Oleh: Rauzatul Jannah
Di atas panggung seni hari ini, kita disuguhi cahaya gemerlap, gerak yang bebas, dan kostum yang memikat mata. Semuanya tampak menghibur. Namun, saat tepuk tangan reda dan lampu padam, yang tertinggal hanyalah sunyi. Dalam diam itulah muncul pertanyaan: untuk siapa semua ini ditampilkan? Dan apa sebenarnya yang ingin kita sampaikan?
Inovasi memang penting. Ia menandakan bahwa seni terus tumbuh dan merespons zamannya. Tapi tanpa pijakan pada akar, inovasi bisa kehilangan arah. Akar bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan ruh yang memberi makna pada setiap gerak, bunyi, dan bentuk. Di tengah derasnya arus zaman, mari kita bertanya: masihkah seni menyentuh rasa? Ataukah ia hanya menjadi tontonan gemerlap tanpa jiwa? Sebab tanpa arah dan akar, seni hanya jadi pemandangan yang mudah dilupakan.
Salah satu fenomena yang mencolok dalam pergeseran nilai budaya di Aceh hari ini adalah perubahan bentuk pelaminan adat. Dahulu, pelaminan Aceh tampil khas dengan penggunaan warna-warna simbolik yang sarat makna. Merah melambangkan keberanian dan kekuatan. Kuning mencerminkan kemuliaan dan kehormatan. Hijau melambangkan kesuburan dan kesejukan hati. Hitam menunjukkan keteguhan dan ketegasan. Keempat warna tersebut bukan sekadar soal estetika, melainkan warisan filosofi yang menyimpan harapan dan doa. Setiap hiasan pada pelaminan adat Aceh dulunya dirancang sebagai bentuk penghormatan terhadap pernikahan sebagai peristiwa sakral, bukan sekadar seremoni.
Kini, pelaminan adat perlahan bergeser. Banyak pernikahan di Aceh yang mengadopsi konsep internasional, mendominasi warna putih dan pastel, dipadukan dengan bunga artifisial, tirai tinggi ala ballroom, serta tata cahaya modern. Pelaminan yang dulu penuh makna kini tampil mewah dan Instagramable, sayangnya kehilangan ruh lokal yang membentuk identitasnya. Yang lebih mengkhawatirkan, perubahan ini sering tidak melalui perbincangan adat atau pemahaman nilai, melainkan sekadar mengikuti selera pasar dan tren media sosial. Maka pelaminan adat bukan lagi simbol penghormatan, melainkan sekadar latar foto.
Kita tentu tidak anti terhadap keindahan atau pembaruan. Tapi yang patut dipertanyakan: masihkah pelaminan ini mencerminkan nilai yang hidup dalam masyarakat Aceh? Atau sekadar tampil sebagai kulit luar yang dibalut nama adat, namun isinya sudah berganti? Jika perubahan bentuk tidak dibarengi dengan kesadaran makna, maka yang terjadi adalah pelunturan simbol. Kita menjadi peniru tanpa akar, pencipta tanpa fondasi. Ketika arus terlalu deras, akar ikut tercabut—meninggalkan tradisi sebagai formalitas yang kehilangan jiwa.
Satu contoh lain yang cukup mengusik datang dari pertunjukan tari Ranup Lampuan, tarian penyambutan khas Aceh yang lekat dengan nilai kesopanan dan kesakralan. Dalam tradisi aslinya, tarian ini dibawakan oleh perempuan dengan gerakan halus dan anggun yang melambangkan kehalusan budi, penghormatan kepada tamu, dan kehangatan dalam penyambutan. Gerakannya tidak dibuat-buat, melainkan lahir dari kesadaran tubuh yang tumbuh bersama nilai adat. Namun kini, makna itu mulai tergeser. Dalam sebuah video yang ramai beredar di TikTok dan Instagram, Ranup Lampuan ditampilkan oleh sekelompok anak-anak, namun yang menjadi “ratu” dalam tarian tersebut adalah anak laki-laki yang tampil gemulai secara berlebihan. Gerakan itu tidak lagi mencerminkan ruh asli tarian, melainkan menampilkan versi karikatural yang mendekati hiburan jenaka ketimbang penghormatan.
Penampilan itu berhasil menghibur sebagian penonton, bahkan viral. Tapi kita perlu bertanya lebih dalam: apa yang sedang terjadi dengan makna tari ini? Ketika simbol budaya yang sakral diubah konteksnya tanpa pemahaman nilai, kita tidak sedang berinovasi—kita sedang mempermainkan warisan. Ini bukan soal apakah laki-laki boleh menari atau tidak. Perubahan peran dan ekspresi dalam seni yang sarat makna semestinya disertai kesadaran akan ruh dan konteksnya. Tanpa itu, tradisi bisa berubah menjadi parodi. Jika kebiasaan ini terus berkembang tanpa kritik dan refleksi, kita sedang membuka jalan menuju pemutusan akar—di mana bentuk boleh tetap ada, tetapi jiwanya telah kosong.
