Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Dosen UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Ada satu yang membuat gelisah ketika kita mendalami ilmu-ilmu sosial yaitu apakah ilmu ini akan mempengaruhi tingkah laku, pikiran, dan pola pikir bagi yang menekuni ilmu tersebut? Pertanyaan ini paling tidak membuat kita kembali bertanya apa yang membuat seseorang harus mendalami ilmu sosial dan berusaha untuk menjadikannya sebagai ‘tool’ di dalam memahami manusia?
Dua pertanyaan ini tentu saja bukan berarti ingin mendalami sedalam-dalamnya tentang keberdayaan ilmu sosial, melainkan mencari akar fondasi keilmuan ini. Terlebih lagi, jika dikaitkan dengan pemisahan antara ‘ilmu’ dan ‘sosial’, kemudian bersatu di dalam satu disiplin yaitu ‘ilmu sosial.’ Tentu saja kajian tentang ‘ilmu’ memiliki ranah filsafat tersendiri yaitu filsafat ilmu. Sementara sosial, jarang diketemukan istilah ‘filsafat sosial.’
Namun, ketika kita mendalami keduanya, maka bangunan filsafat ilmu sosial menjadi satu kajian tersendiri, dimana kita berusaha untuk mencari aspek-aspek yang bersifat metafisika dari bangunan ilmu sosial. Kemajuan ilmu pengetahuan telah membuat manusia dapat hidup sesuai dengan apa yang diinginkan dan dipikirkan. Kekuatan pikiran ini pada gilirannya menyebabkan munculnya berbagai alasan dari sebuah tindakan dan berbagai dampak dari semua pemikiran dan juga tindakan. Semakin besar sebuah dampak pemikiran, semakin banyak pula yang dihasilkan dari pemikiran tersebut untuk mempengaruhi kehidupan manusia. Semakin berguna sebuah teori, semakin besar pula peluang untuk meneruskan kajian mengenai latar belakangan dan saran-saran dari kesimpulan sebuah teori.
Tentu saja, upaya yang saling mempengaruhi antara manusia, pikiran, tindakan, merupakan suatu kajian yang masih diranah filsafat. Bagaimana kekuatan pikiran manusia dapat menembus alam semesta? Bagaimana kekuatan pikiran manusia dapat memprediksi masa depan dengan sangat sistematis? Tentu saja jawabannya tentu saja tidak lain bagaimana kita memahami kekuatan ilmu dan pengamalannya bagi manusia. Ketika ilmu pengetahuan digali oleh manusia, tentu saja tidak ada pembidangan keilmuan yang pasti, sebab ilmu digali untuk kesejahteraan manusia itu sendiri. Namun, adanya pembidangan keilmuan membuat seolah-olah proses reasoning dan theorizing membuat seolah-olah ada kapling-kapling intelektual.
Kalau pada tahap epistemologi kita bisa membuat kesatuan sumber ilmu pengetahuan, mengapa pada aspek aksiologi, manusia membuat berbagai disiplin keilmuan, tidak terkecuali dalam ilmu sosial. Situasi ini pada urutannya memaksa kita untuk mencari benang untuk mengikat wilayah keilmuan kita, lalu diuraikan kembali dalam ranah disiplin ilmu yang kita tekuni. Proses mengikat dengan benang, tentu saja tidak akan dilihat, namun bisa dirasakan bahwa wilayah keilmuan seseorang dibatasi ketika dia tidak mampu menguasai satu bidang keilmuan secara filosofis dan juga secara teori dan meta-metateori.
Ada lain persoalan yang krusial adalah bagaimana fenomena produksi keilmuan, dari kampung ke kota, dimana pada prinsipnya seorang ilmuwan yang berada di kota ilmu pengetahuan, mampu sebebas-bebas mendapatkan manfaat dari ilmu yang dipelajarinya di kampung (Whitt 2009).
Fenomena kebangunan ilmu sosial, paling tidak, didapatkan dari upaya sarjana masuk kampung. Mereka menetap dan mengamati kehidupan masyarakat di pedesaan. Émile Durkheim mendapatkan berbagai teori-teori ilmu pengetahuan di dalam bidang sosiologi dan antropologi, manakala dia melakukan penelitian terhadap masyarakat Aborigin di Australia (Turner 2011, Layton 2006).
