Oleh: Juanda Djamal
Peneliti Center for Peace and Conflict Studies (CPCS) di Kamboja.
Pergerakan OMS yang dimanifestasikan oleh pergerakan mahasiswa telah memberikan kontribusi besar dalam meng-ubah keadaan Republik Indonesia dan khususnya keadaan sosial-politik Aceh. Mahasiswa Aceh turut terlibat aktif dalam menurun rezim Soeharto tahun 1997-1998. Mahasiswa Aceh juga terlibat aktif dalam menghentikan status DOM sehingga mengubah pergerakan politik Aceh menjadi masif, terutama mendorong demiliterisasi, transformasi konflik ke perdamaian dan saat ini penguatan demokratisasi sebagai alur pergerakan politik Aceh.
Titik tolak perdamaian dan demokratisasi ditandai oleh perjanjian politik antara GAM dengan Pemerintah Republik Indonesia, 15 Agustus 2005 yang dimediasi CMI. Capaian ini telah dimulai sejak tahun 2000, ketika Gus Dur meminta HDC menjadi fasilitator perundingan Aceh-Jakarta. Namun proses saat itu gagal saat kepemimpinan Republik Indonesia ditangan Presiden Megawati. Aceh kembali dalam keadaan darurat militer (2003) sampai bencana tsunami menghentakkan dunia dan para-pihak bersepakat untuk meneruskan perundingan dan menyelesaikannya dalam kesepakatan politik bersama.
Perjanjian perdamaian Aceh di Helsinki selanjutnya disadurkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) merupakan titik tolak transformasi politik Aceh dari pergerakan bersenjata ke pergerakan politik. Utamanya transformasi pihak GAM yang awalnya menggunakan senjata sebagai alat perjuangan. Perjanjian Helsinki dan UUPA telah mengubah strategi perjuangan melalui jalur politik diplomasi.
Tentunya, era baru politik Aceh telah mentransformasi-kan kerangka berfikir sehingga secara simultan mengubah sikap dan perilaku politik. Era pergerakan politik yang menggunakan senjata diubah dan dihadapkan pada tantangan global, regional, dan nasional. Tentunya Aceh memasuki era pergantian generasi, dari generasi orba ke generasi milenial. Intinya, pergantian generasi ini memaksa kita untuk memikir-kan ulang dan menata kembali strategi dan taktik politik dalam memastikan agenda perjuangan politik Aceh “keadilan dan kesejahteraan” dapat kita wujudkan dalam masa 20-40 tahun selanjutnya.
Tengku Muhammad Hasan di Tiro menancapkan fondasi pergerakan politik modern. Beliau mewujudkannya dengan menyentuh kesadaran generasi Aceh melalui sejarah dan identitas, kendatipun dimulai pendekatan bersenjata (1976-2005), namun dasar pemikirannya tidak lepas atas pemikiran politik dan diplomasi. Buktinya, pendekatan bersenjata yang digagasnya telah menghendaki Pemerintah Republik Indone-sia untuk berdialog pada Mei 2000 yang dimulai oleh presiden Gus Dur yang difasilitasi HDC. Meskipun proses perundingan yang digagas Gus Dur berakhir ditangan Presiden Megawati-PDIP. Presiden SBY-JK (2005) melanjutkan perundingan dan berakhir dengan penandatanganan perdamaian Aceh.
Perjanjian politik Helsinki menjadi titik temu kepentingan antara pihak GAM dengan Pemerintah Republik Indonesia dalam melihat masa depan politik Pembangunan Aceh. Tentunya, beberapa pemikiran utama menjadi semangat Pemerintah untuk mengakui kekhususan dan keistimewaan yang dimiliki Aceh, dan begitu pula pihak GAM setuju untuk mengakhiri perjuangan bersenjata dan mentransformasikan dalam strategi politik dan diplomasi. Bahkan, GAM menginte-grasikan dirinya dengan membentuk partai politik, yaitu PA dimana panglimanya, Muzakkir Manaf langsung memimpin sebagai ketua umum. Namun demikian, perubahan politik tersebut tidaklah dicapai oleh pihak GAM dan Pemerintah itu sendiri. Perubahan situasi objektif dan subjektif politik Aceh sangat dipengaruhi oleh berbagai aktor lainnya, terutama pihak aktivis masyarakat sipil di Aceh, nasional, dan interna-sional.
