Oleh Ari J. Palawi
Warga Kota Banda Aceh
Aceh sedang menata ulang fondasi kemakmurannya.
Dari gas hingga kopi, dari adat hingga digital, dari luka hingga kesadaran baru—
inilah perjalanan menuju Aceh 2035:
provinsi yang tak lagi bergantung pada sumber daya mentah,
melainkan bertumpu pada nilai, manusia, dan inovasi yang berakar pada budaya.
Prolog — Aceh dan Pelajaran Sejarah Energi
Aceh selalu punya kisah panjang tentang sumber daya dan manusia.
Dari pelabuhan Samudra Pasai yang dulu mengirim rempah dan hikmah ke dunia,
hingga kawasan industri gas di utara yang pernah jadi simbol kebanggaan nasional.
Namun sejarah juga meninggalkan pelajaran yang tidak mudah dilupakan:
bahwa kemakmuran yang hanya bertumpu pada perut bumi, sering tak sanggup menumbuhkan kehidupan di permukaan tanah.
Banyak kota dan kampung di Aceh pernah merasakan denyut industri,
tetapi juga keheningan setelahnya.
Bangunan-bangunan besar berdiri kaku seperti monumen masa lalu —
sementara semangat untuk bangkit kembali mulai tumbuh dari akar masyarakatnya sendiri.
Luka Lama, Kesadaran Baru
Hari ini Aceh kembali berdiri di persimpangan.
Sumber daya alamnya masih besar,
dan pemerintah pusat kembali menatap pesisir timur sebagai kawasan energi masa depan.
Namun masyarakat kini berbeda: mereka tidak lagi ingin sekadar menjadi penonton.
Dalam banyak forum dan diskusi, warga mulai berbicara dengan nada yang tenang tapi tegas:
“Kali ini pembangunan harus menumbuhkan kehidupan, bukan sekadar menggali kekayaan.”
- Dari kampung nelayan di Aceh Timur hingga dataran kopi di Gayo,
muncul inisiatif untuk melibatkan masyarakat lokal,
melatih tenaga kerja, dan menghidupkan kembali kearifan adat dalam tata kelola pembangunan..
Ada kesadaran baru bahwa pembangunan yang meminggirkan manusia,
akhirnya akan meminggirkan maknanya sendiri.
Tanggung Jawab Sosial yang Berakar Budaya
Bagi orang Aceh, tanggung jawab sosial bukan hanya soal bantuan atau proyek.
Ia adalah tentang semangat meuseuraya — kebersamaan yang dijaga dengan penghormatan.
Karena itu, pendekatan sosial di Aceh kini mulai bergerak dari sekadar Corporate Social Responsibility
menjadi Cultural Social Responsibility.
- Di pesisir, kelompok perempuan pesisir belajar mengolah hasil laut menjadi produk bernilai jual.
Di pedalaman, petani muda memadukan tradisi dengan inovasi digital.
Di kota, anak-anak muda menghidupkan kembali seni, bahasa, dan literasi lokal.
Semua berjalan bukan karena program, tapi karena percakapan dan saling percaya.
Di sini, perusahaan, pemerintah, dan masyarakat tidak lagi berdiri di sisi yang berlawanan,
melainkan di satu meja yang sama — dengan prinsip sederhana:
mendengar sebelum bertindak, menghargai sebelum membangun.
Pemerintah dan Arah Baru Ekonomi Aceh
Pemerintah Aceh saat ini tengah menata arah baru pembangunan melalui rencana jangka menengah 2025–2029.
Visinya: Aceh yang mandiri, Islami, maju, dan berkelanjutan.
Bukan hanya menambang kekayaan alam, tetapi menumbuhkan ekonomi rakyat.
Langkah-langkah konkret mulai dijalankan:
audit aset daerah, digitalisasi pajak dan perizinan,
hilirisasi sumber daya alam, penguatan sektor pertanian dan perikanan,
serta pariwisata berbasis budaya dan sejarah Islam.
