Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Dosen UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Pada malam 31 Agustus tahun 2002 saya berada di Lapangan KLCC (Kuala Lumpur City Center) dalam rangka menyemarakkan hari Kemerdekaan Malaysia.
Rakyat tumpah ruah ke jalan-jalan untuk menikmati konser yang menghadirkan artis papan atas Malaysia seperti Siti Nurhaliza. Itulah kali pertama saya menikmati hari kemerdekaan Malaysia di Kuala Lumpur. Di berbagai sudut kota penuh dengan lampu-lampu hiasan dan berbagai acara pesta kembang api. Keesokan harinya, sebagai warga Indonesia tentu saja saya tidak memperingati hari kemerdekaan tersebut.
Hanya saja, saya sangat penasaran dengan situasi kemerdekaan yang di dapatkan oleh Malaysia. Apakah sama dengan Indonesia, dimana kelompok pemuda menculik Soekarno untuk membacakan teks-proklamasi. Lalu seluruh Indonesia larut dengan kemerdekaan dari Jepang. Rasa penasaran inilah yang kemudian ingin saya lihat bagaimana konsep kebangsaan Malaysia muncul. Setiap tanggal 31 Agustus Malaysia selalu menayangkan gambar Tunku Abdul Rahman mengisytiharkan kemerdekaan.
Dalam buku Tunku Abdul Rahman: Memoar Politik ada beberapa foto yang cukup menarik jika dibandingkan dengan peristiwa kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Peristiwa ini ditulis sebagai Perisytiharan Kemerdekaan Tanah Melayu. Jadi, saat itu yang merdeka bukanlah Malaysia, tetapi merupakan sebuah konsep lama yaitu Tanah Melayu.
Dalam esai ini, saya akan mencoba mendiskusikan bagaimana kedatangan Inggris ke Tanah Melayu yang membangun pemerintahan menjelang abad ke-19 hingga saat negara ini mendapat kemerdekaan dari Ratu Inggris. Pada periode kemerdekaan ini, terjadi perdebatan sengit mengenai konsep kebangsaan Malaysia yaitu apakah menggunakan Melayu (Malay) atau Malaya (Malayan). Hingga disini, perdebatan konsep ini termasuk bagaimana negosiasi politik identitas antara orang Melayu dengan non-Melayu (Cina dan India).
Hal ini tentu saja tidak dapat diabaikan adanya upaya untuk meneruskan semangat Melayu dengan mengedepankan Islam sebagai ideologinya seperti terlihat dalam PAS (Partai Islam Se-Malaysia). Telaahan ini pula, ingin melihat apa saja warisan Inggris, terutama dalam menyeimbangkan kepentingan sosial politik dan sosial budaya antara Melayu dengan non-Melayu.
Dapat dinyatakan bahwa Tanah Melayu atau Semenanjung Melayu merupakan tempat yang selalu diperebutkan, tidak hanya oleh kerajaan di Nusantara, tetapi juga oleh penjajah dari Eropa, yaitu Inggris. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Negara Kertagama bahwa wilayah kekuasaan mulai dari Pulau Jawa Sumatera hingga ke Nakhon Sri Thammarat di Thailand Selatan. Begitu juga, Kerajaan Aceh Darussalam juga pernah melakukan ekspansi hingga ke Tanah Johor. Dalam pada itu, Aceh memiliki hubungan yang cukup baik dengan Inggris dan juga kerajaan Islam di Turki. Dengan kata lain, Semenanjung Tanah Melayu (STM) selalu menjadi wilayah perebutan. Bahkan kerajaan Siam pun pernah mencoba menduduki wilayah Kedah dan sekitarnya. Dalam pada itu, di bagian Utara Malaysia terdapat Kerajaan Islam Pattani dan juga kerajaan Islam di Kelantan. Semua kerajaan ini memiliki hubungan tidak hanya karena agama, tetapi juga melalui politik perbesanan.
Namun demikian, kawasan STM dan Pulau Sumatera menjadi kawasan favorit bagi bangsa Eropa untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka atas nama perdagangan dan penyebaran agama Kristen. Selat Melaka menjadi jalur lalu lintas laut yang cukup ramai saat itu. Sehingga bangsa Eropa silih berganti mendatangi kawasan STM dan mencoba menduduki Nusantara hingga ke bagian Timur yaitu Pulau Borneo (Kalimantan). Portugis datang pada abad ke-15 mencoba menduduki Melaka dan melebarkan sayapnya ke Pulau Sumatera. Ketika Melaka ditundukkan pada tahun 1511, mereka mencoba melakukan monopoli perdagangan di Selat Melaka. Hall mengatakan bahwa ”Melaka pusat pembagian utama rempah-rempah ini, menerima barang dari pedagang-pedagang Jawa, yang mengumpulkannya dari pulau-pulau itu sendiri. Bahan-bahan itu sangat berlimpah dan murah sehingga apabila Portugis akan mempertahankan harga tinggi di Eropa, penting baginya untuk menegakkan monopologi dan pembatasan expor.”