UUPA Basis Legal Perjuangan Politik
UUPA menciptakan arena baru perjuangan politik Aceh, UU yang didasarkan pada kesepakatan politik dua pihak, yaitu GAM dan Pemerintah. Tentunya, UUPA merupakan produk hukum tata negara yang komprehensif, memiliki kekhususan dan kewenangan yang lebih luas bagi penyelenggaraan Pemerintahan Aceh. Meskipun kewenangan Pemerintah Aceh, pemerintah kabupaten/kota, dan kewenangan pemerintahan (Pemerintah Pusat) diatur sedemikian rupa. Namun inti dari pada kewenangan Aceh tetap saja dibatasi. Misalnya, Pasal 7 ayat (2) UUPA. Sesuai dengan kesepakatan MoU Helsinki bahwa ada enam aspek kewenangan pemerintah pusat, namun dalam UUPA menambahkan klausul “urusan pemerintahan bersifat nasional” mengatur kewenangan pemerintah pusat lebih luas, karena ternyata mengatur juga urusan publik lain-nya. Begitu pula pada pasal-pasal selanjutnya seperti Pasal 8, Pasal 11, Pasal 12, maka semakin memperlemah kewenangan Pemerintah Aceh.
Menariknya, saat advokasi RUUPA sebelumnya, JDA sudah melakukan protes pada tim Pansus DPR-RI terutama yang berasal dari pemilihan Aceh dimana ketentuan kewe-nangan yang diatur pada pasal-pasal tersebut merupakan “pasal karet” yang dapat merugikan pemerintahan Aceh. JDA juga berpandangan kemampuan negosiasi lanjutan oleh Pemerintah Aceh lemah di kemudian hari. Termasuk juga keberadaan DPR Aceh belum dapat menjamin untuk memain-kan politik Aceh yang kuat karena tarik-menarik dan dinamika di parlemen Aceh beragam kepentingan sehingga mereduksi kepentingan politik strategis Aceh sebagaimana telah diper-juangkan oleh perwakilan GAM dalam negosiasi di Helsinki.
Dalam konteks di atas, ruang perdebatan dan negosiasi baru mesti dibangun dengan skenario yang lebih jelas. Peran DPR Aceh dan Pemerintah Aceh serta peranan anggota DPR-RI perwakilan Aceh sangat penting untuk dipadukan guna memastikan setiap produk hukum dan kebijakan pemerintah pusat jangan sampai menegasikan kewenangan dan kekhusus-an Aceh seperti UU otonomi daerah dan sebagainya. Jadi, kita bisa ikuti, fungsi Forbes DPR RI Aceh selama 18 tahun terakhir kurang efektif dalam menjalankan peran legislasi dan pengawasannya terhadap Aceh. Nyatanya banyak produk hukum baru malah menggerus kewenangan Aceh. Semestinya mereka sebagai perwakilan rakyat Aceh di DPR RI dapat mengawasi dan mengarahkan dan mempengaruhi politik Aceh ditingkat nasional.
Untuk memastikan agenda keberlanjutan transformasi pergerakan dan perjuangan politik Aceh, salah satu klausul yang mengatur ketentuan tersebut adalah BAB XI Partai Politik Lokal. Ketentuan ini memberikan kesempatan bagi Aceh untuk merekonstruksi struktur politik Aceh agar dapat menjawab segala permasalahan yang terjadi dan menjalankan antitesa politik nasional yang sudah terbentuk lama. Selain itu menjadi media untuk memperkuat kapasitas kepemimpinan politik Aceh agar dapat memimpin transformasi perjuangan Aceh kearah kemandirian dan kemakmuran.
Dalam pendirian Parlok, aktivis pergerakan pemuda dan mahasiswa mulai menyebar dalam semua partai politik lokal, utamanya PRA dan partai SIRA, juga ada Partai Aceh. Jadi, Parlok menjadi institusi baru bagi aktivis untuk mengembang-kan kreativitas politik mereka setelah perdamaian.
