Saya tidak ingat persis, rupanya hari ini ada kenduri malam 21 di kampung. Berbuka bersama, dilaksanakan secara rutin tiap malam 21 dan malam 27. Selain itu ada malam 17, dan malam tamat baca Al-Qur’an. Hajatan ini sudah lama berlangsung. Sejak saya kecil, hajatan ini sudah dilaksanakan. Sejak zaman belum ada televisi. Saya tanya kepada orang yang sudah tua, dibilang hajatan ini sangat penting dalam menyediakan ruang bagi memperkuat sosial-agama. Pada saat yang sama, orang kampung memiliki momentum untuk menyediakan sedekah bagi orang berbuka.
Saya kira dua-duanya saling mendapat manfaat. Dalam ruang sosial, para generasi muda harus dijaga dengan baik. Waktu itu, yang datang ke meunasah untuk berbuka, pasti orang yang akan shalat jamaah magrib. Tidak akan datang mereka ke meunasah kalau hanya kepentingan untuk berbuka saja. Cara mereka menghargai usaha para penyedekah makanan berbuka, selaras dengan ibadah yang dilakukan.
Dengan demikian, momentum tersebut tidak ada yang sia-sia. Tidak sebatas ritual, yang saling berganti waktu dengan peran yang juga berbeda. Ruang sosial ini juga akan memberi semangat bagi penguatan nilai-nilai agama. Secara bersama-sama, mereka merawat keadaan ini, hingga pada waktu sekarang, realitasnya berubah. Orang yang berbuka, tiba-tiba hilang saat azan berkumandang.
Begitulah cara orang kampung dalam menjaga generasi mereka. Bukankah biasanya, kita selalu bisa memilih. Di hadapan kita tersedia berbagai pilihan. Ada yang dengan mudah, tidak jarang harus dilakukan dengan susah-payah. Betapa banyak manusia melakoni sesuatu yang buruk walau harus dicapai dengan tingkat kesulitan tinggi? Tidak sedikit bergerak ke jalan lurus bisa dilakukan dengan mudah, namun tidak dilakukan.
Kenyataannya sesuatu yang tidak baik itu bisa diorganisir. Cara orang kampung berbuka, bisa saja berbeda dengan para pengorganisir momentum ini untuk untung yang lain. Berbagai momentum yang ada bisa dimanfaatkan dalam mencapai sesuatu yang tidak baik. Orang-orang yang berpikir pemasukan, lantas meninggalkan moral dan etika, apapun akan dilakukan. Bayangkanlah bagaimana manusia mau dan mampu memerankan berbagai hal yang memuakkan, demi mendapat sejumlah pemasukan yang sudah dianggap sebagai dewa.
Orang-orang yang kadung memandang pendapatan sebagai alat ukur dalam hidup, tidak masalah melakukan apapun. Orang-orang yang begini akan mengatakan bahwa moral dan etika bisa didudukkan dulu di satu ruang, lantas setelah memerankan sesuatu yang buruk, ia bisa dipakai kembali.
Dalam bulan ini, bongkar-pasang moral bisa dilihat. Orientasi bisa dibaca. Saluran televisi menampakkan keinginannya sendiri. Keinginan untuk mencapai hasil besar, diawali kreativitas menurut mereka. Kreativitas dimunculkan dalam rangka mencari sebanyak mungkin untung –yang keuntungan itu diperoleh berdasarkan penontonnya.
Ada berbagai cara dilakukan cara untuk menarik penonton. Ada cara-cara biasa. Pun ada cara-cara yang tidak biasa. Ada cara yang bersih. Pun tidak jarang dilakukan cara-cara yang kotor dan licik. Orang digoda untuk menonton, padahal orang-orang yang menonton tidak selalu memahami apa sesungguhnya yang ditontonnya.
Semua tontonan pada akhirnya dikaitkan dengan masing-masing momentum. Tinggal dipasang-pasang saja hal tertentu dengan momen tertentu. Tidak masalah apa yang dihadirkan itu terkesan disambung-sambungkan, karena indikator mereka pada penonton yang banyak.
Pada bulan ini demikian juga. Berbagai tayangan disesuaikan dengan kesan bulan mulia ini. Ceramah semakin diperbanyak, walau antara isi dan penceramah belum tentu sepadan. Semua mata acara kemudian disesuaikan dengan kepentingan agama –yang dalam praktik disederhanakan dengan menggonta-ganti pakaian yang dipakainya.
Ada televisi yang sangat gemar menyiarkan ceramah di pagi hari. Apa yang terjadi setelahnya? Mereka menggantikan dengan tayangan memuakkan pada waktu yang lain. Pembawa acara untuk acara-acara yang boleh dibilang merusak, lalu dijadikan pembawa acara ceramah di waktu yang lain.
Begitulah yang saya ingin gambarkan betapa gonta-ganti itu sering terjadi dalam bulan ini. Begitu mudahnya pakaian pembawa acara tinggal digonta-ganti saja sesuai dengan yang diinginkan. Seolah tugas pembawa acara terlepas dari moralnya. Seharusnya mereka yang menerima order untuk berperan dalam tayangan yang menelanjangkan tubuh, harus berani menolak untuk tayangan yang mensyaratkan untuk menutup tubuh. Mengapa ini bisa digonta-ganti? Karena peran ini dianggap profesional yang bisa dilepaskan dari posisi moral agamanya. Jadi bagi sebagian orang, peran itu hanya terkait berapa mereka akan dibayar. Hanya sebatas itu.
Lantas siapa yang peduli dengan keadaan ini? Barangkali proses mencari uang yang menjadi alasan, lalu membiarkan cara-cara yang justru merusak karakter bangsa? Pertanyaannya siapa peduli dengan karakter? Bukankah selama ini, para pengelola kuasa juga begitu riang gembira dalam menghancurkan karakter bangsa.
Jika kita peduli, maka mari menjadikan momentum ini, dengan mulai dari diri sendiri, jauhilah tayangan-tayangan yang merusak karakter bangsa. Jika tidak mampu mengajak orang lain, pilihlah tidak menontonnya. Karena dengan menonton, berarti kita telah berkontribusi untuk memperbanyak jumlah yang melotot tayangan mereka. Tambahan penonton, berimplikasi kepada naiknya harga dan peminat pemasang iklan. Implikasi lain, mereka yang mensponsori yang demikian, akan digemari orang banyak.
Bukankah jalan buruk itu ketika diorganisir akan mendapat tempat begitu rupa? Jalan baik yang tidak diorganisir, akan tertatih-tatih melawan rusaknya kekuatan perusak yang bergerak begitu masif. Masihkah kita tidak bergerak memperbaikinya?
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.
[es-te, Kamis, 20 Puasa 1446, 20 Maret 2025]