Karl Marx menemukan berbagai fondasi keilmuan ketika dia melihat sendiri bagaimana situasi pada saat dia hidup yang penuh dengan konflik. Sehingga teori-teori keilmuan yang dikembangkan oleh Marx tentu saja berupaya untuk membentengi antara masyarakat di perkotaan dengan masyarakat pedesaan. Begitu juga, Max Weber yang menempatkan bagaimana kepentingan dan rasionalisasi sebuah perkumpulan masyarakat yang baru dibina. Intinya, jika ada gerakan keagamaan yang baru memunculkan proses rasionalisasi dan kesalehan sosial, maka ilmu sosial akan mengusung teori-teori yang dikembangkan oleh Weber. Maksudnya adalah ilmuwan sosial memberikan tool teori-teori sesuai dengan perkembangan masyarakat. Karena sekian perubahan yang menjadi objek penelitian ilmuwan sosial adalah apa yang terjadi di Eropa dan dampak kolonialisasi Eropa terhadap bangsa lain, maka mau tidak mau, kita harus memahami bagaimana proses reproduksi keilmuan pada masyarakat tersebut, lalu pandangan teoritik mereka terhadap masyarakat yang menjadi objek penelitian. Perkembangan ilmu-ilmu sosial seperti ini memang tidak dapat dinafikan adanya pengaruh dari filsafat. Karena itu, lagi-lagi kita memiliki persoalan kapan “kita” sebagai objek mereka dimasukkan ke dalam ranah ilmu pengetahuan tersebut. Seorang filosof di Eropa memberikan hasil terbaik dari pemikiran mereka demi untuk masyarakatnya sendiri. Lalu teoritikus sosial mengambil inti sari pemikiran mereka untuk menganalisa masyarakat mereka sendiri dan sebagiannya menganalisa masyarakat “diluar mereka.” Kita tentu saja tidak masuk ke dalam kajian mereka. Misalnya, konsep meditasi dan penemuan ilmu pengetahun Descrates itu ditemukan dan disajikan di Eropa.
Demikian juga konsep moral dan etika juga diketengahkan oleh Immanuel Kant disana. Belum lagi konsep spirit (geist) yang dihasilkan oleh Hegel. Lalu pemikir sekaliber Durkheim Weber, dan Marx mengambil sisi-sisi pemikiran mereka untuk membuat proses penemuan ilmu pengetahuan yang bersifat positivistik. Kapan ilmu mereka sampai ke “kita.” Dengan kata lain, mengkaji filsafat ilmu sosial tidak dapat diabaikan proses pensejarahan kehidupan “mereka” dan “kita.” Kapan kita menjadi “mereka” dan kapan “mereka” menjadi seperti kita. Tentu saja substansi pemahaman ini memerlukan kajian mengenai ruang dan waktu serta keberadaan pemikiran manusia.
Proses mereka menuju kita adalah proses sejarah ide-ide atau filsafat di satu ruang sejarah. Proses mereka “menguasai” kita juga merupakan satu proses penundukkan terhadap ketidakberdayan kita untuk mempertunjukkan keberadaan kita. Maksudnya adalah bagaimana ilmuwan di Eropa menganalisa mereka di sekitar kehidupan mereka. Kita belum muncul, karena yang ada adalah konsep I dan mereka. Adapun mereka adalah objek dari studi pada ilmuwan tersebut. Dengan kata lain bagaimana kita memahami I sebagai ilmuwan Eropa saat mereka hidup. Demikian juga, bagaimana “I sebagai ilmuwan Eropa” (Noerhadi 1979) memahami masyarakat sebagai mereka dalam studinya. Lantas kapan kumpulan I menjadi kita atau kami (we)? Setelah itu, kapan we mencoba menganalisa mereka diluar kawasan mereka. Proses I menuju We adalah proses memahami sejarah intelektual bangsa Eropa. Proses We memahami them adalah proses kolonialisai.
