Oleh: Ari J. Palawi
“Bunda ngon ayah, teulhee ngon guree. Ureung nyan ban lhee tapeu mulia.”
(“Ibu dan ayah, guru dan tetua; orang yang adalah mereka, wajib kita muliakan.”)
— dikutip dalam Syamsudin, 1978, dari koleksi Hadih Maja yang termaktub sebagai nilai penghormatan kepada orang tua, guru, dan tetua masyarakat Aceh
Peribahasa Aceh ini menyimpan hikmah mendalam tentang bagaimana masyarakat yang beradab memperlakukan nilai dan sumber kearifan. Ia bukan sekadar anjuran sopan santun, tetapi ajakan untuk menimbang ulang posisi adat dan orang-orang yang menjaganya di tengah perubahan zaman. Dalam konteks Aceh hari ini, pesan itu bergema kembali saat kita mencoba menakar keberadaan dan peran kelembagaan Wali Nanggroe: apakah ia sungguh menjadi penjaga adat yang tak boleh disingkirkan, atau justru telah tergeser oleh arus kepentingan lain yang menyamar sebagai pembaruan?
Sejak perdamaian Helsinki tahun 2005, Aceh memasuki sebuah fase baru: membangun sistem kehidupan yang damai dan bermartabat di atas luka panjang konflik bersenjata. Dalam konstruksi inilah, Wali Nanggroe dihidupkan kembali sebagai lembaga yang dijanjikan akan menjadi penjaga marwah adat, pemersatu identitas keacehan, dan pengarah moral dalam penyelenggaraan kehidupan sosial dan politik. Ia bukan lembaga eksekutif, bukan pula legislatif atau yudikatif, melainkan entitas kultural yang disisipkan ke dalam sistem kenegaraan sebagai penjaga jati diri. Namun di balik penempatan simbolik yang terhormat itu, muncul satu pertanyaan fundamental: apa yang benar-benar dijaga oleh lembaga ini — marwah adat, atau sekadar formalitas simbolik?
Pertanyaan ini penting diajukan karena terlalu lama Wali Nanggroe dibaca dalam dua cara yang sama-sama kurang memadai. Di satu sisi, ia dimitoskan sebagai warisan sejarah yang agung dari masa Kesultanan Aceh, seakan-akan posisinya tak boleh digugat karena bernilai sakral. Di sisi lain, ia diremehkan sebagai lembaga seremoni yang tidak punya pengaruh nyata dalam kehidupan masyarakat. Kedua bacaan itu keliru jika tidak dikaitkan secara langsung dengan bagaimana lembaga ini hadir — atau absen — dalam pergulatan sosial dan kebudayaan Aceh kontemporer.
Sebab lembaga budaya, betapapun agung dan berhormat, akan kehilangan makna jika tidak berinteraksi dengan masyarakat yang sedang bergerak. Aceh hari ini bukan hanya tempat adat dilestarikan, tapi juga ruang di mana adat digugat, ditantang, dan dinegosiasikan kembali. Anak-anak muda, kelompok perempuan, minoritas adat, pelaku seni, aktivis lingkungan, bahkan aparatur pemerintahan daerah — semuanya sedang berada dalam proses mencari titik temu antara masa lalu yang diwariskan dan masa kini yang tak henti berubah. Dalam proses seperti ini, lembaga Wali Nanggroe semestinya hadir bukan hanya sebagai penanda identitas, tetapi sebagai pelaku aktif yang mampu menjadi fasilitator dialog antar-generasi, antar-wilayah, dan antar-pengetahuan.
Sayangnya, selama hampir dua dekade terakhir, banyak masyarakat Aceh justru merasakan jarak antara idealitas peran Wali Nanggroe dengan realitasnya di lapangan. Kesan bahwa lembaga ini lebih dekat pada simbolisme politik dan narasi eksklusif — ketimbang membumi sebagai mitra kultural masyarakat — tidak sepenuhnya keliru. Ketika suara-suara dari kampung, dari perempuan adat, dari anak-anak muda kreatif, atau dari para penjaga tradisi minoritas tidak menemukan ruang dalam arah kebijakan lembaga ini, maka bisa dikatakan bahwa Wali Nanggroe belum sungguh-sungguh menjadi rumah bagi semua elemen kebudayaan Aceh.
