SAGOETV | KOLOMBO – Dr M Adli Abdullah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), Aceh, yang juga Board of Committee of Indonesian Traditional Fisherfolk Union (KNTI), mewakili Republik Indonesia dalam dalam pertemuan International Collective in Support of Fishworkers (ICSF) – Forum of Small-Scale Fisheries (FSSF) Workshop on Strengthening Collaboration and Capacity-Building in Small-Scale Fisheries, pada 24-26 Februari 2025 di Colombo Sri Lanka. Adli hadir dengan membawa makalah ‘Advancing Livelihoods and Achieving Justice for Small-Scale Fisherfolk’.
Selain dari Indonesia, dalam pertemuan itu juga dihadiri oleh perwakilan negara-negara, seperti Indonesia, Sri Langka, Malaysia, Ghanam New Nederland, Germany, India, Panama, Brazil, Germany, Sweden, Kosta Rika, Berlgium, Thailand, Italia, Tanzania, Colombia, Uganza, Spain, Bangladesh, Piliipina, dan Norwegia.
“Saya sudah lama tidak mengikut acara International Collective in Support of Fish Workers, karena berbagai kesibukan. Tahun ini diminta untuk hadir menjadi peserta dan membawa makalah, akhirnya saya datang untuk kemaslahatan nelayan Aceh mewakili sebagai pengajar dan DPP KNTI,” ujar Dr Adli kepada SagoeTV, Jumat (28/2/2025).
Dalam prensentasinya, Adli ikut membahas pentingnya melindungi hak hak nelayan kecil di dunia karena merekalah menjadi pelopor menjaga ekosistem laut dan mencari ikan bukan untuk memperkaya diri. Akan tetapi untuk menutupi kebutuhan sehari hari mereka berbeda jauh dengan pengusaha perikanan yang terus mengeksploitasi sumber daya kelautan dan mengabaikan hak hak nelayan kecil.
Saat ini, Adli dalam perjalanan pulang dari Sri Langka-Jakarta dan Banda Aceh, menyebutkan bahwa dalam seri diskusi terhadap adanya nelayan kecil yang ditahan di negara lain, agar mereka tidak diperlakukan sebagai penjahat perikanan tetapi dilihat dilihat dari sisi kemanusiaan sehingga perlu diatur lebih lanjut dalam kerja sama bilateral antar negara
“Turut saya bahas nasib nelayan Aceh yg sering ditanah oleh otoritas portblair andaman di India agar mereka ada penanganan khusus seperti yg dilakukan oleh nelayan Sri Langka, Bangladesh dan Pakistan di India,” ujarnya.
Pertemuan para akadamisi, aktivis nelayan dari berbagai belahan dunia menunjukkan pentingnya pengakuan bersama berbagai elemen di dunia terhadap kehadiran nelayan dan petambak tradisional terhadap ketahanan pangan, sumber mata pencaharian, pembangunan sosial dan bisa menjadi penopang ekonomi negara. Apalagi tercatat bahwa produksi ikan dari Small Scale Fisheries (SSF) sumber utama protein bagi masyarakat pesisir, khususnya di negara-negara berkembang.
Dalam diskusi itu juga dibahas permasalahan nelayan tradisional yang ditangkap karena secara tradisional menangkap ikan di wilayah perairan negara lain yang berdekatan, seperti terjadi di Amerika Latin, Afrika Asia Selatan antara India, Srilangka, Bangladesh dan Pakistan dan Asia Tenggara, Indonesia, Malaysia, Filipina. Bahkan ada seperti nelayan kecil Aceh yang sering bermasaalah dengan Nicobar dan Andaman, India.
Para delegasi menyepakati kasus nelayan kecil pelintas bantas ini diselesaikan secara kemanusiaan dan bukan pendekatan hukum. Perlu didorong negara negara yang sering bermasalah tentang nelayan kecil pelintas batas dalam isu perjanjian bilateral.
“Pertemuan ICSF di Kolombo Sri Langka dibangun berdasarkan tindak lanjut dari empat pertemuan regional sebelumnya di Amerika Latin, Afrika, Eropa dan KTT SSF 2024 di Roma,” tutup Adli Abdullah. [AS]