Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Antropolog dan Dosen UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
KETIKA melihat jejaring pebisnis Cina lebih banyak dipelajari sejarah mereka dari keluarga atau kongsi yang dibangun masing-masing. Kekuatan keluarga ini pun yang kemudian membentuk jaringan hampir lima generasi dalam masyarakat Cina. Di dalam masyarakat Cina digambarkan oleh Baker dalam salah satu karyanya: “The ideal family consisted of some five generations living together as one unit, sharing one common purse and one common stove, and under one family head. The Chinese called this the ‘five generation family’ or ‘five generations co-residing.” Melalui jaringan persaudaraan keluarga, orang Cina mampu membangun kerajaan bisnis, hingga sukses. Karena itu, mereka mampu membangun usaha melalui azas kepercayaan dan saling melindungi antara satu sama lain. Hal ini pula yang diterapkan dalam sistem kongsi.
Karena itu, tidak mengejutkan ketika melihat perkembangan bisnis orang Cina lebih banyak dikelola oleh keluarga dan orang-orang terpercaya. Dalam penelitian Yao Souchou ditemukan bagaimana berbagai aktifitas bisnis dari tingkat paling kecil. Di situ digambarkan orang Cina menjadikan toko sebagai rumah dan rumah sebagai tempat bisnis mereka. Gambaran ini menyiratkan betapa pentingnya keluarga inti di dalam membangun kerajaan bisnis. Suami dan istri ikut serta di dalam toko. Sementara anak-anak mereka juga dibiarkan bermain-main di dalam toko yang mereka jaga bersama-sama. Gambaran kehidupan Cina ini juga dapat ditemui di berbagai toko yang dimiliki oleh orang Cina.
Misalnya, beberapa toko orang Cina yang ditemui di Kota Banda Aceh, cenderung memperlihatkan suami istri bekerja ditambah dengan pekerja dan juga anak-anak mereka sendiri. Istri sering duduk di kasir atau memberikan perintah kepada anak buah mereka. Sedangkan suami biasanya melakukan proses pengawasan secara keseluruhan atau bahkan terlibat langsung. Di sini, aktivitas bisnis yang dilakukan oleh orang Cina di dalam kehidupan sehari-hari mereka, menurut Souchou digambarkan sebagai konsep ‘socialisation of business.’ Adapun konsep ini dijelaskan sebagai berikut;
Dalam tradisi bisnis Cina ada konsep yang dikenal sebagai guanxi. Istilah ini menggambarkan bagaimana hubungan sesama orang Cina ketika hendak dan sedang menjalani bisnis. Inilah kata kunci, dimana orang Cina membangun raya percaya pada sesama mereka sendiri. Relasi ini dibangun atas dasar kepercayaan (xing yong), sentimen (gang qini), dan jaringan (lai wang). Disebutkan bahwa kemunculan kapitalisme orang Cina dalam era globalisasi dikarena ada jaringan khusus yang berdasarkan berbagai bentuk dari praktik guanxi. Ketiga hal tersebut yang membangun rasa persaudaraan di kalangan orang Cina, baik di dalam maupun di perantauan.
Dalam hal ini, hubungan gaunxi dapat berbentuk guoji (hubungan internasional), routi guanxi (hubungan persaudaraan), dan fuji guanxi (hubungan perkawinan). Bentuk-bentuk guanxi tersebut pada gilirannya menciptakan suasana-suasana dibalik layar yang dilakukan oleh orang Cina. Misalnya, hubungan-hubungan ini memberikan relasi yang saling menguntungkan, membantu sejawat yang sedang memerlukan bantuan, hingga praktik-praktik korupsi. Karena itu, pada ujungnya, hubungan ini terus berkembang, sebagaimana dijelaskan berikut ini oleh (Jakob dan Lotte, 2004: 140): “As relations are constanly being expanded, they are gradually transformed into a complex network, which is not limited to the family and speech grup, but embrace strictly professional relations that are nevertheless still informal and based on trust.”
Keyakinan untuk mensukseskan diri mereka dalam dunia bisnis merupakan satu kemestian yang sejalan dengan agama yang dianut oleh orang Cina yaitu Konghucu. Pandangan ini menyiratkan bahwa mereka ingin mengagungkan keluarga dan leluhur. Inilah yang menjadi salah satu teori mengapa orang Cina memiliki spirit berbisnis sangat kuat, yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam dunia spiritual orang Cina menyembah atau berdoa kepada leluhur adalah suatu kelaziman. Mereka sangat menghormati leluhur. Karena itu, spirit yang telah pergi selalu didoakan. Bahkan, suatu perilaku yang amat buruk, jika ada yang memaki-maki para leluhur. Pemujaan terhadap leluhur ini menyiratkan bahwa keluarga orang Cina sama sekali tidak akan terputus hubungannya dengan mereka yang masih hidup.
Selanjutnya, keuletan orang Cina terlihat dari tiga hal: pengaruh pimpinan negara, keluarga, dan religi. Selain Konghucu, masih ada lagi religi di Cina yaitu Tao, Buddha, dan agama pribumi. Untuk mengikat semua keyakinan tersebut dikenal sebagai jiao. Konsep jiao lebih dimaknai sebagai ajaran-ajaran. Jiao ini tidak boleh dibawa ke ranah politik, ilmu dan agama. Konsep ini lebih merupakan: “Jiao were closely intertwined with the various forms of practical technology, mathematics, and medicine now often called ‘traditional Chinese science’” (Andrew, 2001: 34).
Saya memandang bahwa ajaran-ajaran yang dipraktikkan oleh masyarakat Cina tidak dibawa ke ranah kenegaraan atau tata kelola pemerintah. Sebab, Mao merupakan penganut komunis, dimana agama tidak boleh berperan, seperti layaknya pada awal-awal gejala sekularisme di Barat. Semua agama yang muncul dianggap sebagai ilmu-ilmu orang Cina untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, di puncak kenegaraan, orang Cina berkiblat pada pemikiran Marx, di bawa masyarakat dibiarkan untuk menghidupkan tradisi leluhur mereka dalam bidang teknologi, matematik, dan pengobatan.
Dalam konteks ini, Andrew B. Kipnis malah menyebutkan Maoisme menganut sistem teokrasi. Kipnis menjelaskan sebagai berikut: Marxism, as institutionalised in Mao’s China, had its own form of teleological history (beginning in ‘primitive communism’ passing through the stages of feudalism, capitalism, and socialism before ending in communism), its own imagination of heaven (communism), its own sacred texts (the heavily edited collected works of Marx, Engels, Lenin, Stalin, and Mao), its own morality, and its own experience of the numinous (Mao worship).[]