Saya kira ada satu hal penting yang menjadi perbedaan dalam konsiderans antara UU KKPPLH (UU 4/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup), UU PLH (UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup), dan UU PPLH (UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup), dengan mengaitkan pendayagunaan sumber daya alam dengan keberadaan Pancasila. UU KKPPLH dalam huruf b disebutkan bahwa “dalam mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu diusahakan pelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan dilaksanakan dengan kebijaksanaan terpadu dan menyeluruh serta memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan mendatang”.
Penegasan bagaimana pentingnya dalam hal mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, dalam UU PLH pun menggunakan konsiderans yang bunyinya hampir sama, bahwa “dalam mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila…”. Perbedaan antara UU KKPPLH dan UU PLH pada narasi, “… perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan”.
Sementara dalam UU PPLH tidak menegaskan Pancasila dalam mencapai kebahagiaan hidup. Pada huruf a dikaitkan dengan amanat Pasal 28H terkait lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sedangkan pada konsiderans huruf b disebutkan “bahwa pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan”.
Ada perubahan yang terjadi sepanjang 1999 hingga 2002 terkait dengan amandemen terhadap konstitusi. Dengan demikian, semangat UU PPLH juga tidak bisa dilepaskan dari hasil amandemen tersebut. Walau sesungguhnya ada hal lain yang juga ditegaskan dalam huruf f, terkait dengan perlunya perubahan terhadap UU PLH.
Apa yang disebutkan dalam konsiderans UU tersebut, menjadi semangat dalam batang tubuhnya. Atas dasar itulah, sesungguhnya penegasan apa pun dalam pertimbangan akan menuntut pentingnya semangat tertentu dalam substansi yang ada dalam batang tubuh.
Selain hal tersebut, penegasan dalam konsiderans juga menampakkan bagaimana hukum nasional berusaha untuk menampung apa yang menjadi konsensus global. Indonesia sendiri sangat aktif dalam berbagai pertemuan terkait dengan persoalan lingkungan hidup. Konsensus ini yang antara lain melahirkan konsep-konsep sebagai kesepakatan yang akan diikuti masing-masing negara.
Ada satu catatan penting seyogianya tidak luput dari perhatian kita, yakni pada posisi penegasan hukum kita yang khas, termasuk dalam cara pandang melihat lingkungan. UU KKPPLH dan UU PLH yang menegaskan pembagian melihat konsep “memajukan kesejahteraan umum” dan “mencapai kebahagiaan hidup”, dengan melihatnya dalam satu ruang yang sama, menunjukkan cara lihat kekayaan orang Indonesia yang tidak hanya bertumpu pada soal fisik, melainkan juga nonfisik. Hal yang sama pun pada cara pandang sesuatu yang materi dan nonmateri, harus dilihat secara selaras dan seimbang.
Cara pandang ini, sepertinya semakin bergeser. Pelan-pelan, seolah yang disebut dengan kesejahteraan semakin bergerak ke ruang fisik dan materi. Termasuk dalam hal bagaimana cara pengaturan hukumnya. Boleh saja ada substansi yang semakin maju dalam merespons persoalan, namun memiliki kelemahan terkait bagaimana cara menghayati kebutuhan.
Hukum yang holistik, sepertinya menjadi jalan penting, walau tidak semua orang sepakat dengan cara pandang yang demikian. Hukum lingkungan harus dibangun dengan semangat lahir dan batin.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.
[es-te, Kamis, 1 Mei 2025]