Namun demikian, yang menjadi perhatian utama dari bab ini, bukanlah menceritakan bagaimana sejarah Portugis di STM, melainkan bagaimana pengaruh Inggris sebagai penjajah Tanah Melayu. Adapun fase sejarah yang bisa mengingatkan kita pada korelasi historis kolonialisme di Tanah Melayu yaitu dimulai tahun 1874. Jika tahun ini disebutkan, maka agak berdekatan dengan tahun 1873, tepatnya bulan Maret tanggal 26 ketika Belanda mengumumkan perang terbuka dengan Aceh. Tahun 1873 adalah tahun peperangan demi peperangan di Aceh yang juga memiliki hubungan erat dengan situasi politik dan perdagangan di Tanah Melayu. Salah satu fakta sejarah saat itu adalah Aceh tidak menjadi target Inggris dan sebenarnya tidak masuk dalam wilayah yang diinginkan oleh Belanda. Namun setelah Singapura menjadi pelabuhan penting, Aceh menjadi kawasan yang dijadikan target oleh Belanda. Puncak dari pembagian wilayah ini terjadi ketika munculnya Perjanjian pada tahun 1824 tentang pembagian Dunia Melayu, dimana Jawa dan Sumatra berada dibawah kekuasaan Belanda, sementara STM dibawah ’pengaruh’ Inggris.
Demikian pula, tahun 1874 juga sejarah dimulainya pengaruh Inggris dimana kawasan ini mulai diperkenalkan istilah ”British Malaya.” Menurut Roff, istilah British Malaya disebutkan pertama kali oleh Sir Frederick Weld sebagai mantan Gubernur dalam ceramahnya di Royal Colonial Institute pada tahun 1883. Menurut Khoo Kay Kim, Inggris mulai mengontrol STM dengan menguasai Penang tahun 1786. Pada tahun 1826, melalui kontrol dari India, Inggris telah menguasai Penang, Melaka dan Singapura. Sejak tahun 1870-an, negeri Perak, Selangor, Negeri Sembilan menjadi Negeri dalam Perlindungan Inggris (British Protected States).
Karena itu, era atau abad ke-19, STM sedang mengalami sejarah transformasi yang cukup pesat. Dalam hal ini, salah satu kenyataan sejarah yang tidak bisa dipungkiri adalah mulai redupnya peran dan pengakuan terhadap raja dan pengaruh mereka dalam kehidupan sosial politik. Dalam hal ini, Kim menulis ”by the 19th century, the Melaka royal patrilineage, as the symbol of political legitimacy had become history.”
Adapun menurut Andaya, selain kehadiran Inggris yang mencoba menghancurkan atau ”menata” otoritas kerajaan di negeri-negeri Melayu, pengaruh keberadaan Cina dan India juga telah menyebabkan munculnya perdebatan mengenai ke-Malay-siaan. Karena itu, dalam abad-abad ini, STM mengalami transformasi yang cukup menentukan bagaimana kontruksi identitas negara ini selanjutnya. Hal ini disebabkan, kedatangan Cina dan India yang menganggap mereka memiliki kepentingan ekonomi di STM telah menyebabkan munculnya kontestasi etnisitas, dimana mereka memerlukan ”pelindung” bagi kehidupan ekonominya.
Kehadiran Cina dan India, menurut Roff adalah ”to serve Western economic enterprise.” Dengan demikian, ketika proses Melayu menuju Malaya hingga berhenti di Malaysia, ada tiga kekuatan besar yang merubah struktur kekuasaan dan identitas ke-Melayu-an di STM yaitu Inggris, India, dan Cina.
Dari pengalaman Inggris tampak bahwa yang dilakukan adalah pembagian dan pembatasan kekuasaan yang dimiliki oleh Raja Melayu. Disamping itu, sudah mulai diperkenalkan “persatuan” atau federasi atas nama kepentingan Inggris. Puncaknya dari semua penjajahan Inggris adalah ketika mereka mampu mengontrol semua kesultanan di STM pada tahun 1914. Pola penjajahan yang dilakukan oleh Inggris adalah dengan melakukan ”proteksi” dan pembagian wilayah negeri Melayu sesuai dengan kepentingan Inggris. Pada tahun 1896, dibentuk Federasi Negeri-Negeri Melayu (the Federated Malay States) yang terdiri dari Perak, Selangor, Negeri Sembilan, dan Pahang.[]