Namun demikian, terbentuknya Parlok yang begitu banyak diawal pemberlakuan UUPA telah menciptakan fragmentasi politik yang memunculkan kepentingan politik yang sempit, jangka pendek dan sulit membangun “Aceh national Interest”. Malah struktur pejuang pun terpecah menjadi dua partai politik yaitu PA dan PNA, begitu pula aktivis pergerakan ‘98 membentuk Partai SIRA dan PRA. Sedangkan Parlok lainnya diinisiasi dan dipimpin oleh politisi senior yang melihat kesempatan baru atas suasana dan struktur politik yang tercipta setelah perdamaian Aceh pun hanya sebatas kuda troya mereka untuk melanjutkan karir politik karena pengaruh mereka di parnas semakin meredup, faktanya mereka juga kandas.
Begitu pula partai politik berbasis dayah, mereka pun terfragmentasi oleh kedayahannya. PDA memiliki style dan perilaku politik yang dipengaruhi alumni Dayah Seulimuem Aceh Besar. Juga Partai Gabthat, pimpinannya berbasis di Lampisang Aceh Besar. Menariknya pada pemilu 2024, hadir PAS yang mayoritas penggagas adalah alumni santri dayah Samalanga. Tentunya, perubahan sosial-politik pada momen-tum politik 2024 semakin dinamis, kompetisi politisi semakin menciptakan fragmentasi yang jika tidak memiliki arah tuju bersama maka suasana politik kembali terjebak pada konteks perebutan kekuasaan semata.
Namun demikian, partisipasi ulama dan santri dalam kekuasaan memiliki ragam perspektif pula. Beberapa ulama berpandangan bahwa mereka perlu terlibat untuk meluruskan perilaku politik yang semakin menyimpang dari keilmuan siyasah sebagaimana diajarkan dalam Islam. Akan tetapi ada pula berpandangan agar ulama dengan dayahnya berkonsen-trasi pada penguatan pengetahuan Islam umat agar adab, akhlak, dan pengetahuan Islam lainnya memberikan generasi Aceh yang kuat adanya, sehingga dengan keilmuan dan pengetahuan tersebut mereka dapat menyebar dan mem-pengaruhi perilaku politik kader-kader partai politik yang ada. Sejauh inipun, pengalaman Pemilu 2024, oknum-oknum kader partai yang berbasis dayahpun mulai terkontaminasi dengan politik uang dan bahkan mereka terpecah-pecah secara internal karena memiliki pemikiran dan kepentingan politik yang berbeda dan lupa atas semangat awal partisipasi ulama dan santri dalam politik kekuasaan.
Kekuasaan dan Politik Perjuangan
Jadi, kekuasaan yang diperebutkan setiap momentum politik (pemilu), baru sebatas menciptakan individu-individu yang sebagai elite baru yang kontraproduktif dengan semangat perjuangan sebelumnya. Kekuasaan yang terasosiasi dalam DPR Aceh masih belum dapat menjadi kekuatan strategis atas posisi tawar politik Aceh saat berhadapan dengan Jakarta. Tiga periode kepemimpinan DPR Aceh, pergerakan politisi di DPR Aceh masih terjebak dalam rutinitas dan kepentingan personal mereka untuk melayani konstituen agar kekuasaan-nya masih dapat dipertahankan untuk periode selanjutnya.
Selama periode itu pula, kepemimpinan eksekutif yang dipilih langsung oleh rakyat juga mengalami degradasi yang menyebabkan demoralisasi rakyat atas harapan yang sudah digantungkan begitu tinggi sebelumnya. Kepemimpinan Irwandi-Nazar memberikan harapan besar, begitu pula saat Zaini Abdullah-Mualem. Namun, saat periode ketiga Irwandi-Nova (2017-2022), Irwandi ditangkap KPK. Selanjutnya Nova Iriansyah semakin membawa Aceh dalam kehancuran. Ditambah lagi, perubahan politik nasional yang menunda penyelenggaraan pilkada dengan menunjukkan ad-interim gubernur, dinamika politik Aceh semakin menghancurkan struktur politik Aceh, padahal keberadaan partai politik lokal telah mengubah dinamika politik Aceh kearah kesejahteraan dan keadilan.