Lebih jauh, dalam kerangka negara dan sistem hukum nasional, lembaga ini memang dijamin eksistensinya oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan Qanun Nomor 8 Tahun 2012. Tetapi legalitas kelembagaan, dalam dunia modern yang sangat dinamis, tidak serta-merta berarti legitimasi sosial. Legitimasi hanya tumbuh ketika masyarakat merasa terlibat, terwakili, dan terlindungi oleh nilai-nilai yang dijaga oleh lembaga tersebut. Maka, Wali Nanggroe bukan semata tentang asal-usul historis atau garis keturunan simbolik, melainkan tentang kemampuan dan kemauan untuk membela yang lemah, melindungi yang terlupakan, dan menginspirasi arah kebudayaan ke depan.
Di sinilah kita menemukan paradoks: bahwa lembaga yang semestinya menjadi jangkar nilai justru terombang-ambing dalam politik identitas yang makin menyempit. Ketika figur Wali Nanggroe lebih sering tampil dalam panggung kekuasaan ketimbang dalam ruang pendidikan budaya, diskusi publik, atau arena kesenian rakyat, maka lambat laun masyarakat akan melihat lembaga ini bukan sebagai harapan, melainkan beban simbolik yang tak lagi komunikatif.
Karena itu, pertanyaan tentang relevansi Wali Nanggroe tidak cukup dijawab dengan pelafalan ulang fungsi-fungsinya menurut qanun, melainkan harus ditimbang berdasarkan keberdayaannya dalam menjawab realitas kebudayaan hari ini: Ketika bahasa daerah kehilangan penutur mudanya, apakah Wali Nanggroe hadir? Ketika tradisi rakyat ditekan oleh logika pariwisata yang seragam, apakah Wali Nanggroe bersuara? Ketika perempuan adat dan minoritas budaya dipinggirkan oleh tafsir sempit syariat, apakah Wali Nanggroe berpihak?
Tanpa jawaban konkret terhadap pertanyaan-pertanyaan semacam itu, lembaga ini akan tetap dipuja sebagai simbol, tetapi dijauhi sebagai kekuatan. Padahal kekuatan lembaga budaya bukan pada kekuasaan yang dikendalikan, melainkan pada nilai yang ditegakkan, pada keberanian untuk menjadi penengah di tengah konflik, dan pada ketulusan untuk melayani yang tak terdengar. Itu sebabnya, tulisan ini disusun bukan sebagai pujian atau gugatan, melainkan sebagai ajakan untuk membaca ulang lembaga Wali Nanggroe secara lebih jujur, ilmiah, dan progresif.
Kita perlu menggeser pusat pandang: dari sekadar bertanya “siapa yang menjadi Wali Nanggroe?”, ke pertanyaan yang lebih substansial, “untuk siapa dan bagaimana Wali Nanggroe bekerja?” Sebab hanya dengan menjawab pertanyaan itu secara terus-menerus, lembaga ini akan bertahan sebagai penjaga nilai — bukan sekadar pelakon simbol.
Dari Jejak Kesultanan ke Amanah Perdamaian
Lembaga Wali Nanggroe tidak muncul begitu saja dari ruang kosong sejarah. Ia memiliki akar dalam struktur sosial-politik Kesultanan Aceh Darussalam — salah satu kerajaan Islam terkuat di Asia Tenggara yang berdiri sejak abad ke-16 dan memainkan peran penting dalam menyatukan sistem pemerintahan, agama, dan adat dalam satu bangunan ideologis yang kokoh. Dalam kerangka tersebut, Wali Nanggroe bukanlah pemimpin politik tertinggi, melainkan semacam figur adikultural-etik yang berada di atas pusaran konflik kekuasaan.
