SAGOETV | BANDA ACEH – Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh menegaskan pentingnya upaya rekonsiliasi dan reparasi dalam proses pemulihan korban konflik di Aceh. Hal tersebut disampaikan dalam tayangan podcast Sagoetv yang ditayangkan pada Sabtu, 3 Mei 2025, dengan menghadirkan Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Rekonsiliasi Safriandi dan Ketua Pokja Reparasi Yuliati.
Dalam diskusi yang dipandu oleh host Muhadzir Maob tersebut, KKR Aceh menyampaikan bahwa rekonsiliasi dan reparasi bukan sekadar bentuk simbolik atau administratif, melainkan kebutuhan mendesak untuk mengembalikan martabat dan hak-hak korban, serta menjaga perdamaian jangka panjang di Aceh.
Ketua Pokja Rekonsiliasi KKR Aceh, Safriandi, menyampaikan bahwa rekonsiliasi merupakan proses merajut kembali hubungan sosial yang rusak akibat konflik. Menurutnya, upaya ini penting untuk menghapus rasa curiga dan dendam di tengah masyarakat.
“Rekonsiliasi memberi ruang bagi korban untuk menyampaikan kisah mereka, mendapat pengakuan, dan memulihkan kepercayaan sosial. Ini bagian dari penyembuhan kolektif,” ujar Safriandi.
Ia juga menambahkan, nilai-nilai lokal seperti islah—semangat memaafkan dan menerima takdir—memiliki peran penting dalam memperlancar proses rekonsiliasi di tengah masyarakat Aceh.
Sementara itu, Ketua Pokja Reparasi, Yuliati, menegaskan bahwa reparasi merupakan bagian dari keadilan transisional yang wajib dipenuhi negara. Menurutnya, reparasi harus dipahami sebagai pemulihan hak korban pelanggaran HAM, bukan sekadar bantuan sosial.
“Reparasi memberikan pengakuan resmi bahwa korban pernah mengalami ketidakadilan. Selain itu, membantu pemulihan secara ekonomi, sosial, dan psikologis, termasuk jaminan pendidikan, pendampingan, hingga kompensasi,” kata Yuliati.
Ia menegaskan bahwa korban pelanggaran HAM tidak bisa diperlakukan sama dengan masyarakat miskin biasa, sebab mereka membutuhkan pemulihan khusus dan pengakuan negara atas penderitaan yang mereka alami.
Meski telah menjalankan sejumlah program, KKR Aceh mengakui masih menghadapi berbagai tantangan. Di antaranya adalah belum adanya mekanisme khusus dari pemerintah untuk pelaksanaan rekomendasi reparasi, kurangnya data pelaku, minimnya dukungan psikososial berkelanjutan, serta trauma mendalam yang masih dialami korban.
“Beberapa korban bahkan masih mengalami histeria saat menceritakan kembali pengalaman masa lalu mereka,” ujar Safriandi.
KKR Aceh juga menyoroti perlunya regulasi yang lebih kuat, termasuk Peraturan Gubernur, agar pelaksanaan reparasi memiliki dasar hukum yang jelas dan anggaran yang memadai.
Dalam kesempatan tersebut, KKR Aceh merekomendasikan agar pemerintah Aceh dan nasional memasukkan isu reparasi dan hak korban ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Selain itu, KKR berharap pemerintah menunjukkan komitmen yang lebih serius dalam mendukung perdamaian dan pemulihan korban sebagai bagian dari agenda pembangunan.
“KKR Aceh saat ini merupakan satu-satunya KKR yang masih aktif di Indonesia. Ini menjadi peluang besar bagi Aceh untuk menjadi model nasional dalam pemulihan pasca-konflik,” tutup Yuliati. []
Podcast lengkap KKR Aceh bersama Sagoetv dapat disaksikan melalui kanal resmi kami :