Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Dosen UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Dalam relung tiga abad ini ada beberapa peristiwa yang terus mendominasi yaitu sulitnya mencapai perdamaian dunia. Upaya untuk kolonialisasi terhadap negara-negara yang kaya akan sumber alam terus berjalan. Adanya blok-blok negara yang terus menerus memikirkan tiga hal yaitu: kepentingan, kekuasaan, dan pengaruh.
Selama 3 abad lebih ilmu sosial telah memenangi satu putaran persaingan dalam peradaban manusia. Esai ini tentu saja tidak hanya menjadikan ”ruang sejarah” 3 abad ini menjadi titik sentral, tetapi juga berusaha mencari aspek-aspek yang terdalam dari pengembangan ilmu sosial, dengan mengambil sampel pada sosiologi. Yang menarik, sebelum 3 abad tersebut, Barat dikenal dengan sangat relijius. Karya-karya bagaimana posisi agama dan Tuhan dalam masyarakat sangat diminati. Jauh, sebelum Darwin menemukan teori evolusi, Barat cukup dikenal dengan karya-karya tentang mistisme dan bagaimana bertemu dengan Tuhan. Bahkan sebelum abad Barat ”asyik” dengan kajian ketuhanan dan keagamaan, mereka juga cukup merasakan bagaimana dampak dan pengaruh intelektual Islam terhadap peradaban mereka.
Namun, di atas pemikiran sosiologi tersebut, terdapat ilmu lain yang berkembang di Barat yaitu filsafat. Buah dari pemikiran filsafat Barat melahirkan zaman Pencerahan (Enlightenment) pada abad ke-17. Inti dari pemikiran ini adalah bagaimana mengontrol dunia dengan akal dan riset-riset empiris. Jadi, memahami sosiologi berarti membuka lembaran sejarah filsafat Barat, lalu mengaitkannya dengan mimpi mereka untuk menguasai dunia dengan akal dan pemikiran yang sangat empiris. Dalam bidang sosiologi muncul nama Auguste Comte (1798-1857), pemikir dari Perancis, yang memberikan pengaruh yang amat luar biasa pada ilmu ini. Di samping Comte, dari Perancis juga muncul nama Claude Henri Saint –Simon (1760-1825) dan Emile Durkheim (1858 -1917). Ketiga pemikir ini mencoba merumukan bagaimana sosiologi bekerja dalam merespon era Pencerahan dan Revolusi yang berlaku di Perancis.
Sebagai di Perancis, di Jerman juga kelahiran ilmu sosiologi juga dipengaruhi oleh pemikiran Filsafat. Salah satu pemikir tersebut adalah G.W.F. Hegel (1770-1831). Hegel adalah seorang filosof yang sangat mempengaruhi pemikiran Karl Marx (1818-1883). Adapun nama lain selain Marx adalah Max Weber (1864-1920) dan George Simmel (1858 – 1918). Lagi-lagi dalam rentang kehidupan para pemikir tersebut, ditemukan pengaruh pemikiran filsafat yang amat kuat dan dinamika intelektual yang berkembang di Jerman. Weber dikenal sebagai seorang sosiolog terkemuka yang menurut Spirit Ethic and the Spirit of Capitalism. Adapun Simmel dianggap sebagai peletak kajian ilmu ini yang memiliki beberapa teori sosial. Adapun di Inggris juga muncul beberapa pemikir sosiologi seperti Adam Smith (1723-1790) dan Herbet Spencer (1820 – 1903). Dari kelompok ini diketahui bahwa mereka lebih tertarik pada individu-individu yang membuat struktur dalam masyarakat dan karenanya lebih tertarik pada data dari individu dan dikaitkan dengan gambaran umum masyarakat. Ini agaknya yang melahirkan pengaruh statistik dalam ilmu sosial ini.
Begitulah sejarah ringkas penemuan ilmu sosial ini. Namun, dalam bab-bab berikut kita akan melihat bagaimana teori-teori mereka berkembang dan dimana mereka menempatkan agama di dalamnya. Secara keseluruhan ada pengaruh yang cukup kuat dari pemikiran filsafat yang melahirkan ilmu sosial ini. Di samping adanya keinginan untuk menempatkan akal atau rasio dalam menganalisa perubahan sosial, ditemukan juga bahwa begitu dominasi Comte dalam tradisi berpikir para sosiolog yaitu positivisme dan empirisme. Llyod mengatakan bahwa pemikiran ini sangat mempengaruhi kajian sosial pada abad ke-19. Adapun nama yang paling sering disebut adalah Saint-Simon dan Comte. Inti dari pemikiran ini adalah: “that positive, objective knowledge is to be had only by the method of natural science and that method is empiricism.” Oleh karena itu, kehidupan sosial harus dijelaskan dalam perspektif ilmu kealaman (natural science).