Untuk menemukan inti sari pemikiran tersebut kita harus memahami “kumpulan pemikiran kumpulan I” di Eropa. Adapun untuk memahami I memahami mereka (them) adalah proses rekonstruksi keilmuan di Eropa. Sementara tata cara “I baru” di Eropa di dalam memahami them yang jauh di Eropa adalah proses pembentukan ilmu-ilmu yang kemudian disajikan pada kita yang jauh dari Eropa. Penyebaran ilmu di Eropa juga sudah tersiar ke kawasan lain yaitu Amerika. Disini kita harus memahami bagaimana berbagai pemikiran I yang bertahan dari kepungan perang saudara (civil war).
Disinilah kita perlu memahami target filsafat di Barat, untuk menyebutkan nama lain bagi Eropa. Di kawasan ini, demi untuk pemenuhan penemuan I, maka filsafat diarahkan pada tiga aspek yaitu kebenaran (truth), keharusan rasional (rational necessity), dan kebaikan (good) (Brightman, 1952, 8). Fondasi pemikiran mengakibatkan pemikiran falsafati cenderung berupaya untuk memahami peran manusia di dalam mengembangkan respon mereka terhadap apa yang terjadi di sekitar harus mencapai kebenaran, masuk akal, dan memiliki nilai-nilai kebaikan. Pada tahap pertama berkaitan dengan proses penemuan ide-ide, baik permulaan dan akhiran, harus melewati proses yang benar. Disini Kant dan Hegel telah berjasa bagaimana menemukan kebenaran, sebagai awal proses Era Pencerahan di Barat, yaitu pada konsep pure reason (Kant 2004) dan konsep mengenai pengalaman manusia atau spirit (Kojeve 1969).
Dua konsep ini menjadi landasan berpikir filsafat Barat. Adapun mengenai rational necessity, menurut Brightman (1952: 9) adalah “useful in eliminating logical errors.” Menurut Charles Taylor, reason adalah kapasitas untuk melihat dan memahami. Karena itu, agar bisa diatur oleh akal sejatinya diatur oleh visi dan pemahaman yang benar (Taylor 1989, 121). Adapun yang terakhir adalah semua pemikran kefilsafatan di Barat ditujukan pada sesuatu yang baik. Bahkan tidak hanya disitu, kadang ditambah untuk menjadi lebih baik (better). Fondasi ini menyiratkan bahwa tradisi filsafat di Barat kerap memperebutkan apa yang disebut oleh Taylor sebagai hypergood yang merupakan sumber konflik. Karena hypergood dipahami oleh mereka yang berpandangan konsep ini adalah satu langkah untuk mencapai kesadaran moral yang lebih tinggi (Taylor 1989, 65). Ketiga tujuan filsafat ini menjadi “kunci” di dalam memahami dunia kefilsafatan di kalangan pemikiran Barat.
Jadi, dapat dipahami bahwa proses penemuan I (saya), we (kami/kita), they (mereka sebagai subjek), us, dan them (mereka sebagai objek) dalam tradisi Barat pada hakikatnya adalah proses hasil-hasil penemuan ilmu pengetahuan, mulai dari memahami alam, dunia luar manusia (relasi sosial), dan intuisi (lihat juga Taylor 1989, 7). Chari (1953, 200) menuturkan betapa penting intuisi, sambil mengutip pandangan Kant yang menyebutkan bahwa “intuisi (persepsi asli) tanpa konsep adalah buta dan konsep tanpa intuisi (persepsi asli) adalah kosong.” Buta dan kosong, dengan demikian, menjadi hal yang tidak perlu dipertentangkan keberadaannya, ketika kita melihat mengapa pemikiran-pemikiran Kant atau Hegel, selalu mengandalkan kekuatan intuisi atau persepsi. Hanya saja kemudian ini melahirkan konsep seperti kesadaran diri atau bahkan fenomenologi. Dengan kata lain, penemuan subjek di dalam tradisi berpikir Barat sangat terkait dengan bagaimana mereka menemukan konsep keilmuan dari persepsi yang dibangun oleh pemikir terhadap sesuatu yang [harus] atau [mampu] dirasionalkan melalui proses-proses yang benar demi untuk kebaikan.
