvensional seperti Mandiri, BNI atau BCA. Pemangku kepentingan seperti melupakan bahwa atmosfir kompetisi akan menghadirkan pilihan output layanan perbankan yang lebih optimal di tengah masyarakat.
Jika JP Morgan Chase bank masuk ke pasar timur tengah untuk memberikan layanan perbankan Islami dalam sistem ekonomi yang kompetitif, lantas sebaliknya, mengapa di Aceh Qanun menutup pintu untuk perbankan konvensional?. Padahal kita memahami bahwa proses mencari bentuk untuk memberi layanan terbaik sesuai tuntunan syariat terus dilakukan melalui “research & development” dalam atmosfir yang kompetitif.
Mengapa opsi mendorong Bank Aceh Syariah untuk menghadirkan layanan produk perbankan yang “rahmatan lil alamin” yang berhadapan dengan bank-bank nasional tidak dipilih ? Padahal, secara penuh Pemerintah Aceh punya opsi untuk untuk memberikan “full insentif” dalam pertarungan kompetisi tersebut.
Universalitas Nilai-Nilai Syariah.
Strategi menghadirkan kebijakan publik yang berkualitas pernah dilakukan oleh Badan Penerbangan Sipil Amerika (CAB) dalam meresponse isu sangat mahalnya tiket pesawat di era 70-an. Ketika itu, Prof. Alfred Kahn seorang ekonom dari Cornell University memberikan saran starategi deregulasi (baca lebih detail : deregulation strategy for commercial airfares) untuk menghadirkan harga tiket pesawat yang lebih terjangkau dan kompetitif.
Pemahaman tersebut membawa kita, untuk melihat perspektif inovatif melalui jendela (window) yang lebih luas, bahwa tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan kedalaman pemahaman kondisi faktual di lapangan (evidence-based) akan menghadirkan alternatif strategi yang lebih membumi dan maslahah untuk masyarakat, sekalipun itu disampaikan oleh pengajar dari universitas di negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim.
Lebih jauh, penelitian Prof. Rehman dan Prof. Askari “How Islamic are Islamic Countries” menyimpulkan bahwa negara-negara yang bukan mayoritas masyarakat muslim lebih berhasil menghadirkan “nilai-nilai/prinsip syariah” dalam aspek implementasi kebijakan publik yang diukur dengan indikator “Economic Islamicity Index”. Dalam konteks isu perbankan Syariah di Aceh, kita perlu pakar ekonomi Islam yang mampu memahami perkembangan ilmu ekonomi konvensional secara komprehensif sehingga mampu mengkoreksi dan berinovasi dalam rangka membangun kebijakan publik Islami yang mampu menghadirkan nilai-nilai syariah yang lebih berkeadilan. Harapan tersebut digantungkan supaya “Islamicity Index” terkait layanan produk perbankan atau kualitas kebijakan publik di Aceh menjadi lebih baik dari produk layanan perbankan Bank-bank Internasional seperti JP Morgan Chase, Deutsch Bank yang juga menyediakan layanan perbankan Islami atau bank-bank konvensional di level nasional.
Jika kemudian, kita berpandangan sistem ekonomi dunia hari ini belum memenuhi prinsip keadilan sesuai harapan, tentu perlu proses untuk menghadapi sistem yang sudah mengglobal tersebut yang harus diikuti dengan proses perbaikan terus menerus yang inovatif setahap demi setahap (step by step process) dalam rangka menghindari mudharat yang lebih besar yang tentunya perlu kerja keras melalui pencapaian perkembangan ilmu pengetahuan bukan dengan pendekatan “peugoet dilee dudoe tapikee” (baca : tanpa rencana matang).
Opsi Strategi Revisi Qanun LKS.
Sebuah kebijakan publik seperti produk qanun/peraturan daerah memang harus melalui proses tahapan uji publik dan diberi ruang oleh ketentuan peraturan perundangan-undangan untuk direvisi melalui proses “judicial review” tentu dengan beberapa catatan pertimbangan di antaranya jika dalam proses implementasi perangkat peraturan daerah itu menimbulkan kekisruhan/mengakibatkan terganggunya kepetingan publik dengan kriteria sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (lihat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016).
Jika opsi revisi qanun dipilih melalui opsi dipertahankannya keberadaan bank konvensional, maka bank-bank tersebut akan menjadi “sparring partner” untuk menghadirkan layanan produk perbankan yang lebih berkeadilan. Sekaligus, ada proses pembelajaran bagi pihak terkait untuk secara terus menerus menjadikan level layanan konvensional sebagai masukan yang lebih inovatif & produktif untuk level layanan Islami yang sesuai dengan tuntunan Syariat.
Jika opsi kehadiran Bank Konvensional dikhawatirkan oleh pemangku kepentingan akan menghadirkan “spirit ribawi”, maka opsi Pemerintah Aceh dan/atau bank syariah yang mendapat “benefit” dari pemberlakukan Qanun LKS tersebut harus siap menanggung seluruh dampak negatif layanan sebagai akibat dari pemberlakuan Qanun LKS tersebut yang akan diamanatkan dalam pasal tambahan hasil revisi. Pasal tambahan ini akan mengarahkan semua pihak bekerja lebih keras dengan layanan yang lebih optimal dan bertanggungjawab untuk menghadirkan kondisi yang lebih maslahah.
Mengembalikan nilai-nilai universalitas syariah dalam kebijakan publik melalui ilmu pengetahuan adalah fardhu kifayah kita bersama untuk mengimplementasikan dan membumikan “Islam sebagai rahmatan lil alamin” untuk semesta dalam rangka menghadirkan nilai-nilai keadilan untuk seluruh ummat manusia.[]