Memang, gambaran dan dinamika politik di atas terjadi begitu cepat. Periode pertama dan kedua politik (2007-2017) menumbuhkan harapan baru Aceh, namun periode ketiga (2017-2022) dan diteruskan sampai 2024 telah mengalami degradasi dan demoralisasi, sehingga pemilu 2024 semakin mengganas oleh tingginya biaya politik menuju ke senayan dan parlemen Aceh.
Pada sisi lain pergerakan OMS pun mengalami degradasi, aktor pergerakan reformasi kemudian bertransformasi dalam berbagai spektrum, mereka menjadi pebisnis, politisi, akademisi dan ada juga bertahan di LSM. Kondisi demikian menciptakan nuansa relasi yang pragmatis dan fragmented. Upaya konsolidasi pernah dilakukan beberapa kali, namun upaya tersebut tidak bertahan karena beragam faktor. Salah satunya afiliasi partai politik menciptakan kepentingan yang terbangun menjadi sangat kecil atas agenda strategis bersama. Untuk itu, tantangan OMS paska pemilu dan pilkada 2024 menjadi momentum untuk merefleksikan pergerakan OMS kedepan agar kembali solid.
Untuk itu, agar momentum kepemimpinan baru Aceh, baik di DPR Aceh dan Kepala Pemerintah Aceh dapat lebih efektif, maka peran OMS masih sangat relevan untuk kembali menjadi katalisator dalam mengorientasikan kekuasaan legislatif dan eksekutif Aceh kearah perjuangan politik Aceh yang sesuai dengan semangat kesepakatan perdamaian di Helsinki.
Beberapa isu strategis dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi Aceh agar angka pengangguran dapat diturunkan maka pengelolaan sumber daya alam harus berdaulat pada kepentingan Aceh. Terutama pengelolaan minyak dan gas (migas) yang melahirkan Peraturan Pemerintah No. 23/2015 agar efektif dijalankan sesuai dengan kewenangan yang sudah didapatkan. Meskipun Aceh hanya memiliki kewenangan untuk mengelola sampai 12 mil laut, namun mesti dipastikan kewenangan tersebut jangan sampai berkurang oleh kepen-tingan-kepentingan sempit dan personal kita.
Selain pengaruh aktor politik yang pelembagaannya dalam partai politik, sebenarnya ada aktor lain yang sangat mempengaruhi efektivitas implementasi UUPA, yaitu peran ASN atau PNS yang memiliki jenjang eselon. Mereka tersebar dalam 27 dinas, 12 lembaga teknis dan 6 lembaga istimewa. Kepegawaian ini diatur dalam BAB XVI Pasal 118-124, dalam konteks ini kepegawaian (ASN/PNS) mengikuti ketentuan PNS nasional, tentunya juga mengikuti UU No. 20/2023 yang mencabut UU sebelumnya yaitu UU No. 5/2014.
Meskipun UUPA mengatur tentang segala perangkat kelembagaannya seperti legislatif (DPRA/DPRK) dan eksekutif, sekretariat daerah dan segala perangkatnya, namun peran utama pembangunan untuk Aceh ada di tangan gubernur. Akan tetapi, pengaruh gubernur tidak memiliki pengaruh besar karena gubernur dibatasi fungsinya sebagai wakil pemerintah pusat atau nama lain perpanjangan tangan presiden di Aceh. Kondisi demikian mempengaruhi arah kebijakan implementasi UUPA. Fungsi UUPA sebagai UU otonomi khusus bagi Aceh kontra-produktif dengan pemerin-tah mengeluarkan lagi UU Otonomi daerah di tahun 2012 yang semakin mengaburkan peran UU-Otonomi khusus Aceh di tingkat provinsi karena undang-undang tersebut mengatur pula otonomi di tingkat Kabupaten/kota yang berlaku di seluruh Negara Republik Indonesia.
Jadi, faktor dan pengaruh tidak efektifnya implementasi UUPA sangatlah komplek, tentunya beban tersebut tidak hanya dipikul oleh pihak GAM saja, kalau itu yang terjadi maka sangat tidak fair. Meskipun kepala pemerintahan Aceh ada di tangan pejuang, namun mereka telah berjuang secara kesatria menghadapi segala keterbatasan kewenangan UUPA.
