SAGOETV | BANDA ACEH – Akademisi dari UIN Ar-Raniry, Miftahul Jannah, S.Ag., M.Si., Ph.D., dalam diskusi yang dipandu oleh CEO SAGOETV, Dr. Mukhlisuddin Ilyas, M.Pd., pada Rabu (23/04), mengungkapkan kekhawatirannya terkait meningkatnya angka bunuh diri di Aceh, terutama di kalangan mahasiswa. Dalam podcast ini membahas berbagai faktor yang berkontribusi terhadap fenomena tersebut, serta langkah-langkah yang bisa diambil untuk mengatasi masalah ini.
Miftahul Jannah menjelaskan bahwa meskipun angka bunuh diri di Aceh tergolong rendah dibandingkan provinsi lain seperti Jawa Timur dan Jawa Barat, kasus-kasus bunuh diri di Kota Banda Aceh belakangan ini mulai menunjukkan peningkatan yang signifikan. “Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah stres akademik yang dialami oleh mahasiswa. Tekanan untuk segera lulus sering kali membuat mereka merasa tertekan, dan ketika harapan tidak sesuai dengan kenyataan, mereka cenderung mencari jalan pintas, yaitu dengan bunuh diri,” ujar Miftahul.
Dalam perspektif psikologi, Miftahul menjelaskan bahwa bunuh diri merupakan hasil dari gangguan mental yang dipicu oleh stres berkepanjangan, baik faktor internal seperti rasa rendah diri, maupun faktor eksternal seperti tekanan dari keluarga atau teman. “Pola asuh orang tua yang kurang mendengarkan kebutuhan emosional anak juga berperan besar dalam meningkatkan tekanan yang mereka rasakan,” tambahnya.
Miftahul juga menekankan pentingnya peran orang tua, lingkungan, dan komunitas dalam menangani masalah ini. Komunikasi yang terbuka antara orang tua dan anak sangat penting untuk menciptakan dukungan emosional yang diperlukan anak-anak, terutama dalam menghadapi tekanan akademik. “Orang tua harus mampu mendidik anak-anak dengan cara yang kontekstual, memahami perasaan mereka, dan menjalin komunikasi yang baik agar anak merasa didukung, bukan tertekan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Miftahul juga mengingatkan bahwa dalam ajaran Islam, bunuh diri adalah perbuatan yang dilarang dan dianggap dosa besar. “Meskipun agama mengajarkan kita untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang benar, tekanan hidup yang berat kadang membuat individu merasa tidak ada jalan keluar. Dalam hal ini, orang tua dan komunitas harus berperan untuk memastikan anak-anak dan remaja kita tahu bahwa mereka tidak sendirian dan bisa mencari solusi dengan berbicara kepada orang yang mereka percayai,” kata Miftahul.
Diskusi ini juga membahas perbandingan dengan negara lain, seperti Jepang, yang berhasil menurunkan angka bunuh diri melalui pendekatan sosial dan dukungan komunitas. Miftahul mengungkapkan bahwa Indonesia, khususnya Aceh, bisa belajar dari pendekatan tersebut dengan menyediakan lebih banyak layanan kesehatan mental di sekolah, kampus, dan masyarakat. “Jika kita menciptakan lingkungan yang peduli, remaja tidak akan merasa kesepian dalam menghadapi masalah mereka,” pungkasnya.
Walaupun Aceh memiliki indeks kebahagiaan yang relatif tinggi, Miftahul menyoroti adanya kesenjangan antara hubungan spiritual dengan Tuhan (hablum minallah) dan hubungan sosial dengan sesama (hablum minannas). Hal ini, menurutnya, membuat individu merasa terisolasi, terutama bagi mahasiswa yang datang dari luar Aceh. “Kita perlu lebih peduli terhadap satu sama lain dan menciptakan ruang di mana setiap orang bisa merasa diterima dan didengarkan,” tutupnya. []