Oleh Ari J. Palawi
Penyintas Tsunami Aceh 2004
Banjir bandang dan longsor besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada penghujung 2025 seakan membuka kembali bab lama yang belum pernah benar-benar kita selesaikan. Dalam hitungan hari, desa-desa terendam, jembatan terputus, rumah hanyut, dan ratusan nyawa melayang. Ribuan keluarga kini tinggal di tenda darurat, menunggu cuaca membaik, sembari bertanya-tanya: mengapa ini terus terjadi?
Ini bukan sekadar karena hujan ekstrem. Ini soal bagaimana kita memperlakukan tanah ini, hutan ini, sungai ini, dan ingatan kita sendiri. Bencana kali ini menunjukkan bahwa persoalan kita bukan hanya alam yang berubah, tetapi juga cara kita memahami dan merawat ruang hidup.
Dua Puluh Tahun Setelah Tsunami—Pelajaran Itu Masih Tertinggal
Sebagai penyintas tsunami 2004, saya merasakan langsung bagaimana suara gemuruh laut bisa mengubah seluruh hidup dalam sekejap. Pengalaman itu saya tulis dalam “The 2004 Tsunami: A Survivor’s Story”—sebuah pengingat bahwa bencana tak hanya merobohkan bangunan, tapi juga mengguncang rasa aman dan arah hidup.
Tsunami 2004 memberi kita pelajaran besar:
• bahwa manusia dan alam harus hidup berdampingan,
• bahwa solidaritas dan meuseuraya (gotong-royong) menyelamatkan lebih cepat daripada alat berat,
• bahwa memori kolektif adalah benteng pertama sebelum sirene peringatan dini berbunyi.
Namun kini, dua puluh tahun kemudian, ketika banjir dan longsor kembali menghantam Sumatra, kita melihat bahwa pelajaran itu belum menjadi bagian dari cara kita merancang pemukiman, membangun kota, atau mendidik generasi baru.
Terkadang, bencana bukan datang karena kita tidak tahu — tetapi karena kita lupa.
Dua Persoalan Besar yang Muncul Bersamaan
1. Ruang Hidup Kita Terlalu Rapuh
Hutan digunduli, lereng curam dihuni, dan sungai diuruk demi lahan cepat guna. Banyak perumahan tumbuh di area yang bahkan oleh tanahnya sendiri tidak diizinkan untuk ditempati.
Ketika hujan ekstrem datang, tanah yang seharusnya menahan air justru ikut turun. Sungai yang dahulu lega berubah sempit. Dan air, seperti manusia yang kehilangan jalan pulang, mencari jalannya sendiri—menghancurkan apa pun yang dilewatinya.
2. Ingatan Kita Terkikis Pelan-Pelan
Generasi pasca-2005—yang kini sudah remaja dan dewasa—tidak mengalami langsung tsunami. Tanpa narasi yang kuat, tanpa pendidikan bencana yang memadai, tanpa warisan cerita tentang bagaimana alam bergerak dan bagaimana manusia seharusnya bersiap, kewaspadaan pun perlahan memudar.
Kita tidak bisa berharap masyarakat siap menghadapi bencana, jika pelajarannya tidak pernah sungguh-sungguh diwariskan.
Dari Luka ke Harapan: Apa yang Sebenarnya Bisa Kita Lakukan?
Peristiwa 2004 dan 2025 memberi kita satu pesan penting: kita tidak boleh memisahkan bencana dari cara kita hidup.
Jika ingin benar-benar berubah, ada tiga hal yang perlu kita bangun bersama:
1. Menghidupkan Kembali Memori sebagai Penjaga Masa Depan
• Memori bencana bukan untuk ditakuti—tetapi untuk dijadikan kompas.
• Cerita penyintas harus direkam dan dibagikan.
• Museum dan monumen harus menjadi ruang belajar, bukan tempat foto saja.
• Sekolah dan keluarga harus membicarakan bencana, bukan sekadar saat terjadi.
• Media lokal dan seniman harus terus menuturkan narasi yang memperkuat kesadaran risiko.
Memori adalah bentuk kesiapsiagaan yang paling jujur.
2. Membangun Tata Ruang yang Menghargai Alam dan Manusia
• Kita perlu pembangunan yang mengutamakan keselamatan:
• menghentikan pembangunan di zona rawan longsor,
• memulihkan hutan yang rusak,
• memperkuat drainase,
• merancang kota dan desa dengan peta risiko yang jelas,
• memastikan izin pembangunan tidak sekadar formalitas.
Pembangunan yang bijak tidak hanya memikirkan hari ini, tetapi masa depan anak-anak kita.
3. Memperkuat Solidaritas dan Modal Sosial
Pada 2004, kami selamat karena saling menyelamatkan.
Pada 2025 pun, banyak nyawa tertolong karena gerak cepat warga.
Modal sosial ini perlu terus dirawat:
• komunitas harus dilibatkan dalam simulasi dan pendidikan bencana,
• lembaga adat dan tokoh lokal harus diberi ruang memimpin,
• bantuan dan pemulihan harus adil, transparan, dan tepat sasaran,
• relawan, pemuda, dan perempuan perlu diberdayakan dalam seluruh fase kebencanaan.
Ketangguhan bukan hanya soal struktur beton, tetapi tentang manusia yang saling menjaga.
Kenapa Kita Harus Bergerak Sekarang
Tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk mengingatkan: kita tidak boleh terus menunggu bencana datang untuk belajar.
Banjir dan longsor 2025 adalah panggilan untuk berubah:
• bagi pemerintah: agar kebijakan lebih berpihak pada keselamatan dan keberlanjutan,
• bagi sekolah dan komunitas: agar pendidikan risiko menjadi budaya sehari-hari,
• bagi media dan pelaku seni: agar memori kolektif terus terjaga,
• bagi generasi muda: agar mereka menjadi pewaris yang lebih siap dan lebih bijak.
Bencana mungkin tidak bisa kita hentikan sepenuhnya, tetapi cara kita hidup bisa membuat dampaknya jauh lebih kecil.
Kini, saatnya Aceh dan Sumatra memutus lingkaran lama ini—dengan memori yang hidup, ruang hidup yang dijaga, dan komunitas yang bergerak bersama.
Karena tanah kita tidak hanya butuh pembangunan, tetapi juga kebijaksanaan. []





















