Oleh: Satia Zen.
Guru Sekolah Sukma Bangsa Bireuen. Mahasiswa S3 Fakultas Pendidikan dan Budaya, Universitas Tampere, Finlandia.
Pada awal musim dingin di pertengahan November lalu, saya menghadiri sebuah kegiatan seminar yang diadakan oleh Finnish Universities Network for Asian Studies. Sebuah jaringan akademisi di Finlandia yang menyelami isu-isu kawasan Asia dari berbagai disiplin.
Kegiatan seminar tersebut rutin dilakukan setiap tahun dengan tuan rumah universitas yang berbeda-beda. Penyaji dan peserta juga datang dengan berbagai latar belakang ilmu namun dengan fokus geografis penelitian di Asia yang dilakukan di berbagai universitas di Finlandia.
Kegiatan tahun ini diadakan di Jyväskylä University (JYU) yang terletak disebuah kota di bagian tengah negara Finlandia dengan nama yang sama yaitu Kota Jyväskylä (dibaca Yuvaskula).
Nama kota ini memang membingungkan dan tidak mudah dilafalkan oleh orang dari luar Finlandia. Karena huruf ’J’ disini dilafalkan seperti huruf ’Y’, kemudian huruf ’Y’ disini dibaca seperti huruf ’U’ dengan rahang bagian bawah sedikit maju, sehingga bunyinya jadi ’uh’.
Seorang akademisi dari Indonesia pernah mampir ke rumah kami di Tampere dalam perjalanan beliau menuju ke Jyväskylä dan sebuah pertanyaan pertama yang ditanyakan adalah ’bagaimana membaca nama kota ini?’ Membuat saya diam-diam membatin, jangan-jangan beliau sengaja mampir dulu, takut tersasar karena tidak bisa menyebutkan kota tujuannya.
Seperti sebuah ungkapan yang saya lihat disablon di tas kain sempang mahasiwa JYU: ’Jyväskyla: tough to pronounce, easy to love’, sulit untuk dilafalkan namun mudah untuk disukai. Seperti itulah rasanya Kota Jyväskylä dan kampus JYU.
Dengan jumlah penduduk sekitar 140 ribu jiwa, konon 5 dari 6 warganya adalah siswa, dan populasi dengan rentang usia dari 15 hingga 64 tahun mencapai lebih dari 60%. Hal ini membuat kota Jyväskylä memiliki nuansa kota pelajar yang energik dan dinamis.
Kotanya sendiri berdempetan langsung dengan kampus membuat seolah-olah tidak ada batasan jelas antara kampus dengan kota itu sendiri. Ditambah lagi gedung-gedung yang dibangun oleh Alvar Aalto, seorang arsitek Finlandia yang terkenal, bisa ditemui di dalam kampus dan di sekitar kota Jyväskyla.
Didalam kampus JYU, gedung-gedung bergaya modern dari batu bata merah yang dirancang oleh Alvar Aalto ini memiliki ciri khas jendela lebar dan nuansa kayu yang hangat. Seolah-olah hendak menghilangkan batas antara hutan dan bangunan, manusia dan alam.
Kota ini juga dijuluki sebagai ’Athens of Finland’, karena perannya sebagai cikal bakal pendidikan di Finlandia. Di kota inilah sekolah dasar dan sekolah guru pertama didirikan pada tahun 1863 oleh Uno Cygnaeus.
Di dalam kampus, masih ada sebuah gedung kayu sederhana berwarna merah yang merupakan sisa bangunan sekolah tersebut. Pada masa itu, model pendidikan yang dikembangkan oleh Cygnaeus yaitu pendidikan untuk anak di segala usia, kegiatan praktis dan religius menjadi model awal yang direplikasi oleh sekolah-sekolah serupa di Finlandia (Tirri, 2014).
Model ini juga menjadikan peran guru di komunitas menjadi sentral, hingga guru di Finlandia mendapatkan julukan ’candle of the nation’, ’suluh bangsa’. Dan rasa hormat terhadap guru yang ditanam pada masa itu, masih mempengaruhi tingginya status sosial dan kepercayaan terhadap guru hingga saat ini.