Ia memegang otoritas moral dan spiritual untuk menjaga keseimbangan antara hukum Islam, adat istiadat, dan keadaban sosial, serta menjadi rujukan dalam menyelesaikan perselisihan yang tidak bisa diselesaikan oleh ulama, raja, atau panglima. Dalam konteks tersebut, Wali Nanggroe dapat dilihat sebagai pemangku tertinggi hikmah dan tata nilai Aceh — bukan semata sebagai representasi simbolik, tetapi sebagai sistem rujukan normatif yang mengikat masyarakat lintas etnis, wilayah, dan zaman.
Namun kolonialisme, modernisasi paksa oleh negara-bangsa, serta konflik berkepanjangan di Aceh, menyebabkan terputusnya kontinuitas kelembagaan ini. Ketika Belanda, dan kemudian Republik Indonesia, memaksakan model pemerintahan modern yang bersandar pada sistem birokrasi administratif-rasional, banyak institusi lokal — termasuk yang berbasis adat seperti Wali Nanggroe — terpinggirkan. Ia menjadi bayang-bayang sejarah, dihidupkan hanya dalam bentuk narasi nostalgia atau ritual lokal yang kehilangan kekuatan struktur.
Barulah setelah perdamaian Helsinki 2005, lembaga ini kembali mendapat ruang formal dalam struktur pemerintahan Aceh. Perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia, yang dirumuskan dalam MoU Helsinki dan kemudian diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006, memberikan peluang besar bagi Aceh untuk merancang ulang arsitektur kelembagaannya, termasuk menghidupkan kembali sistem nilai yang pernah menjadi fondasi masyarakatnya.
Lembaga Wali Nanggroe secara resmi ditegaskan melalui Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012, yang menyatakan bahwa Wali Nanggroe adalah lembaga independen dan non-pemerintahan dengan fungsi kultural dan simbolis: sebagai pemersatu rakyat Aceh, penjaga martabat adat dan budaya, serta representasi identitas keacehan dalam relasi dengan bangsa Indonesia dan dunia internasional. Ia bukan kepala adat gampong, bukan raja, bukan pejabat pemerintahan — tetapi figur moral yang mewakili kesepakatan nilai-nilai hidup bersama masyarakat Aceh.
Secara konseptual, ini adalah langkah progresif. Ia membuka ruang untuk hadirnya lembaga non-negara yang memiliki peran penting dalam menjembatani tradisi lokal dengan sistem negara modern. Namun dalam praktiknya, rumusan formal dan niat baik kelembagaan ini tidak serta-merta menghasilkan legitimasi sosial.
Sebab, legitimasi bukan hanya soal eksistensi hukum atau kedudukan protokoler. Ia adalah soal kehadiran nyata dalam kehidupan masyarakat: Apakah nilai-nilai yang diwakili oleh Wali Nanggroe sungguh terasa dalam pengambilan kebijakan daerah, dalam dinamika kehidupan adat, dalam pendidikan, dalam seni budaya, bahkan dalam keseharian masyarakat Aceh yang beragam dan terus bergerak?
Faktanya, banyak masyarakat — khususnya di luar lingkaran elite politik — yang masih bertanya: di mana peran konkret Wali Nanggroe dalam kehidupan sosial-budaya kita hari ini? Apakah ia hadir ketika hukum adat bertabrakan dengan hukum negara? Apakah ia bersuara ketika perempuan adat kehilangan ruang dalam pengambilan keputusan gampong? Apakah ia bertindak ketika kesenian tradisional dipinggirkan oleh budaya pop global? Ataukah lembaga ini justru lebih sering tampil dalam panggung-panggung protokoler, menyampaikan pidato simbolik tanpa jangkauan programatik?