Dari proses intuisi tersebut, kemudian menggiring kita pada proses apa yang dikenal dengan istilah metafisika (metaphysics). Istilah ini ditemukan di dalam pemikiran Aristoteles yang memperkenalkan istilah Being qua Being yang bermaksud untuk mencapai keberadaan adalah dengan cara keluar, dimana Aristoteles memfokuskan pada apa yang membuat sesuatu itu itu bisa keluar untuk mencapai Being. Dia dia juga menjelaskan tentang berbagai perbedaan mengenai eksistensi yang mempengaruhi Being (Mumford 2008, 27).
Kant menyebutkan bahwa metafisika adalah ilmu tentang prinsip-prinsip yang sangat awal di dalam pemahaman manusia (Kant 2004, xvi). Hatfield ketika memberikan pengantar untuk karya Immanuel Kant menjelaskan konsep metafisika dengan mengutip pandangan Baumgarten dan Wolff yang membedakan ranah metafisika ke dalam ontology, cosmologi, psikologi, dan teologi natural. Secara ontologi, metafisika berkaitan dengan persoalan mengenai “tujuan dari keberadaan.” Secara kosmologis, konsep metafisika bekaitan dengan alam semesta secara keseluruhan, perintah dan struktur kausalita, esensi keberadaan alam, dan hubungan natural dan supernatural. Sedangkan secara psikologis, konsep metafisika berkenaan dengan eksistensi dan kemampuan jiwa dan pikiran, seperti rasa, imajinasi, intelek, kebebasan berkehendak, dan immortalitas jiwa manusia. Adapun secara teologi natural, metafisika berusaha untuk menjelaskan keberadaan dan sifat-sifat yang ada pada Tuhan tanpa harus meyakini dengan memfoksukan pada fakta-fakta yang dievaluasi oleh rasio manusia (Kant 2004, xvi; Ladyman 2002, 7-8).
Dengan demikian, konsep subjek dan objek manusia (saya, mereka, kami) di Barat mencari cara bagaimana memahami prinsip-prinsip sesuatu cerapan akal pikir sebelum menjadi ilmu yang utuh. Metafisika dan intuisi pada umumnya menjadi awal keberangakatan mereka. Ini sejalan dengan kemunculan filsafat kesadaran yang berusaha menjelaskan keberadaan manusia dalam mencapai I (Derrida 2010, 105). Dengan kata lain, sebelum adanya pengaruh konsep sains (science), terlebih dahulu persoalan-persoalan metafisikalah yang menjadi objek pada filosof Barat. Disinilah yang perlu ditelaah lagi apa dasar kekuatan metafisika pemikir Eropa.
Medan kajian ini tentu saja sangat luas sekali, karena kita harus memahami intuisi pemikir Eropa dan bagaimana mereka menjelaskan dengan metode berpikir mereka, lalu dijewantahkan di dalam pengalaman, baik sadar maupun tidak sadar, ke dalam realita. Masing-masing bidang ini menuntun kita pada satu pemahaman tentang persoalah pemahaman tentang Tuhan dan pemahaman tentang spirit, pemahaman tentang keberadaan, dan pemahaman tentang tindakan. Charles Taylor dalam Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (1987) menjelaskan ranah ini dalam medan kajian jiwa dalam moral, sumber-sumber moral, topografi moral, dan sentimen-sentimen moral. Intinya, buah dari kajian metafisika boleh jadi kekuatan moral dan juga pada beberapa hal, terkait dengan etika sebagai seorang I.
Dari beberapa penjelasan awal di atas, esai ini ingin menggali bagaimana akar-akar pemikiran di dalam ilmu-ilmu sosial dan pengaruhnya bagi kehidupan manusia modern hari ini. Harus diakui bahwa dampak ilmu sosial yang dihasilkan di Eropa telah dirasakan di seluruh dunia. Bahkan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial, Social Sciences) telah menjadi mata pelajaran wajib di sekolah, tidak untuk mengatakan mata pelajaran Sains (Science). Adapun persoalannya adalah mengapa bangsa Eropa yang menghasilkan ilmu-ilmu sosial mampu menguasai bangsa-bangsa lain, sedangkan bangsa non-Eropa tidak mampu melakukan hal yang sama. Sejarah kolonialisasi dan perkembangan ilmu-ilmu sosial berjalan beriringan.
