Oleh: Arif Ramdan
Dosen Fakultas Dakwah Dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry, Kopelma Banda Aceh.
Alhamdulilah, anakku lahir dalam keadaan sehat, normal, tanpa kekurangan apapun dalam segi fisik. Saat aku memandangnya, ketika untuk pertama kalinya dia melihat dunia, tak terasa air mataku menetes, bahagia.
Sembilan bulan mendampingi istri tercinta–Yurdani–adalah perjalanan panjang penuh liku, harap-harap cemas, penuh dengan berbagai kejutan. Suka cita, dan bahagia menjadi suami yang senantiasa berusaha setia dan siaga menunggu kelahiran anak pertama, adalah kenangan yang tak dapat terlupakan. Tak habis pikir, tentunya pada saat menghadapi perubahan psikis istri yang berbeda-beda di setiap bulanya, Ngidam !!!
Memang sering tidak masuk akal, tetapi itulah seni dalam pernikahan. Itu juga yang menuntut saya untuk tetap setia dan menyanyangi istri tercinta. Anak pertamaku, kuberi nama: Muhammad Rizky Ramdani. Sempat banyak masukan dari keluarga besar saya juga keluarga besar istri soal siapa nama anak pertama yang punya garis keturunan Sunda-Aceh. Tetapi, akhirnya kujatuhkan pilihan pada nama di atas.
Muhammad berarti junjungan kita, Nabi Kita yang mulia, nabi akhir zaman. Muhammad juga berarti teladan yang harus anak saya ikuti dalam setiap derap langkah hidupnya kelak. Rizky berarti rezeki, semoga saja dia lahir dan tumbuh besar dengan limpahan rejeki yang di Atas. Selain itu, Alhamdulillah, kelahiran dia juga pada saat Allah memberikan kelapangan rezeki pada saya dan istri saya, sehingga tidak ada kendala saat semuanya harus berurusan dengan yang satu itu.
Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Ramdani diambil dari padanan Ramdan (kepanjangan saya, Dani= Yurdani, nama ibunya). Muhammad Rizky Ramdani, adalah anakku, anak dari buah cinta saya dan istrik. Semoga dia menjadi orang yang berlimpah rezeki sebagai bekal dia berjuang menegakkan kalimat Nya, yang terpuji, dan yang bijak dalam bersikap. Semoga dia menjadi orang yang rajin beramal, berinfaq, bersedekah dengan rezeki yang diberikan Nya.
Anaku, anak lintas budaya. Ia lahir dari dua garis keturunan yang berbeda, dua kebiasaan dan watak yang berbeda. Dari ibunya, ia mewarisi sikap tegas dan pantang menyerah. Satu keumuman sikap yang dimiliki orang Aceh. Sifat itu, belakangan saya lihat dari keseharian Rizky dalam masa tumbuh kembang.
Suatu ketika, saat usianya menginjak 1 tahun, sering terlihat ada keinginan keras dari anakku untuk menggapai sesuatu di hadapannya. Dia tidak akan berhenti, jika belum mendapat apa yang diinginkannya.
Anaku, anak lintas budaya. Dia tidak boleh kehilangan jati diri sebagai orang Sunda dan juga sebagai orang Aceh. Untuk itu semua, sejak awal saya sering dendangkan untuknya kawih (nyanyian) Sunda, termasuk kawih menjelang dia tidur.
Ayun Ambing adalah nyanyian Sunda yang sering saya lantunkan menjelang anakku tidur. Dari sini ada pesan leluhur orang Sunda agar anaknya besar menjadi orang berguna, sekolah, dan membahagiakan orang tua. Dari nyanyian ini, juga diingatkan cerita dari keluh-kesah ibunya saat mengandung. Begitu juga, ketika anakku berada di dekapan ibunya atau bahkan neneknya, sudah pasti dilantukan untuknya nyanyian berbahasa Aceh. Do Da Idi salah satunya.