Lebih dari itu, dalam konteks sosial-politik pasca-Helsinki, banyak pula yang mengamati bahwa posisi Wali Nanggroe tak jarang terjerat dalam orbit kekuasaan politik lokal, khususnya yang terkait dengan warisan jaringan eks-GAM dan partai lokal. Akibatnya, fungsi representasi kulturalnya tampak dikaburkan oleh kepentingan politik praktis. Hal ini menciptakan jarak emosional antara lembaga tersebut dengan masyarakat luas — yang semakin kritis, terbuka, dan tidak mudah diyakinkan oleh simbol tanpa aksi.
Di titik ini, kita berhadapan dengan satu paradoks: bahwa lembaga yang lahir dari semangat rekonsiliasi dan pemulihan justru belum sepenuhnya berhasil memulihkan kepercayaan sosial. Ia legal secara formal, tetapi masih rapuh secara relasional.
Maka pertanyaan besar yang perlu diajukan bukan hanya: “apa fungsi Wali Nanggroe menurut qanun?”
Tetapi: “seberapa jauh fungsi itu menyentuh kebutuhan, problem, dan aspirasi rakyat Aceh hari ini?”
Dan lebih jauh lagi: “apakah lembaga ini sedang berkembang menjadi kekuatan kultural yang adaptif, atau justru mengeras sebagai simbol historis yang kehilangan elan sosialnya?”
Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini bukan tugas yang ringan, tetapi sangat penting. Sebab hanya dengan menempatkan Wali Nanggroe dalam posisi yang terbuka terhadap kritik, refleksi, dan transformasi, kita bisa memastikan bahwa lembaga ini tidak menjadi beban masa lalu, tetapi jembatan menuju masa depan budaya Aceh yang lebih adil, terbuka, dan dinamis.
Kebudayaan: Dari Wacana ke Tindakan
Istilah “pemajuan kebudayaan” kini bukan lagi jargon akademik atau sekadar urusan departemen pemerintahan pusat. Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, kebudayaan telah ditegaskan sebagai urusan strategis bangsa — setara dengan pertahanan, pendidikan, dan pembangunan ekonomi. Kebudayaan tidak lagi dipahami sebagai barang antik atau hiasan identitas, melainkan sebagai basis peradaban, sumber daya sosial, dan alat navigasi dalam menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian.
Undang-undang tersebut menekankan satu prinsip penting: bahwa pemajuan kebudayaan harus dibangun dari bawah, dari komunitas, gampong, dan warisan lokal yang hidup di tengah masyarakat. Bukan top-down, melainkan bottom-up dengan pendampingan dan fasilitasi negara serta lembaga adat yang berwenang. Dalam lanskap ini, Wali Nanggroe sesungguhnya memegang posisi yang sangat strategis.
Ia tidak harus menjadi pelaksana teknis kegiatan budaya — itu tugas dinas, kampus, komunitas, dan pelaku seni. Tetapi ia memiliki kapasitas unik yang tak dimiliki lembaga lain: sebagai penjaga narasi nilai, kurator etika budaya Aceh, pengarah moral kebijakan, serta katalisator harmoni antar-identitas lokal. Wali Nanggroe dapat dan seharusnya menjadi penghubung antara komunitas adat dengan negara, antara warisan dengan inovasi, antara nilai dengan kebijakan.
Sayangnya, harapan ini masih jauh dari kenyataan.
Banyak pelaku budaya, seniman, pendidik, dan tokoh adat di Aceh yang menyampaikan keresahan: mereka merasa lembaga Wali Nanggroe terlalu jauh dari realitas kehidupan budaya yang mereka jalani sehari-hari. Jauh dari ruang kreatif anak muda, dari forum pendidik bahasa daerah, dari diskusi kebudayaan lintas etnik dan agama, dari kebijakan alokasi dana desa untuk pelestarian adat.
