Oleh: Sulaiman Tripa.
Dosen FH Universitas Syiah Kuala, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Barangkali, judul kolom ini masih diperdebatkan. Tidak semua orang akan setuju ketika disebut ada masalah-masalah dalam kehidupan kita, yang berdampak terhadap lingkungan, sebagian disebabkan oleh kesadaran kebijakan. Dengan kata lain, bisa disebut sebagai kegagalan dari kebijakan maupun pelaksanaannya.
Sejumlah bencana yang terjadi di sejumlah titik, tidak hanya digolongkan sebagai bencana alam. Dalam konsep hukum, ada bencana yang diundang oleh kegagalan kebijakan manusia. Kegagalan kebijakan dalam memanajemeni alam akan berimplikasi kepada beban sosial yang tidak sedikit nilainya. Firman Allah dalam Al-Quran mengingatkan kita, bahwa manusialah yang menyebabkan kerusakan di darat dan di laut.
Entah kita semua sepakat, bahwa pilu bencana yang terjadi, terutama banjir dan banjir bandang, adalah satu mata rantai kesalahan manusia yang seharusnya tidak boleh lagi terulang dimasa mendatang. Sepertinya semua masyarakat kabupaten/kota di negeri kita ini sudah merasakan bencana alam yang disebabkan perilaku manusia dengan membabat hutan.
Sudah waktunya, kita tidak memosisikan alam sebagai sesuatu yang sekedar untuk dieksploitasi dan dimanfaatkan. Dengan mengutip Dale T. Snauwaert –profesor educational theory and social foundations (University of Toledo, Ohio), Otto Soemarwoto (1994) menyebutkan manusia sudah sangat dominan memandang alam hanya untuk memenuhi kebutuhannya semata. Benar bahwa semua sumber daya alam pada akhirnya akan dimanfaatkan untuk manusia, namun tidak dalam bentuk materi. Pemanfaatan itu tidak hanya dalam pemanfaatan sumber pendapatan, melainkan bisa dalam bentuk udara segar atau penyimpanan air bersih bagi kehidupan manusia.
Kepentingan materil manusia telah menyederhanakan makna kebutuhan hidup manusia tersebut. Inilah yang disebut Snauwaert sebagai antroposentrisme yang menolak keberadaan nilai-nilai intrinsik alam. Sikap seperti ini merupakan cermin dominannya pandangan antroposentrisme dalam sejarah hubungan manusia dengan lingkungannya.
Cara pandang antroposentris melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap alam dengan segala isinya, yang dianggap tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Menurut Sonny Keraf (2005) –mantan menteri lingkungan hidup era Abdurrahman Wahid, pandangan demikian pada akhirnya akan menghancurkan kehidupan manusia sendiri.
Ada satu pandangan dengan cara pandang lingkungan sampai pada titik terdalam, dikenalkan oleh Capra sejak dua dekade lalu. Kehidupan yang dilihat dari kacamata ’ekologi dalam’ (deep ecology) melibatkan semua entitas kehidupan di dunia tanpa ada yang tercecer, yaitu mulai dari organisme, sistem sosial, dan lingkungan. Semua terhubung menjadi satu sebagai satu kesatuan kehidupan.
Seyogianya konsep keberlanjutan lingkungan yang tersalurkan lewat berbagai kebijakan haruslah berjalan holistik. Berbagai kerusakan lingkungan dan kondisi sumberdaya dipengaruhi oleh berbagai sebab dan menjadi alasan pentingnya melakukan pola holistik tersebut.
Fitjof Capra memetakan bagaimana pada masa depan semua permasalahan saling terkait satu sama lain. Capra sendiri menggunakan ’ecology’ sebagai cermin bahwa ekosistem harus dilihat dengan holistik. Intinya adalah tentang holistik –bahwa cara pandang baru terhadap sesuatu masalah, tidak bisa dilepaskan dengan masalah lain yang selalu berkaitan dengannya. Cara pandang ini kemudian dipadukan dengan saling berhubungan dengan proses pemahaman, penjelasan, hingga pemecahan masalah.