Di sisi lain, pendidikan vokasi dan pelatihan kerja diarahkan ke sektor unggulan:
energi, agroindustri, dan ekonomi kreatif.
Jika strategi ini berjalan berkesinambungan,
Aceh tidak lagi sekadar menjadi pemasok bahan mentah,
tetapi produsen nilai tambah yang berkeadilan sosial.
Adat, Agama, dan Inovasi: Tiga Pilar Sosial Aceh
Kekuatan Aceh tidak terletak pada kekayaan alamnya semata,
tetapi pada nilai sosial yang mengikat warganya.
Sistem mukim, gampong, dan meunasah bukan sekadar warisan,
melainkan struktur sosial yang membuat masyarakat tetap kokoh di tengah arus perubahan.
Pembangunan yang berhasil di Aceh adalah pembangunan yang menghormati nilai itu.
Musyawarah, restu tokoh adat, dan keberpihakan sosial
bukan birokrasi tambahan — melainkan izin moral untuk bergerak.
Generasi muda Aceh kini mulai menganyam tradisi dan modernitas.
Mereka membuat usaha kreatif berbasis budaya,
menghidupkan tarian, musik, dan cerita rakyat di ruang digital,
menjadikan nilai-nilai lokal sebagai inspirasi global.
Modernitas di Aceh bukan berarti meninggalkan akar,
melainkan menumbuhkannya lebih tinggi.
Pelajaran dari Masa Lalu untuk Masa Depan
Sejarah Aceh menyimpan tiga pelajaran besar yang seharusnya tak dilupakan:
- Bangun manusia sebelum membangun industri.
Tanpa pendidikan, keterampilan, dan kepercayaan,
pembangunan hanya akan menciptakan ketimpangan baru. - Budaya bukan beban pembangunan, tapi fondasinya.
Ia memberi arah dan makna,
agar kemajuan tidak mengikis jati diri. - Keadilan sosial adalah energi utama.
Tak ada pertumbuhan yang berarti jika hanya dinikmati segelintir orang.
Kesejahteraan sejati lahir ketika setiap warga merasakan manfaatnya.
Aceh 2035: Energi untuk Hidup, Bukan Hidup untuk Energi
Bayangkan Aceh sepuluh tahun ke depan:
kawasan industri lama berubah menjadi pusat pelatihan energi bersih;
pesisir ramai dengan koperasi digital nelayan;
dataran tinggi hidup dari agrowisata dan kopi dunia;
dan anak-anak muda menulis masa depan lewat karya kreatif yang membanggakan.
Itulah arah baru yang kini sedang tumbuh —
Aceh yang menggunakan energi untuk membangun kehidupan,
bukan kehidupan untuk mengejar energi.
Epilog — Martabat sebagai Sumber Daya Abadi
Aceh tidak sedang mencari kekayaan baru,
tetapi sedang menata cara baru untuk menjadi kaya.
Bukan dari apa yang diambil dari bumi,
melainkan dari bagaimana masyarakatnya saling menguatkan.
Energi bisa habis, tetapi martabat tidak pernah kering.
Selama nilai itu dijaga, Aceh akan terus berdiri tegak —
bukan sekadar di peta, tetapi di hati setiap orang yang percaya
bahwa kemajuan sejati adalah ketika pembangunan dan kemanusiaan berjalan beriringan. []
Catatan Sumber dan Rujukan:
Data dan konteks artikel ini merujuk pada sumber-sumber resmi dan publik, termasuk:; RPJM Aceh 2025-2029 (Pemerintah Aceh & DPRA); Statistik BPS Aceh 2024 (PDRB, kemiskinan, perikanan, pertanian); Qanun dan kebijakan daerah tentang PAD, hilirisasi, dan ekonomi kreatif; Kajian sosial-budaya dan wawancara lapangan berbagai pemangku kepentingan Aceh 2024-2025; & Literatur kebudayaan Aceh modern.




