Model awal sekolah guru ini kemudian juga mulai berkembang seiring dengan berkembangnya sistem pendidikan yang disediakan oleh negara. Negara mengambil alih peran sebagai penyelengara pendidikan dan mulai melakukan pembenahan terhadap pendidikan guru sekitar tahun 1920an.
Seiring waktu, salah satu kebijakan yang mengubah profesi guru di Finlandia menjadi ’profesi yang berbasis kepada sains’ dilakukan dengan penerapan ’Teacher Education Act’ pada tahun 1971. Undang-undang ini menetapkan bahwa pendidikan guru untuk sekolah dasar dan menengah dipindahkan dari training college ke universitas. Pada tahun 1979, guru di Finlandia disyaratkan mendapatkan ijazah Master/S2 yang ditempuh dalam waktu 5 tahun hingga saat ini.
Seiring waktu, perubahan terkait pendidikan guru terus dilakukan, sehingga educational sciences (ilmu kependidikan) memiliki tempat khusus didalam struktur universitas di Finlandia.
Fakultas pendidikan yang ada di universitas-universitas di Finlandia tidak hanya berfungsi menyiapkan calon guru, namun juga memberikan pembekalan bagi dosen-dosen dalam pedagogi untuk tingkat universitas serta melakukan pelatihan dan pengembangan kapasitas untuk guru-guru yang sudah bertugas.
Selain itu, riset terkait ilmu-ilmu pendidikan juga menjadi bagian integral dan menjadi masukan bagi pembuatan kebijakan pendidikan regional, nasional dan internasional.
JYU, seperti universitas lain di Finlandia, juga memiliki Fakultas Pendidikan dan ’practice school’ serta pusat-pusat studi mengenai pendidikan. Salah satu pusat studi yang ada di JYU adalah Finnish Institute for Educational Research, FIER. Sebuah pusat studi multidisiplin yang melakukan pendataan terkait ujian PISA, dimana Finlandia menjadi salah satu negara dengan hasil PISA terbaik sejak awal 2000an.
Selain mengelola data untuk keperluan PISA, pusat studi ini juga melakukan riset dengan cakupan lebih luas sehingga dapat merumuskan masukan yang sistematis untuk melakukan perubahan kebijakan yang mempengaruhi proses belajar dari tingkat kelas, sekolah hingga regional.
Dari sebuah kota kecil di tengah Finlandia, Jyväskylä memberikan kontribusi penting dan berharga terkait kebijakan pendidikan di negara tersebut, juga ilmu kependidikan secara umum.
Kunjungan saya selama dua hari, memang terasa singkat namun padat. Meskipun banyak kegiatan dikampus yang dibatasi karena pandemi, suasana hangat dan dinamis masih terasa, terlihat dari interaksi mahasiswa dan warga.
Hal ini juga tercermin ketika saya mengunjungi perpustakaan universitas yang terletak pada perbatasan kampus dengan kota sehingga bisa diakses oleh siapapun.
Didalam perpustakaan tersebut terlihat warna aksen kuning yang terlihat pada kusen pintu dan jendela serta bagian-bagian lain. Ditambah dengan warna hitam putih yang membalut kursi-kursi di perpustakaan tersebut dan foto-foto lama yang menggambarkan peristiwa bersejarah di JYU dan Kota Jyväskylä.
Efeknya adalah sebuah perpustakaan yang playful dan terbuka tanpa meninggalkan kesejarahannya, seolah-olah ingin menantang siapapun yang mengatakan bahwa sesuatu yang tua itu ketinggalan jaman dan kuno.
Kesan inilah yang juga saya rasakan di sekitar kampus dan kota. Sehingga meskipun udara dingin mulai menggigit, Jyväskylä telah meninggalkan kesan mendalam yang membantu saya memahami akar pendidikan, peran guru serta pengelolaan pendidikan yang berwatak khas Finlandia.