Oleh : Risky Almustana Imanullah.
Mahasiswa Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Pemerintahan, UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam Banda Aceh.
Paska Prabowo menjadi Menteri kabinet Indonesia Maju dan kemudian disusul oleh Sandiaga Uno. Sebelumnya pasangan Prabowo-Sandi merupakan opisisi. Bahkan diawal kemenangan Presiden Jokowi untuk periode yang kedua, Sandiaga Uno sempat dikabarkan akan menolak untuk tawaran Menteri. Tepatnya hari Rabu tanggal 23 Desember 2020 Sandiaga Uno resmi dilantik menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Disini masyarakat menyadari, bahwa tidak ada teman sejati, tidak ada musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan.
Banyak orang yang mengatakan “ternyata kita tidak akan pernah mampu melawan kekuasaan, apapun yang terjadi ikuti alur saja. Oposisi pun pada akhirnya masuk ke barisan petahana”. Tetapi yang perlu di garis bawahi adalah kebenaran akan selalu hidup. Kita tidak bermaksud melakukan kesalahan untuk melawan kekuasaan, tetapi mencoba berfikir lebih kritis dan realistis untuk melawan kekuasaan agar melahirkan kebenaran. Disinilah pentingnya pengetahuan untuk berfikir agar lebih cerdas. Jangan apatis.
Dewasa ini, penulis melihat tujuan bangsa Indonesia mulai buram, hukum tumpul keatas tajam kebawah. Kata mencerdaskan kehidupan bangsa berubah menjadi kata mendiktekan kehidupan bangsa. Critical thinking mulai redup, idealisme terukur dengan doku, kebebasan berpendapat di persempit, mengkritik dianggap makar, dan keculasan negara semakin terpampang. Artinya kemerdekaan absolut adalah hak pemerintah semata. Ruang gerak rakyat terbatas oleh wangsa dan kekuasaan. Untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan harus di awali modal besar, baik itu eksekutif, legislatif, ataupun kedudukan lainnya.
Roger H. Soltau mendefinisikan negara adalah agen atau kewewenangan yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat. Roger juga mengatakan bahwa tujuan negara ialah memungkinkan rakyat berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin.
Sebagaimana tujuan negara Indonesia yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (Miriam: 55, 2015).
Kala ini banyak masyarakat yang mulai terdiam untuk mengkritik dan mandek dalam mencegah perihal yang tidak sesuai dengan tujuan Negara karena mendapat ancaman dari para stakeholder. Negara seharusnya tidak anti kritik dan bisa menjelaskan setiap fenomena yang terjadi secara eksplisit kepada masyarakat. Misalnya seperti keberadaan covid-19 di Indonesia, kualitas vaksin dan dampak terhadap masyarakat, penembakan 6 laskar FPI, penangkapan HRS, pembubaran FPI, dan kasus lainnya yang membuat masyarakat ambigu. Pada akhirnya melahirkan negatif thinking dikalangan masyarakat terhadap negara, misalnya banyak yang menerka bahwa suntikan vaksin terhadap presiden Jokowi bukan sesungguhnya vaksin yang di impor, melainkan vitamin Kesehatan. Hal ihwal ini muncul akibat dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Aneh bin ajaib dinamika yang terjadi dewasa ini. Masyarakat terombang-ambing bagaikan buih dilautan, sedangkan pemerintah adalah aktor dibalik hembusan angin dalam menciptakan ombak. Tidak ada isu yang selesai hingga mencapai klimaks penyelesaian. Setiap isu yang sedang hangat dibicarakan, maka akan ada isu terbaru sebagai pengalih perhatian. Dan itu terus terjadi. Misalnya, permintaan transparansi anggaran covid-19, kemudian disusul dengan isu RUU cilaka. Tidak lama berselang setelah kepulangan HRS ke Indonesia terjadi penangkapan dengan isu kerumunan dan alasan lainnya, kemudian isu penembakan di KM 50 tol Cikampek, setelah itu ada beberapa oknum yang melaksanakan aksi demontsrasi dengan dalih menolak HRS datang ke Aceh. Tokoh masyarakat dan pemuda yang diminta oleh badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum untuk membaca teks yang sudah disediakan dan kemudian di videokan dengan motif dukungan terhadap kelompok yang membuat video tersebut dengan bahasa mendukung dalam penegakan hukum dan penindakan tegas terukur terhadap pelaku-pelaku pengganggu stabilitas nasional. Setelah penulis analisis, kalimat ini cendrung ditujukan kepada kelompok FPI karena beredar beberapa video tersebut dengan motif yang sama setelah terjadi penembakan 6 orang laskar FPI.