Cara pandang ini seyogianya mencemeti manusia untuk melihat kehidupannya melalui lingkungan yang bisa memberi kita cermin tempat berkaca secara utuh. Pikiran ini, antara lain dilatarbelakangi oleh kondisi sumberdaya alam dan kehancuran lingkungan, yang turut teraduk dengan pelipatgandaan manusia secara tajam dalam setengah abad terakhir. Melalui kondisi itulah, Capra (2001) merumuskan cara pandang baru bukan hanya bagi lingkungan itu sendiri, tapi juga kehidupan –berangkat dari ketepatan pemahaman, melahirkan penjelasan, hingga bisa memecahkan masalah. Semua masalah dilihat saling terikat, saling terkait, saling tergantung.
Dalam hal ini, posisi holistik, dimaksudkan agar ilmu hukum dapat tampil sebagai sebenar ilmu. Agar maksud tersebut tercapai, maka pemahaman, penggarapan, dan penyelenggaraan hukum dilakukan dengan secara holistik. Untuk mencapai tujuan seperti itu, maka hukum harus diterima sebagai realitas yang utuh, tanpa ada reduksi. Intinya adalah tentang holistik –bahwa cara pandang baru terhadap sesuatu masalah, tidak bisa dilepaskan dengan masalah lain yang selalu berkaitan dengannya. Cara pandang ini kemudian dipadukan dengan saling berhubungan dengan proses pemahaman, penjelasan, hingga pemecahan masalah.
Beberapa gaya baru yang ditampilkan oleh Prof. Tjip, menempatkan secara istimewa pikiran Fritjof Capra mulai dari The Tao of Physic, The Turning Point, The Web of Life, sampai The Hidden Connection –cukup memberi tanda bahwa perkembangan pemikiran hukum hendaknya terlibat dalam percaturan intelektual dan sains mutakhir.
Paling tidak, begitulah gagasan Capra yang kemudian dijadikan Satjipto Rahardjo untuk membahas gagasan-gagasannya. Gagasan-gagasan yang dapat dipahami sebagai sesuatu yang terus bergerak ke depan –seyogianya begitulah selalu perkembangan yang diharapkan dari dunia kecendikiawanan.
Dalam konstitusi, konsep inilah yang kemudian saya pahami dari tekanan ketatnya posisi hak menguasai negara. Kita bisa melihat konsepsi kesejahteraan, sebagaimana diamanahkan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Menurut Satjipto Rahardjo (2007), Pasal 33 UUD 1945 merupakan cermin betapa negara akan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat. Konsekuensi dari pengaturan ini adalah bahwa sumber kemakmuran tersebut tidak boleh dikuasai secara semena-mena, dan negara harus melindungi dan mengelola segala kekayaan yang disebutkan tersebut. Menurutnya, dalam UUD kita jumpai kaidah-kaidah atau asas-asas umum –apa yang disebut Satjipto Rahardjo sebagai teks moral, antara lain: bumi, air, kekayaan alam dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, perekonomian didasarkan atas asas kekeluargaan, dan produksi untuk hajat hidup orang banyak dikuasai negara.
Konsep keberlanjutan lingkungan menjadi penting sebagai bagian dari pembangunan. Dalam konteks ini, seyogianya berlangsung pembangunan yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi. Harus ada semacam kesadaran betapa semua hal harus dilaksanakan dengan kerangka kesatuan pengetahuan yang berkerangka holistik.
Kesejahteraan tidak hanya berkaitan dengan ekonomi semata. Dengan demikian dapat dipahami bahwa konsep pembangunan yang menyelaraskan kelestarian lingkungan hidup dengan pendekatan holistik adalah cermin dari konsep pembangunan yang diharapkan untuk masa depan. Dalam konteks ini, perusakan lingkungan yang pada akhirnya akan menjadi beban sosial, yang pada garis finish masyarakat dan pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya. Maka bukankah bagi masyarakat yang merasakan betapa beban sosial itu harus mereka tanggung atas ulah kesalahan kebijakan, bisa diminta pertanggungjawaban hukum?
Kesadaran akan adanya beban sosial inilah yang saya sebut buah dari kesadaran kegagalan kebijakan. Ingatlah apapun yang kita lakukan secara sadar, dan kita sudah bisa membayangkan akan terjadi sesuatu terhadap orang banyak, kita pasti akan mempertanggungjawabkannya kelak.[]