Untuk itu, satu hal yang dapat kita ingat bersama, yaitu arena demokrasi yang tercipta pasca-MoU Helsinki terbuka luas, namun kemampuan kepemimpinan kita yang masih sangat labil sehingga kita kurang menyadari bahwa negosiasi dan komunikasi politik masih harus terus dijalankan, bukan menunggu baik hatinya pemerintah Jakarta, karena pemerin-tah pusat yang dipimpin oleh eliet-elite nasional tentunya memiliki kepentingan personal yang dibungkus oleh kepentingan “nasional” atas alasan keutuhan NKRI, tangan mereka juga memainkan kepentingan bermain dan mengambil bagian dalam arena demokrasi yang luas tersebut.
Maka hal terpenting, elite Aceh jangan lalai dinina-bobokan oleh materi, fee, akses, dan kekuasaan sehingga terjebak mengikuti skenario yang tidak kita siapkan sendiri. Melawan ini semua, maka intelektual Aceh di partai politik, universitas dan OMS yang masih belum terpengaruhi oleh dendang sesat dan sempit perlu mengembalikan keadaan politik Aceh pada pemilu 2024 pada rel yang sebenarnya sudah kita siapkan dalam UUPA tersebut. Hasil pemilu dan pilkada 2024 harus dapat kita pergunakan sebagai titik tolak dalam mereorientasikan politik pembangunan Aceh kearah kesejahteraan dan keadilan.
Menuju Kemandirian dan Kemakmuran
Mengkaji secara lebih mendalam atas substansi UUPA, maka UUPA merupakan konstitusinya Aceh setelah perjanjian perdamaian Helsinki. Begitu kata Dr Otto Nur Abdullah dalam satu kesempatan. Tentunya sebagai konstitusi yang tercatat dalam lembaran perundang-undangan sebagaimana sudah dijelaskan di atas, maka UUPA harus dapat diterjemahkan dalam kerangka politik pembangunan Aceh. Visi politik dipertemukan dalam sebuah agenda strategis sebagai “Aceh National Interest”, atas pembangunan ekonomi dan budaya agar dapat mewujudkan “kemandirian dan kemakmuran” Aceh di tahun 2050.
Selanjutnya, visi politik strategis dan jangka panjang mesti diselaraskan dalam agenda politik Pemerintah Aceh terutama Perencanaan Pembangunan Aceh Jangka Panjang (2025-2050). Keselarasan tersebut semakain terarah jika kita kaitkan dengan data demografi Aceh tahun 2035 karena 2035-2050 Aceh memiliki jumlah penduduk usia produktif yang tinggi.
Jadi, meskipun dana otonomi khusus sampai tahun 2027, hal tersebut bukan bertanda Aceh kiamat, Aceh menjadi miskin. Semestinya elite dan rakyat Aceh berfikir lebih kreatif, namun sebaliknya membangun diskursus pemikiran politik pembangunan yang dapat membebaskan Aceh dari ketergan-tungan Jakarta. Komitmen ini jauh lebih hebat jika elite dan rakyat Aceh mampu mengembangkannya menjelang dana otsus habis, maka menandakan ideologi keacehan yang dibangun selama perang 35 tahun begitu terpatri dan kita tidak terpengaruh oleh kekuasaan dan materi.
Momentum terbangunnya konsensus politik pascape-milu 2024 dapat menjadi titik tolak agar terbangunnya komitmen politik baru Aceh-Jakarta. Para elite politik Aceh harus menyadari keadaan politik yang krusial saat ini, mereka jangan terjebak oleh irama dan drama politik elite nasional yang kita lihat semakin menuju Indonesia babak belur. Apalagi kondisi politik regional dan global semakin menunjukkan konsensus penguasaan sumber daya alam, keadaan tersebut semakin jauh dari kerangka kemanusiaan, HAM, dan demo-krasi sebagaimana semangat yang tumbuh dan berkembang sejak tahun 1996. Nilai-nilai ini merupakan semangat dalam pergerakan masyarakat sipil Aceh, dan salah satu hasil atas pergerakan CSO Aceh yang dipimpin pergerakan mahasiswa Aceh telah memaksa pemerintah nasional untuk mencabut status DOM di Aceh. Semangat pergerakan mahasiswa dan CSO Aceh sejak tahun 1997 harus kembali didiskusikan dan direinkarnasi pada tahun 2024 ini. Pimpinan CSO dapat menggagas kembali momentum-momentum baru dalam bentuk pergolakan pemikiran politik agar terbebaskan perilaku politik Aceh yang semakin menuju pada kejumudan politik, dan diarahkan kembali pada agenda strategis nasional sebagaimana semangat tahun 1997 tersebut.