Dari sisi lain, pengayom masyarakat yang hari ini menakut-nakuti masyarakat, bukan menjelaskan realita yang sebenarnya. Seperti yang terjadi beberapa hari lalu di sebuah kecamatan di wilayah Aceh. Panitia pelaksana kegiatan Perayaan Hari Besar Islam yang tergabung dari kalangan remaja masjid dan pemuda-pemudi sempat di minta untuk membatalkan acara peringatan maulid karena bersifat mengundang keramaian. Setelah diskusi panjang lebar, akhirnya kegiatan tersebut dibolehkan dengan syarat tidak ada iklan spanduk, media sosial dan harus melaksanakan kegiatan di tempat yang sedikit tertutup dengan mengikuti protokol kesehatan. Jika kita bisa berpikir secara rasional, dimana saja bisa dilaksanakan acara kerumunan selama mematuhi protokol kesehatan. Dan anehnya lagi, pada 30 September 2020 lalu kunjungan menteri Pertanian Indonesia ke Aceh tidak ada yang berani melakukan pembubaran massa saat itu tepatnya di persawahan.
Disini penulis melihat adanya nepotisme dalam jabatan. Masyarakat yang lemah terus tertekan, sedangkan para ber-uang diberikan ruang kebebasan. Pemangku jabatan bersaing untuk menjadi yang terbaik, bukan untuk menjadi bermanfaat. Sehingga tidak ada kata mencerdaskan oleh negara. Mereka yang cerdas dan terlalu kritis diupayakan untuk di bungkam karena di anggap dapat menggangu kestabilan negara.
Dinamika yang terjadi dewasa ini sudah pernah di bahasa ribuan tahun yang lalu dengan istilah “homo homini lupus” yang pertama sekali di cetus dalam karya Plautus berjudul Asinaria yang diterjemahkan sebagai manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Artinya setiap manusia akan melakukan apa saja untuk mempertahankan eksistensinya. Rasanya, altruisme hanya terlintas dikepala mereka yang kelaparan dan hidup serba berkecukupan. Sedang mereka yang mempunyai pangkat dan jabatan diselimuti oleh egoisme. Seperti kutipan yang di ucapkan Mahfud Md “Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa menjadi iblis…”.
Rene Descartes, seorang filsuf Prancis pernah berkata “aku berpikir maka aku ada”. Artinya, manusia sebagai makhluk sosial harus selalu berpikir terhadap apa yang terjadi, kapanpun dan dimana pun. Berpikir realitas merupakan salah satu cara manusia mensyukuri nikmat Tuhan atas anugerah akal budi yang diberikan. Dalam berpikir truth (kebenaran) dan knowledge (pengetahuan) merupakan hal yang paling di utamakan.
Sangat disayangakan jika hari ini banyak yang apatis terhadap dinamika negara yang terjadi dari hari ke hari, kesadaran membaca buku untuk meningkatkan pengetahuan dikalangan masyarakat semakin menurun, kegiatan keseharian disibukkan dengan media sosial yang memantik keributan, perpecahan dan penyebaran berita hoax. Dan yang sangat disayangkan lagi adalah jika sistem belajar di Indonesia pada tahun 2021 masih dilanjutnya dengan metode daring dengan keberadaan corona virus disease yang tidak visible, karena secara global Indonesia belum siap menjalani Pendidikan secara online dan dikhawatirkan peserta didik akan mengarah kepada hal-hal negatif yang tidak diingingkan.[]