Walaupun proses penemuan I dan We di Eropa berjalan selama beberapa abad. Setelah itu, mereka baru menciptakan pemahaman terhadap Them, yang boleh jadi adalah objek kolonialisasi bangsa-bangsa Eropa. Mengapa pula bangsa Eropa melalui kekuatan ilmu-ilmu sosial, mampu “memaksa” negara lain untuk tunduk dan mengikuti apa yang mereka pikirkan atau hasilkan? Disini, proses pemahaman Eropa menjadi Barat amat menarik untuk ditelaah. Karena sekarang, siapapun yang memiliki pandangan yang berbeda dari pribumi, telah dianggap menjadi Barat (becoming Western) (Morris 2011) atau paling tidak telah menjadi modern (becoming modern) (Inkeles dan Smith 1974). Kemunculan istilah atau konsep yang merupakan buah dari pengkajian ilmu-ilmu sosial. Disini, non-Eropa atau non-Barat mau tidak mau harus mempelajari, kemudian menggunakan konsep tersebut di dalam sistem berpikir masyarakat. Dengan kata lain, sistem rekayasa sosial (social engineering) pada gilirannya adalah hasil dari reproduksi pemahaman para ilmuwan di Eropa atau Amerika Utara, yang dipaksakan untuk diterapkan pada them.
Adapun yang sangat menarik di Eropa adalah campuran pemikiran dan perdebatan mengenai mengkritik tradisi, sambil menjadikan fondasi keilmuan. Ada yang mengkritik tradisi berpikir dan dominasi filsafat Yunani. Ada juga yang mengkritik dan tidak puas dengan keberadaan agama Kristen. Sementara itu, menjelang masuk ke abad ke-19 dan 20 Masehi ada juga yang mengkritik Era Pencerahan, dimana kemudian pemikiran para Yahudi menjadi dasar pemikiran untuk menghasilkan order. Mereka mengkritik dominasi pemikiran Jerman (Arrendt 2007; Berlin 2000). Pola mengkritik atau “melawan secara intelektual” terhadap dominasi satu mazhab pemikiran memang telah menjadikan Barat penuh dengan dinamika dan dialektika (Whitt 2009). Sebagai contoh, Aristoteles mengkritik Socrates dianggap sebagai sejarah awal filsafat, sejarah awal sains, dan usaha yang paling awal di dalam kajian filsafat ilmu (Waugh dan Ariew 2008, 15). Marx ketika menghasilkan pemikiran mengenai sosiologi, juga tidak lepas keberangkatan intelektualnya dari kritikannya terhadap Hegel (Marx 1956, 2).
Demikian pula, Karl Popper di dalam menghasilkan beberapa teori-teori analisa sosial ternyata juga mengkritik pemikiran Bacon dan logika positivisme (Mumford 2008, 28). Tradisi mengkritik, terlepas menghormati atau titik keberangkatan seorang intelektual di Eropa, ternyata telah menghasilkan beberapa teori besar bagi peradaban manusia. Hingga hari ini, kita tidak mampu menghadapi beberapa konsep yang muncul di dalam literatur seperti istilah pluralisme, egalitarianisme, demokrasi, sekular, bahkan satu istilah yang menjadi warisan intelektual Eropa adalah kata nation-state (negara bangsa). Dominasi konsep dari Eropa di dalam ilmu pengetahuan sudah sedemikian menggurita. Konsep-konsep keilmuan yang berasal dari pribumi harus dianalisa atau dinilai terlebih dahulu oleh tradisi keilmuan yang ada di Barat. Inilah salah satu dampak dari tradisi mengkritik di Eropa yang tidak mampu dihadang oleh non-Eropa, khususnya pada era awal kebangkitan ilmu-ilmu sosial. Karena itu, kajian terhadap sejarah ide-ide (history of ideas) di Eropa atau Amerika Utara amat diperlukan, supaya diketahui bagaimana kita mampu menilai dan membangun I, We, dan Them di kalangan kita sendiri. Sebagai contoh, di Indonesia dominasi teori-teori dari Weber dan Talcott Parson telah mempertahankan pemerintah Orde Baru selama lebih daripada 30 tahun (Samuel 2010; Malo 1989).[]