Lebih ironis lagi, di tengah berbagai krisis kebudayaan yang menggerus fondasi nilai Aceh — seperti penyusutan penggunaan bahasa daerah, terpinggirkannya seni tradisi oleh budaya pop homogen, serta lemahnya daya hidup lembaga adat di gampong-gampong — kehadiran Wali Nanggroe justru lebih sering tampak dalam format-format simbolik: menghadiri seremoni, mengenakan busana adat, menyampaikan pidato formal tentang pentingnya kearifan lokal. Tapi seberapa jauh pidato itu menggerakkan kebijakan, menginspirasi aksi, atau menjadi sumber penguatan kolektif?
Sebagai contoh nyata:
- Bahasa di Kepulauan Banyak, Simeulue, Alas, Kluet, Singkil, dan lainnya menghadapi ancaman punah dalam dua generasi ke depan jika tidak ada strategi revitalisasi yang konkret.
- Tarian dan musik tradisi makin tersisih ke ruang-ruang event resmi, kehilangan makna sosial dalam kehidupan komunitas.
- Lembaga adat gampong sering kali kesulitan mendapatkan legalitas, sumber daya, dan kapasitas, karena tak terhubung dengan kebijakan yang lebih tinggi.
Dalam kondisi seperti ini, di mana posisi Wali Nanggroe?
Apakah lembaga ini ikut memikirkan bagaimana agar warisan budaya tidak sekadar dipertontonkan, tapi ditransmisikan secara aktif?
Apakah ia ikut mendorong penyusunan strategi kebudayaan Aceh secara partisipatif — dengan pelibatan masyarakat adat, seniman, guru, mahasiswa, tokoh agama, dan disabilitas budaya?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar gugatan, melainkan ajakan reflektif: bahwa lembaga adat tidak cukup hanya tampil sebagai penjaga simbol, tapi harus terjun sebagai arsitek nilai dan pembela hak kultural rakyatnya.
Untuk itu, diperlukan satu pergeseran mendasar dalam cara kerja lembaga ini: memindahkan pusat gravitasinya dari protokol ke akar rumput.
Artinya:
- Membangun komunikasi rutin dan terbuka dengan komunitas budaya lokal.
- Menginisiasi forum budaya lintas etnik dan lintas generasi.
- Menjadi mitra aktif dalam merancang peta jalan kebudayaan Aceh yang mencakup pendidikan adat, perlindungan ekspresi budaya, dan jaminan kesejahteraan pelaku budaya.
- Mengawal agar kebijakan budaya daerah tidak hanya berbasis proyek, tetapi berpijak pada nilai, kebutuhan nyata, dan keberlanjutan.
Di era krisis identitas global, lembaga seperti Wali Nanggroe memiliki keunikan tersendiri: ia bisa menjadi guardian of wisdom, sekaligus mediator antara adat dan teknologi, antara generasi tua dan generasi digital, antara konservasi dan inovasi. Tapi semua itu hanya mungkin bila lembaga ini mau membuka diri, belajar dari masyarakatnya, dan bersikap rendah hati terhadap perubahan zaman.
Karena pada akhirnya, kebudayaan yang tak dijalankan hanya akan jadi wacana. Dan lembaga yang tidak mau mendengarkan masyarakatnya, perlahan akan kehilangan daya hidupnya — meski tetap dihormati secara simbolik.
Merajut Kerukunan, Menghidupkan Keadilan Kultural
Aceh bukanlah satu warna tunggal. Ia adalah mosaik dari berbagai etnis, bahasa, adat, dan ekspresi budaya yang tumbuh dalam ruang yang sama, meski sering kali tidak mendapat ruang yang setara. Selain kelompok etnis Aceh yang dominan, wilayah ini juga merupakan rumah bagi komunitas Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Singkil, Simeulue, dan kelompok-kelompok minoritas lainnya yang selama berabad-abad telah membentuk wajah Aceh secara kultural maupun sosial. Setiap kelompok ini memiliki sistem nilai, seni, praktik adat, dan bahasa sendiri yang menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi besar Aceh.