Ada satu tarikan bahwa sosiologi tidak dapat membendung pemikiran filsafat yang berkembang di Barat. Dalam beberapa bacaan saya, nama Hegel hingga ke Plato, sering muncul dalam literatur ilmu sosial ini. Namun, lagi-lagi rentang waktu ini telah berlalu sekian abad, dimana tikungannya telah berujung pada dua hal utama yaitu tentang keterlibatan alam dalam penemuan ilmu-ilmu sosial dan keterlibatan akal dalam memahami semua fenomena yang terjadi di dalam ini. Dalam ilmu sosial, dominasi aliran positivisme dan empirisme telah menegasikan peran metafisika, subjektifisme, dan spekulasi dalam memahami realitas empiris. Dalam diskusi ini, nama-nama yang muncul adalah Locke, Hume, Mach, Leibnitz, Frege, Russel, dan Wittegenstein yang berasal dari Vienna Circle.
Karen Amstrong dalam salah satu karyanya yang berjudul A History of God memaparkan bagaimana Barat memunculkan istilah ’kematian Tuhan’ dalam kehidupan mereka. Hampir semua pemikiran ini berasal dari para pemikir filsafat Barat, khususnya ketika terjadi Zaman Pencerahan di Eropa. Jadi, jika kita ingin mendalami bagaimana proses ’kematian Tuhan’ di Barat, maka kajian sosiologi agama merupakan salah satu pintu untuk memahaminya. Sebab, disini kita akan melihat bagaimana peradaban Barat dibangun setelah terjadi Zaman Pencerahan dimana semua masyarakatnya dianalisa dari wilayah perkotaan yang ingin menggunakan semaksimal mungkin akal untuk bertahan hidup.
Pada saat yang sama, pengaruh pemikiran Barat, khususnya ilmu-ilmu sosial, juga tidak dapat diabaikan dalam tradisi kesarjanaan Muslim. Teori-teori sosial sudah mulai ’masuk’ dan terkadang menjadi ’alat’ untuk membangun ’tradisi baru’ yang kerap menghadang monarki – salah satu contoh bentuk pola kekuasaan dalam Islam sebelum keruntuhan Turki Usmani pada tahun 1920-an. Saat itu, ummat Islam sudah membiasakan diri mereka dengan konsep-konsep dari Barat seperti sekularisasi, demokrasi, dan konsep nation state. Saat itulah beberapa pemikiran Muslim mencoba merespon arus dominasi ilmu-ilmu sosial dari Barat terhadap masyarakat Muslim. Sehingga dalam proses ini, ada yang menerima, setuju dengan berbagai syarat, dan bahkan menolak sama sekali ide-ide dari Barat yang merupakan ’buah’ dari kelahiran ilmu-ilmu sosial.
Akibatnya adalah ketika terjadi ”pertemuan” antara tradisi kesarjanaan dalam ilmu sosial dan tradisi kesarjanaan Islam pada ke-18 dan 19 Masehi, masing-masing bagian sedang menghadapi persoalan internal. Di Barat, mereka menggunakan ilmu ini sebagai cara untuk mengisi Zaman Pencerahan dan sebagian dari mereka juga sedang berupaya untuk terus menjajah kawasan Asia dan Afrika. Dalam tradisi kesarjanaan Islam, zaman-zaman ini tidak lagi ditandai dengan era kegemilangan, karena selain isu pintu ijtihad tertutup, beberapa kawasan Muslim sedang mengalami era stagnasi pemikiran. Sehingga yang muncul saat itu adalah para pembaru yang berusaha ingin ”membangkitkan” kembali ummat Islam dari keterpurukan. Diantara mereka juga ada yang belajar di Barat, sehingga tidak menutup kemungkinan, para pembaru ini pun merasakan pengaruh dari ilmu-ilmu sosial di Barat.
Adapun dampak lainnya adalah para ilmuwan sosial juga sudah mulai menerapkan teori-teori sosial dari Barat untuk menganalisa kehidupan sosial ummat Islam. Mereka menjadikan Muslim sebagai ’objek studi’ sehingga teori-teori yang mereka munculkan pun tidak bisa hilang dari bias fondasi keilmuan mereka di Barat. Hal inilah yang menyebabkan munculnya ekspansi teori-teori sosial ke dalam ranah kajian studi keislaman. Akibatnya, persoalan pertarungan tidak lagi pada aspek empirisme, tetapi juga pada persoalan epistemologi keilmuan masing-masing pihak. Dalam dataran filsafat, agaknya kajian Barat dan Timur tidak memiliki persoalan yang signifikan, selain saling mengisi satu sama lain. Hanya saja, ketika persoalan ilmu sosial, walaupun fondasinya dari filsafat, Barat dan Timur seolah-olah tidak dapat bersatu.[]