Akar bukan penghalang inovasi. Ia justru pondasi yang membuat inovasi tidak sekadar menjadi bentuk baru yang kosong, tetapi pertumbuhan yang berjiwa. Ketika kita mengejar bentuk tanpa menimbang makna, yang tersisa hanyalah kulit seni—nampak indah di luar tapi hampa di dalam. Tanpa akar, seni kehilangan orientasi. Ia menjadi mudah dibelokkan oleh selera sesaat dan lupa pada esensi.
Dalam seni Aceh, akar adalah kompas; penunjuk arah yang memberi makna pada bentuk, membingkai gerak, dan menghidupkan bunyi. Ia hadir dalam berbagai media seni seperti musik, hikayat, tari, bahkan rupa sebagai penanda jati diri. Dalam musik, akar bersemayam dalam suara rapa’i, geundrang, dan seurune kalee. Bukan sekadar pengiring, melainkan penyampai pesan kehidupan. Lirik-lirik dalam syair, rateb, dan didong bukan hanya untaian kata, tetapi media pendidikan rasa, etika, dan iman yang menyentuh lebih dalam daripada ceramah.
Dalam hikayat, akar menjadi arsip hidup yang mengandung kisah kepahlawanan, petuah adat, sejarah perlawanan, hingga kearifan spiritual. Ia bukan hanya cerita untuk didengar, melainkan cermin nilai-nilai luhur masyarakat Aceh—yakni berani, setia, religius, dan bermartabat. Dalam tari, akar tercermin dalam gerakan yang serempak, ritmis, dan bersahaja. Gerak komunal dan repetitif mengandung pesan tentang kebersamaan dan harmoni. Sementara posisi tubuh yang rendah, duduk bersila, menyiratkan kerendahan hati dan spiritualitas. Tarian bukan sekadar tontonan visual, melainkan pengalaman batin yang menghimpun rasa dan iman dalam satu irama. Dalam seni rupa, akar terlihat jelas dalam motif pinto Aceh, pucok rebung, bungoeng jeumpa, dan awan berarak. Setiap pola bukan sekadar hiasan, tetapi doa yang dijahit dalam benang, ukiran, dan warna. Ia hadir dalam songket, bordiran baju adat, dinding meunasah, dan perlengkapan ritual yang mengikat manusia dengan tanah, sejarah, dan Sang Pencipta.
Saya percaya inovasi sangat penting bagi seni. Tapi inovasi yang baik tidak lahir dari pemutusan, melainkan dari dialog—dengan tradisi, dengan para maestro, dan dengan nilai-nilai yang mendasari. Inovasi sejati tentu bertanya: dari mana saya bergerak? Kepada siapa saya bicara? Nilai siapa yang saya bawa? Bentuk seni bisa diperbarui tanpa mengorbankan maknanya. Kita bisa belajar dari generasi sebelumnya, lalu meracik ulang dengan cara kita sendiri. Terpenting adalah yang muda memberi energi, yang tua menjaga arah. Di situlah inovasi menjadi proses yang berakar, bukan sekadar hasil instan.
Saya tidak menolak warna-warna baru. Justru saya ingin melihat seni yang tumbuh, berubah, dan menjangkau lebih luas. Setiap zaman tentu membawa rasa dan bentuknya sendiri. Namun, dalam setiap warna baru yang ditambahkan, motif lama harus tetap terbaca—karena motif itu adalah akar tempat kita berpijak dan kembali. Tanpa akar, seni kehilangan arah. Ia mungkin tampil indah di permukaan, tapi tak lagi menyimpan kedalaman. Ia bisa viral, tapi tak lagi membekas. Maka inovasi yang sejati bukanlah yang memutus, melainkan yang menyambung, memperbarui tanpa melupakan, dan yang menambah tanpa menghapus.
Seni adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa depan, yang mengikat tradisi dengan semangat zaman. Tugas generasi saya adalah memastikan jembatan itu tidak patah di tengah jalan. Kami ingin melangkah maju, tapi tidak dengan menginjak yang lama. Kami ingin terbang tinggi, tapi tetap tahu akar yang menumbuhkan kami. Karena hanya dengan begitu, seni bisa terus hidup. Tidak hanya menjadi tontonan yang memikat mata, tetapi juga menjadi ruang penjemputan yang menyentuh rasa. Ia akan terus tumbuh—bukan sekadar karena bentuknya berubah, tapi karena maknanya tetap terjaga. Dan di situlah seni menjadi utuh: tidak hanya indah, tetapi juga bermakna. []
Tentang Penulis
Rauzatul Jannah adalah lulusan Pendidikan Seni Universitas Syiah Kuala. Ia aktif dalam dunia musik dan teater, dan kini membagikan ilmunya melalui kelas privat gitar klasik dan akustik untuk pemula hingga tingkat menengah di Banda Aceh dan Aceh Besar. Dengan pendekatan pembelajaran yang bertahap dan jadwal yang fleksibel, les ini terbuka untuk semua usia—mewujudkan ruang belajar musik yang tidak hanya teknis, tetapi juga menyentuh rasa dan makna. Instagram: @rauzatuljannah.22




