Namun dalam praktik sehari-hari, keragaman ini belum sepenuhnya diterima sebagai kekuatan. Narasi “keacehan” yang berkembang dalam wacana formal sering kali terlalu disederhanakan dan cenderung identik dengan satu kelompok etnis, satu bahasa, bahkan satu tafsir budaya. Padahal, jika Wali Nanggroe sungguh dimaksudkan sebagai simbol pemersatu dan pelindung jati diri Aceh secara keseluruhan, maka ia harus mewakili bukan hanya yang dominan, tetapi juga yang terpinggirkan — yang jauh dari pusat, yang tak terdengar di forum resmi, yang hidup di batas-batas terluar geografi maupun perhatian.
Kerukunan sosial, dalam konteks hari ini, tidak lagi cukup dimaknai sebagai ketiadaan konflik antarumat beragama. Kerukunan yang hakiki menuntut adanya pengakuan dan pemulihan hak-hak kultural seluruh kelompok etnis dan budaya lokal. Dalam hal ini, lembaga Wali Nanggroe memiliki peran yang sangat penting sebagai penyeimbang narasi identitas. Ia dapat dan seharusnya menjadi jembatan antara adat besar dan adat kecil, antara narasi utama yang terinstitusionalisasi dengan cerita-cerita pinggiran yang sering kali dilupakan dalam perencanaan pembangunan atau representasi politik.
Untuk mewujudkan itu, langkah-langkah konkret sangat dibutuhkan. Misalnya:
- Mendorong dan memfasilitasi dokumentasi adat lokal yang terancam punah, tidak hanya untuk arsip budaya, tetapi sebagai dasar bagi pengakuan hukum adat secara administratif.
- Menjadi penghubung antara komunitas minoritas budaya dengan pemerintah daerah agar kebijakan pembangunan tidak abai terhadap kebutuhan kultural lokal.
- Menginisiasi forum budaya lintas etnis dan generasi untuk menyusun bersama strategi kebudayaan Aceh yang benar-benar mencerminkan semangat keadilan dan keberagaman.
- Mendorong agar anggaran daerah tidak hanya berpihak pada ekspresi budaya yang dominan atau formal, melainkan juga memberi dukungan terhadap revitalisasi seni-seni minor, bahasa ibu yang terlupakan, dan praktik adat komunitas terpencil.
Wali Nanggroe juga dapat memainkan peran sebagai penjaga imajinasi kolektif tentang Aceh yang inklusif, yakni Aceh yang tidak hanya merayakan satu bentuk kebudayaan, melainkan membuka diri terhadap pelangi identitas yang saling melengkapi. Di sinilah identitas keacehan tidak dimaknai sebagai eksklusivitas, melainkan sebagai rumah bersama yang adil bagi semua penghuni wilayah ini — baik yang hidup di pesisir maupun pegunungan, yang besar dalam bahasa Aceh maupun bahasa Gayo, yang mewarisi tarian Seudati maupun tarian Munalu.
Tanpa langkah-langkah konkret ini, istilah “kerukunan” akan tetap menjadi jargon formal yang kehilangan makna praksisnya. Ia akan berhenti sebagai ucapan di podium, bukan menjadi pengalaman sehari-hari masyarakat yang beragam secara etnis dan budaya.
Padahal, keadilan kultural adalah syarat utama bagi kerukunan yang tahan lama. Ketika setiap komunitas merasa dilihat, dihargai, dan diberi ruang untuk tumbuh, maka tidak hanya konflik sosial bisa dicegah, tetapi rasa memiliki terhadap tanah dan identitas bersama juga akan tumbuh kuat. Inilah yang semestinya dijaga oleh Wali Nanggroe — tidak sekadar sebagai penjaga adat Aceh, tetapi sebagai penggagas masa depan Aceh yang berkeadilan dan berkeberagaman.
Bayang-Bayang Politik: Menyilaukan atau Membutakan?