Sebagai ingatan kita bersama, Pilpres dan Pilkada 2024 sudah berlalu, pemimpin politik Aceh sudah terpilih yaitu Muzakkir Manaf, dulunya Panglima GAM, inilah momentum untuk mengembalikan semangat perjuangan, momentum untuk meninggalkan segala keinginan kecil dan sempit oleh material yang meninabobokkan semua pihak dan kalangan. Logika baru harus dibangun guna melahirkan sintesa baru untuk melanjutkan perjuangan politik Aceh dalam kurun 20 tahun terakhir terjebak dalam “lingkaran setan metarial yang despotik”.
Tentunya, elite politik Aceh harus menentukan sikap, meredesain arah politiknya dan menyusun strategi politik perjuangan yang lebih tepat untuk kepentingan Aceh di masa depan. Jangan sampai generasi Aceh selanjutnya berpandang-an bahwa warisan yang kita tinggalkan merupakan cacat pikir oleh generasi perjuangan kita hari ini.
Ingat dan sadarilah, Aceh memiliki potensi sumber daya alam, aset, modal sosial dan sumber daya manusia yang kuat, maka untuk mengelolanya sangat tergantung dari kapasitas untuk mengonseptualisasikannya.UUPA telah membuka ruang komunikasi politik yang utuh, jangan lagi menunggu kebaikan hati dan keikhlasan Jakarta untuk merealisasikannya namun kuatkan kapasitas kita sendiri untuk berhadapan dengan pemangku kepentingan Jakarta. Mulailah menyusun strategi diplomasi baru yang lebih relevan dan terlembaga, agar “keistimewaan dan kekhususan” yang sudah tersusun dalam kerangka regulai Republik Indonesia dapat kita jalankan secara efektif.
Dalam mewujudkan “kemandirian dan kemakmuran”, UUPA mengatur secara komprehensif sistem pengelolaan sumber daya alam maupun pembagian hasil yang lebih jelas dibandingkan sebelumnya. Pada BAB XXII, Pasal 154-177 telah mengatur prinsip ekonomi yang harus dibangun, arah perekonomian, pengelolaan sumber daya alam, sistem pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas, perikanan dan kelautan, perdagangan dan investasi, Kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang, peruntukan lahan dan pemanfaatan ruang, dan pembangunan dan penyediaan infrastruktur ekonomi.
Hanya saja, selama 17 tahun pelaksanaan UUPA, upaya untuk mengembangkan program pembangunan kesejahteraan belum mampu kita manfaatkan segala peluang, kesempatan, serta aset yang tersedia termasuk anggaran otonomi khusus kurang dapat dimanfaatkan sebagai modal investasi yang dapat menciptakan lompatan jauh kedepan guna meningkat-kan pertumbuhan ekonomi Aceh secara mandiri. Bahkan, hal yang disayangkan, kepemimpinan Nova Iriansyah gagal memanfaatkan Blok B untuk dikelola sepenuhnya oleh PT. Pembanganan Aceh (PEMA) karena ketidakmampuan mem-baca peluang dalam konsolidasi dan kapitalisasi modal yang semestinya harus dijalankan. Ironisnya, ternyata celah-celah yang terbuka telah menina-bobokan elite saat itu demi kepentingan sempitnya.
Intinya, tidak efektifnya pelaksanaan UUPA dalam 17 tahun terakhir disebabkan oleh lemahnya kapasitas kepemim-pinan politik Aceh, utamanya pimpinan Pemerintah Aceh, DPR Aceh, anggota DPR RI asal Aceh, dan khususnya partai-partai politik yang kurang dapat mempertemukan visi politik atas upaya menciptakan dan menjalankan agenda politik Pembangunan yang berbasiskan kepentingan strategis Aceh.
