Malam ini, di masjid kampung kami, kedatangan tamu jauh. Mereka memiliki satu tempat belajar bagi anak-anak yatim untuk menjadi penghafal Al-Qur’an. Hal yang penting disampaikan mereka, dari 520 anak yang ada, terdapat 130 anak yang memiliki kekurangan indera penglihatan. Ia datang ke Aceh, menurutnya, karena spirit orang Aceh terhadap agama sangat kuat. Hal lainnya, soal bagaimana orang Aceh yang dipelajari mereka, sebagai suatu masyarakat yang senantiasa merindui puasa.
Para musafir ini, bisa jadi mempelajari dari riset-riset cara beribadah orang Aceh. Akan tetapi, bagi saya itu terserah masing-masing. Namun catatannya tentang merindui puasa, itu menjadi hal yang menarik –sekaligus juga strategis.
Saya ingat dalam salah satu karya Imam Ghazali yang menyebut tingkatan orang berpuasa itu mulai dari yang biasa, hingga yang memahami hikmah tertinggi dari puasa. Imam Ghazali hidup pada abad ke-11. Kitab Ihya Ulumuddin –menghidupkan ilmu agama—menjadi salah satu karya pentingnya hingga saat ini. Beliah lahir di Khurasan dan hidup pada era Kekhalifahan Abbasiyah.
Menurut Al Ghazali, ada puasa orang awam dan ada yang sudah mencapai paripurna. Orang awam, puasa itu hanya untuk menggugurkan kewajiban. Tidak lebih. Orang semacam ini –mudah-mudahan kita tidak termasuk di dalamnya—berpuasa hanya mendapat hasil berupa lapar dan dahaga.
Pada lapis kedua, orang yang tidak sebatas hanya menahan diri dari yang membatalkan puasa, melainkan dari berbagai hal yang membatalkan pahalanya. Pada lapis ketiga, sudah pada posisi orang yang melakukannya dengan penuh rasa bahagia, sehingga bisa dikategori sebagai paripurna. Orang yang disebut terakhir ini sudah pada tataran mengabdi dengan sepenuh hati, tidak setengah-setengah. Imannya sudah mantap, penyerahan diri sudah total, dan semua dilakukan dengan perasaan bahagia.
Orang yang disebut terakhir yang sepertinya selalu merindui puasa. Orang-orang yang sudah merasakan hikmah dengan segenap penyerahan jiwa dan raganya. Puasa sudah jauh dari beban ibadah. Segala sesuatu yang dilakukan sebagai makhluk dalam konteks ibadah, tidak lagi berhenti pada kewajiban, melainkan sudah pada kebutuhan.
Logika semacam ini yang seharusnya menjadi semangat kita, agar setiap momentum puasa, tidak menjadi alasan untuk mengurangi berbagai produktivitas dan kreativitas. Tidak menjadikan puasa sebagai alasan untuk bermalas-malas diri yang akhirnya menurunkan semangat hidup dan berkehidupan dengan normal.
Menjaga kualitas dan kuantitas yang bahkan melampaui hari-hari biasa sangat penting, agar tidak timbul kesan bahwa setiap datangnya puasa membuat harus banyak diberikan dispensasi dalam melaksanakan berbagai kewajiban.
Masalah produktivitas dan kreativitas menjadi sangat penting dalam hidup. Momentum puasa seharusnya membuat seseorang lebih kreativitas dan produktif. Seyogianya tidak alasan bahwa karena ibadah puasa, lantas bermalas-malasan. Dengan puasa justru membuat banyak waktu bagi kita untuk merenung. Dengan demikian ada dua capaian yang berkemungkinan diperoleh. Pertama, produktivitas dan kreativitas yang meningkat. Kedua, ibadah puasa sebagai sebuah kewajiban akan terlaksana sebagaimana yang diharapkan.
Bagi orang yang berpuasa sudah pada tingkat tertentu, ibadah ini selalu menjadi penyemangat. Bahkan ketika beribadah, memiliki kemauan untuk memahami apa yang dirasakan oleh orang-orang yang tidak mampu.
Saya berdiskusi dengan sejumlah penulis, yang justru mereka juga bisa merasakan beban batin yang lebih kuat ketika puasa. Perut kosong memberi pengaruh bagi energi dalam berpikir dengan baik. Melahirkan empati yang tinggi. Memunculkan nilai juang yang mapan. Mau berkorban untuk mereka yang terzalimi. Makanya sejumlah penulis tersebut, berusaha memanfaatkan waktu dengan baik ketika dalam keadaan demikian.
Sejumlah penulis yang saya kenal juga, rajin berpuasa sunat di luar bulan suci ini. Puasa, menurut mereka, memberi banyak manfaat selain nilai ibadah. Dengan berpuasa, mereka bisa mengontrol diri dengan baik. Tersebutlah kondisi lapar –bahasa lain dari perut kosong. Dari sesuatu yang serius lalu mengalir ke hal yang sederhana. Masalah lapar –hal yang merupakan hikmah agar orang-orang berpuasa juga merasakan secara lahir maupun batin dari kondisi orang yang lapar. Sebagai sebuah hikmah untuk merasakan kondisi tersebut, dipadukan sebagai kewajiban dari agama, maka melakukannya bisa dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Orang yang merasakan lapar, atau mencoba merasakan lapar, tidak selalu harus mengeluh tentang kondisi laparnya itu. Maka sesuatu yang dilakukan dengan ikhlas dan tidak berbeban, sesuatu yang bagi sebagian orang terasa berat bisa lebih menyenangkan. Kondisi ini banyak saya dengar dari sejumlah bahwa betapa menyenangkan melakukan berbagai aktivitas dalam bulan penuh rahmat ini.
Secara khusus, saya mendapat sebuah pesan pendek yang sangat menggugah dari seorang penulis. Bahwa dirinya sangat bisa meresapi apa yang ia tulis ketika sedang merasakan lapar. Dengan kondisi itu, ia bisa merasakan betapa orang-orang yang lapar merasakan kondisi itu berwaktu-waktu –dan oleh sebagian orang di sekelilingnya dibiarkan bertahun-tahun.
Berbekal pengalaman inilah, maka seharusnya berbagai aktivitas di bulan penuh berkah ini harus selalu meningkat kualitas dan bahkan kuantitasnya. Dengan melakukan sesuatu secara kreatif, seyogianya melahirkan kebahagiaan yang berimplikasi kepada peningkatan produktivitas dan kreativitas. Mungkin terlalu berlebihan, namun bukan berarti tak ada orang yang tidak mampu menjalankan segala tugasnya secara bahagia di bulan penuh berkah ini.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.
[es-te, Selasa, 18 Puasa 1446, 18 Maret 2025]