Dalam sejarah lembaga-lembaga kultural di mana pun, garis batas antara simbol kebudayaan dan kekuasaan politik memang kerap kabur. Hal yang sama terjadi pada Wali Nanggroe di Aceh. Meski secara hukum ditegaskan sebagai lembaga independen dan kultural — bukan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif — dalam praktiknya, posisi ini tidak lepas dari dinamika kekuasaan yang membentuk lanskap sosial-politik Aceh pasca-perdamaian Helsinki.
Tidak bisa dimungkiri bahwa Wali Nanggroe lahir dari konteks perdamaian yang juga merupakan kompromi politik antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam semangat itu, lembaga ini diberi posisi terhormat untuk merepresentasikan kehormatan Aceh dan menjadi simbol pemersatu. Namun, seiring berjalannya waktu, realitas politik lokal telah menggeser persepsi terhadap lembaga ini. Kedekatan personal maupun struktural antara pemegang posisi Wali Nanggroe dengan elit eks-GAM atau partai politik lokal yang dominan — terutama yang lahir dari garis keturunan eks-kombatan — telah menimbulkan kecurigaan atas independensi dan netralitas lembaga ini di mata sebagian publik.
Bagi sebagian kalangan, Wali Nanggroe terlihat lebih sebagai “perpanjangan tangan kekuasaan” ketimbang penjaga nilai-nilai budaya yang netral. Fungsi-fungsi kulturalnya menjadi kabur karena lebih sering tampil dalam lanskap politik simbolik: menyambut delegasi, menyampaikan pidato dukungan, bahkan dalam beberapa momen ikut terseret dalam kontroversi internal elite lokal. Alih-alih menjadi penengah, lembaga ini justru dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai representasi dari satu faksi politik tertentu.
Stigma seperti ini berbahaya jika tidak dihadapi dengan jujur dan dibenahi secara terbuka. Sebab, ketika simbol budaya kehilangan netralitasnya, maka ia akan kehilangan kekuatannya untuk mempersatukan. Ia tidak lagi dipandang sebagai rujukan moral bersama, tetapi hanya sebagai simbol eksklusif yang mewakili sebagian kelompok. Legitimasi sosial tidak bisa dibeli dengan qanun atau surat keputusan — ia harus dibangun dengan tindakan nyata dan keberanian untuk berdiri di atas semua golongan.
Di sinilah Wali Nanggroe diuji bukan hanya oleh sejarahnya, tapi juga oleh sikap dan langkahnya hari ini. Jika ingin kembali mendapat kepercayaan publik sebagai penjaga nilai dan budaya, maka lembaga ini harus berani melepaskan diri dari bayang-bayang politik praktis. Ia harus menegaskan dirinya sebagai pelindung nilai, bukan pelayan kepentingan. Ini bukan perkara mudah, tetapi sangat mungkin — asalkan ada komitmen untuk membuka diri terhadap evaluasi, membangun ruang partisipasi publik, serta memperluas jangkauan dialog ke luar lingkaran elite.
Wali Nanggroe perlu memulihkan jarak moral dengan rakyatnya. Bukan dengan tampil lebih sering di layar media, melainkan dengan menyambangi komunitas, mendengar suara adat minoritas, menjembatani konflik sosial, dan menjadi bagian aktif dari proses demokratisasi budaya di Aceh. Ia juga perlu merangkul kritik — bukan memusuhinya. Kritik yang jujur adalah vitamin kelembagaan, bukan ancaman. Hanya dengan begitu, Wali Nanggroe dapat memperkuat legitimasi sosial yang kini semakin dibutuhkan, apalagi di tengah era ketidakpercayaan terhadap institusi-institusi formal yang melanda hampir seluruh wilayah Indonesia.
Pertanyaannya sekarang bukan lagi: apakah Wali Nanggroe terlibat dalam politik?
Tetapi: apakah keterlibatannya mampu menjaga jarak yang sehat agar fungsi budayanya tetap hidup dan diterima?