Termasuk juga para pimpinan eksekutif, terutama gubernur yang dipilih secara politik, penting untuk mengelola birokrasi agar dapat menjalankan program-program strategis Pembangunan, mentalitas birokrasi yang terjebak pada kerja-kerja rutinitas dan administratif wajib untuk diubah. Sebenar-nya, kaum birokrat muda Aceh memiliki kreativitas tinggi, mereka tersebar di seluruh dinas dan lembaga, namun kreativitas mereka dibatasi oleh banyak faktor, baik kepentingan pimpinan maupun situasi-situasi lain yang mempengaruhi keberanian mereka untuk keluar dari mainstream berfikir yang konservatif.
Kendatipun demikian, Aceh masih memiliki momentum, yaitu memanfaatkan hasil pemilu dan pilkada 2024. OMS Aceh dapat mengambil langkah strategis agar menjadi katalis dalam memfasilitasi dan memediasi harapan rakyat Aceh yang sudah diletakkan di atas pundak 17 anggota DPR dan DPD RI, 81 anggota DPR Aceh, 655 anggota DPRK se-Aceh dapat berjalan, kita wajib memastikan bahwa perwakilan rakyat tersebut tidak lalai dalam menjalankan UUPA. Mereka harus menjalankan fungsinya sebagai legislatif secara efektif, menetapkan RPJPA dan RPJMA serta kebijakan strategis lainnya dapat menjawab berbagai isu permasalahan masyarakat dan mereka dapat terbebas dari pengangguran dan kemiskinan.
Begitu pula pihak eksekutif, Muzakir Manaf atau Mualem yang terpilih sebagai gubernur periode 2025-2030 harus menyadari bahwa dirinya bukan hanya perpanjangan tangan pemerintah pusat, namun juga sebagai kepala pemerintah Aceh. Reformasi birokrasi Aceh wajib dilakukan guna mentransformasikan kekuatan ASN sebagai kekuatan pengelola segala sumber daya yang kita miliki, mengembang-kannya dan mereka merupakan aktor utama pembangunan. Mualem harus dapat memastikan kekuasaan yang ada ditangan kaum birokrat agar tidak dipergunakan untuk kepentingan personal dan “asal bapak senang”, namun sebaliknya dipergunakan secara efektif dalam menjalankan UUPA, melahirkan kebijakan strategis pembangunan Aceh untuk mewujudkan “kemandirian dan kemakmuran” Aceh di masa depan.
Redaksi; Artikel ini telah publis pertama sekali dalam buku “Aceh 20205; Tantangan Masyarakat Sipil” Terbitan Bandar Publishing di Banda Aceh. Anda bisa mendapatkannya melalui tautan https://bandarpublishing.com/produk/aceh-2025-tantangan-masyarakat-sipil/
Juanda Djamal, merupakan putra dari Muhammad Djamal dan Dahniar Ibrahim, lahir di Sibreh. Sejak tahun 1996 aktif dalam pergerakan mahasiswa. Era reformasi aktif di Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR). Selanjutnya saat eskalasi konflik semakin meningkat, ia aktif di People Crisis Center (PCC) yang menangani internally displace person (IDPs) di Aceh. Era proses perundingan aktif di Achehnese Civil Society Task Force (ACSTF). Untuk menjaga keberlanjutan kerja kerja advokasi HAM dan perdamaian mendirikan Saree School for Human Right and Peace, dan membangun pusat pelatihan di Gampong Saree-Seulawah. Pascatsunami, ia aktif di Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias. Selanjutnya aktif berbagi pengalaman konflik dan perdamaian di Asia Tenggara, dan pernah menjadi anggota DPRK Aceh Besar. Untuk memperkuat agenda peace building di tingkat masyarakat akar rumput, ia mendirikan Koperasi Beng Mawah Aceh dan Koperasi SieBreuh. Saat ini menjadi salah seorang peneliti di Center for Peace and Conflict Studies (CPCS) di Kamboja.