Orang-orang yang datang ke rumah, terutama kawan-kawan istri, saya sering bertanya, mau diajarkan bahasa apa anaknya? Saya jawab, bahasa Aceh, Sunda, dan Indonesia, Inggris, dan Arab, tentu dengan nada bercanda. Bahasa Aceh tentu harus lebih dulu dipahami anak saya, karena dia akan besar di lingkungan orang-orang Aceh.
Neneknya, mertua saya malahan mengajar bahasa Aceh dan Jamee[1]. Keluarga istri saya memang memiliki garis keturunan dari suku Aneuk Jamee. Bahasa Aceh, penting untuk anak saya, karena jika dia besar nanti terus menjadi ulama (mudah-mudahan, amin!), dia harus mampu menyeru kepada kebaikan di tengah-tengah masyarakat tentu dengan bahasa kaumnya, agar lebih efektif dan mudah dipahami.
Tetapi, karena anak saya ini anak lintas budaya. Dia juga harus bisa bahasa dari mana bapaknya bermula. Sebab, anak ini—mudah-mudahan meutuah umu—juga akan bergaul dalam komunitas sunda, sebagai leluhur bapaknya. Maka tak heran, kalau abah di kampung, yaitu kakeknya anak saya sering mengajaknya bicara dalam bahasa sunda. “Anaking, si kasep geura geude nya, geura sakola ka bandung” [2] kata kakeknya kalau sedang bicara dengan anak saya.
Mengajari bahasa ibu (Aceh dan Sunda) sangat penting untuk anak saya, sebab akhir-akhir ini tidak hanya anak-anak Aceh, anak-anak Sunda yang lahir di abad milenium ini, agak susah untuk mau bicara dengan bahasa aslinya. Coba dengar anak-anak di Banda Aceh yang ibu dan bapaknya asli Calang atau Geumpang, rata-rata mereka berbicara dengan bahasa Indonesia.
Padahal, bahasa nasional ini akan terbiasa dan bisa, selama anak-anak kita mau pergi ke sekolah untuk belajar. Sebab, politik bahasa di negeri ini mewajibkan menggunakan bahasa nasional di setiap instansi resmi termasuk lembaga pendidikan.
Anakku, anak lintas budaya. Semoga dia tumbuh dewasa menjadi manusia berguna, tidak lupa akar leluhurnya yang senantiasa mengajarkan kearifan budayanya. Sunda dengan Aceh memang tidak jauh berbeda, adat pada masing-masing budayanya bersendi dalam satu keagungan luhur, yaitu Islam.
Maka, saya tidak heran ketika berbagai kenduri dan pesta adat di Aceh digelar dengan begitu meriah. Toh ternyata dalam keseharian masyarakat Sunda, beberapa diantaranya lazim dilakukan. Sambil bergurau dengan tetangga di gampong, kuperkenalkan anakku, GAM Sunda.
Berlebihan? Tentu tidak, sebab dalam bahasa sehari-hari, masyarakat Aceh menyebut GAM yang berarti anak. Tetangga saya sering menyebut Dek GAM, untuk anak pertamanya yang masih berumur tiga tahun. Bang Agam, juga tetangga saya di Darussalam Banda Aceh. Orang-orang sekitar malah sering memanggilnya, Hai GAM keunoe siat! (Hai GAM kemari sebentar!) jika memerlukan bantuannya.
Terima kasih untuk keluarga besarku, kawan-kawan semua, atas doa dan motivasi yang diberikan kepadaku. Hari ini, dan seterusnya saya sudah menjadi bapak dari si buah hati. Tak sadar, perasaan kemarin hari saya masih sendiri, perasaan kemarin hari saya mengenyam bangku kuliah, berpetualang di alam bebas menapaki liku-liku kehidupan. [Sumber: Buku “Aceh Dimata Urang Sunda, Karya Arif Ramdan).
[1] Suku Aneuk Jamee dengan bahasa Aneuk Jamee yang terdengar seperti bahasa Minang, yaitu penduduk dari Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Barat Daya, dan Kabupaten Nagan Raya.
[2] Artinya : “Anaku yang ganteng, cepat besar ya, cepat sekolah ke Bandung,”