Jika keterlibatan itu justru mengaburkan fungsinya sebagai penjaga nilai — membuatnya menyilaukan di mata elite, tapi membutakan arah bagi rakyat — maka akan sulit bagi lembaga ini untuk bertahan dalam jangka panjang. Sebaliknya, jika ia mampu menjaga kehormatan lembaganya dengan menolak digunakan sebagai kendaraan politik jangka pendek, maka Wali Nanggroe bukan hanya akan dihormati secara simbolik, tapi juga akan dikenang sebagai penjaga etika publik dan penuntun moral sosial di tengah badai zaman.
Epilog Sementara: Di Ambang Reposisi
Wali Nanggroe bukan milik satu tokoh, satu partai, atau satu narasi sejarah. Ia bukan milik masa lalu semata, bukan pula hanya representasi satu garis keturunan atau satu tafsir tentang keacehan. Ia adalah milik seluruh rakyat Aceh — yang hidup di pesisir dan pegunungan, yang berbicara dalam bahasa Aceh, Gayo, Alas, atau Kluet, yang menjalankan adat di gampong atau berkarya di ruang-ruang digital urban.
Sebagai lembaga yang lahir dari warisan panjang Kesultanan, melewati kekerasan kolonial, dan dihidupkan kembali dalam semangat perdamaian, Wali Nanggroe memikul tanggung jawab moral yang tidak ringan. Ia adalah pengingat masa lalu, penjaga masa kini, dan penuntun masa depan. Tapi untuk tetap bermakna — untuk tidak dibiarkan lapuk dalam seremoni atau hilang dalam gejolak politik — lembaga ini harus berani berubah.
Berubah dari simbol menjadi pelaku.
Bukan hanya hadir dalam bendera, lagu, atau pakaian adat, tetapi juga turun ke ladang realitas, mendengar rakyat yang paling kecil suaranya, melindungi warisan yang paling rapuh, dan merangkul masa depan yang paling belum selesai.
Berubah dari menara gading menjadi rumah rakyat.
Lembaga budaya tak boleh hidup eksklusif di puncak protokol. Ia harus menjadi tempat berteduh bagi keragaman, tempat menyuarakan keadilan, dan tempat berdialog tentang arah bersama — di luar logika partai, elit, dan kepentingan jangka pendek.
Berubah dari institusi yang dilihat ke institusi yang didengar, disentuh, dan dirasakan.
Wali Nanggroe semestinya menjadi bagian dari pengalaman kultural masyarakat: ketika seorang anak muda belajar syair di gampong, ketika seorang guru mengajarkan bahasa ibu yang nyaris punah, ketika seorang seniman mengolah puing tradisi menjadi karya baru — di situ semestinya terasa dukungan dan keberpihakan lembaga ini.
Dengan begitu, Wali Nanggroe dapat menjadi jangkar budaya di tengah ombak perubahan.
Ia tidak sekadar layar yang berkibar indah dalam protokol seremoni — tetapi fondasi yang kokoh, yang memandu arah peradaban Aceh ke depan. Ia bisa menjadi kekuatan sipil yang memperkuat akar, memperluas cakrawala, dan menghidupkan kembali harapan bahwa budaya bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk diperjuangkan bersama.
Namun tentu, semua ini baru akan menjadi kenyataan jika keberanian untuk melakukan reposisi benar-benar diambil — dari dalam.
Bukan karena tekanan, bukan karena tuntutan, tetapi karena kesadaran bahwa lembaga adat di abad ke-21 tidak bisa lagi hidup dengan cara-cara abad ke-19. []
Bersambung ke Wali Nanggroe (Bagian II): Menata Ulang Peran Strategis Wali Nanggroe di Era Kebudayaan Baru
_____
Penulis adalah peneliti dan pendidik di bidang seni, budaya, dan masyarakat di Universitas Syiah Kuala. Ia aktif menulis tentang relasi budaya, Islam, dan peradaban lokal. Menyelesaikan studi di Banda Aceh, Hawai‘i, dan Australia, ia terus belajar dari masyarakat akar rumput dan para ulama yang menjaga warisan dengan hati.