Oleh: Satia Zen.
Guru Sekolah Sukma Bangsa Bireuen. Mahasiswa S3 Fakultas Pendidikan dan Budaya, Universitas Tampere, Finlandia.
Cuaca musim dingin sore itu membuat saya enggan untuk keluar dan memilih untuk bercengkerama dengan Venla, rekan mahasiswa PhD di fakultas pendidikan. Ternyata sebelum menjadi mahasiswa PhD, Venla adalah guru TK di sebuah sekolah di Tampere. Dia ini bukan guru TK biasa lho, dia mengajar anak-anak TK di hutan. Saya jadi bertanya-tanya, apakah Venla ini seperti Butet Manurung dengan Sekolah Rimba-nya?
Ternyata, ada filosofi yang mungkin hampir sama mendasari pendekatan Venla dan Butet, keduanya sama-sama mengajarkan anak-anak di alam terbuka dan sebanyak mungkin menggunakan benda-benda yang ada di alam sebagai bahan ajar mereka. Bedanya, Venla tidak mengajar di masyarakat yang nomaden seperti Butet, tapi mengajar anak-anak yang terdaftar di TK biasa, namun menyediakan kelas khusus yang disebut dengan Metsäryhmä (forest group).
Di Finlandia, area hutan memang biasanya ada di sekitar perumahan, meskipun tidak luas, sehingga hutan terdekat menjadi salah satu area favorit warga Finlandia untuk menghabiskan waktu mereka. Dan karena TK biasanya juga terletak dekat dengan perumahan, agar mudah diakses warga, area hutan kecil ini juga biasanya menjadi area belajar anak-anak.
Selain itu, orang Finlandia juga sangat menghargai hutan mereka. Salah satu hak dasar bagi warga Finlandia adalah ‘the right to roam’ atau mengembara di hutan. Sehingga hiking di taman nasional menjadi salah satu kegiatan yang banyak dilakukan oleh warganya.
Gerakan belajar di hutan untuk siswa TK sudah mulai banyak dilakukan di Finlandia sejak sepuluh tahun terakhir. Biasanya guru yang tertarik untuk mengajar di hutan mengajukan usulan tersebut ke kepala sekolah dan jika diizinkan, mereka mulai membuat kelompok khusus.
Keberadaan kelompok khusus ini kemudian disosialisasikan kepada orang tua dan siswa, dan mereka yang tertarik boleh mendaftar. Biasanya ada sekitar 20 anak yang ada di dalam satu kelompok didampingi oleh dua orang guru.
Bagaimana proses belajar di hutan ini terjadi? Venla bercerita pengalaman kesehariannya mengajar anak-anak usia 5 tahun. Mereka biasanya belajar dari pukul 9.00 pagi hingga 13.00 siang.
Pada jam 9.00 pagi, mereka akan pergi ke hutan terdekat dengan sekolah mereka. Jika sekolah memiliki fasilitas pondok kecil di hutan tersebut, beberapa peralatan sederhana bisa disimpan disitu, seperti peralatan tulis, kursi kecil dan perlengkapan P3K.
Kegiatan dimulai dengan morning circle, anak-anak akan duduk melingkar di kursi kecil yang ada dan mereka akan menyanyi, bercerita atau kegiatan lain yang sudah dirancang oleh guru. Kemudian mereka mulai belajar, bisa jadi mereka belajar berhitung, membaca, seni, olahraga dan lainnya. Dan semua kegiatan ini akan dilakukan dengan menggunakan bahan ajar yang ada di sekitar mereka ataupun mengkombinasikan dengan bahan ajar yang disiapkan oleh guru sebelumnya.
Kurikulum yang digunakan oleh kelompok ini sama dengan kelas reguler. Bedanya, guru-guru yang mengajar di kelompok hutan harus menyesuaikan dengan kondisi kelas di hutan dan bahan ajar yang tersedia disitu.
Venla juga mendorong anak-anak untuk menggunakan imajinasi mereka. Misalnya ketika bercerita, mereka bisa menggunakan batu atau ranting sebagai tokoh ceritanya. Dia juga mempersiapkan bahan ajarnya supaya tahan cuaca.
Contohnya, dia membuat angka 1 sampai 10 di kertas yang dilaminating kemudian anak-anak akan melakukan treasure hunt, berburu ‘harta karun’, yaitu daun kering, kerikil, ranting dan lain sebagainya sesuai angka yang tertera. Setelah jam 11, siswa dan guru akan kembali ke sekolah untuk makan siang dan melakukan kegiatan di dalam ruangan.
Namun mengingat Finlandia adalah negara empat musim di mana musim dinginnya cukup panjang, saya jadi bertanya-tanya, apakah siswa dan guru sanggup di luar ruangan kalau cuacanya terlalu dingin. Menurut Venla, jika cuaca sudah terlalu dingin, mereka akan belajar di dalam ruangan. Nah, ini yang sulit, karena kalau menurut saya, di Finlandia itu dinginnya awet dari Oktober hingga Mei. Kalau saya jadi gurunya, pasti anak-anak akan belajar di dalam terus.
Venla tertawa mendengar komentar saya dan bilang bahwa, orang Finlandia memang tidak bisa mengubah cuaca mereka,tapi mereka bisa menyesuaikan pakaian yang dipakai, sehingga orang tua sudah diwanti-wanti untuk menyiapkan anak-anak mereka sesuai dengan temperatur pada hari tertentu. Dan kadang-kadang mereka juga membuat api unggun dan memanggang makanan seperti sosis dan lainnya ketika hari mulai dingin. Hal ini justru membuat anak-anak menantikan cuaca dingin.
Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan melakukan kegiatan di alam terbuka seperti ini. Anak-anak bebas bergerak dan melakukan eksplorasi tanpa kuatir mengganggu kelas yang lain. Anak-anak juga diajak akrab dengan hutan sehingga alam menjadi bagian yang penting dari kehidupan mereka. Harapannya, mereka akan ikut menjaga alam tersebut hingga dewasa.
Bagi guru, melakukan kegiatan di luar ruangan juga memiliki dampak psikologis positif. Venla misalnya, memang senang berkegiatan di alam terbuka sejak dia kecil dan sering pusing jika terlalu lama berada di dalam ruangan dengan volume suara anak-anak yang tinggi.
Selain itu, belajar juga menjadi kegiatan yang dekat dengan keseharian dan mudah diakses. Dengan beberapa modifikasi, belajar di hutan justru menjadikan alam sebagai ruangan kelas terbuka yang menyenangkan.
Hal ini juga mengingatkan saya akan salah satu saran Peter Gray dalam bukunya Free to Learn (2013): buatlah proses belajar yang mendukung tumbuhnya insting pembelajar alami yang ada di dalam diri anak. Melakukan eksplorasi di alam merupakan proses belajar manusia yang paling mendasar. Belajar sesungguhnya dilakukan untuk kehidupan. Hal ini menjadikan pendekatan Metsäryhmä untuk anak-anak di sekolah TK menjadi wajar dan alami, berdasarkan naluri anak untuk menjelajah dan mengenal lingkungannya.
Namun, Metsäryhmä juga memiliki beberapa aturan dasar, seperti aturan yang terkait dengan keselamatan diri sendiri dan orang lain serta aturan untuk tidak merusak hutan. Contohnya, Venla menerapkan aturan dasar seperti siswa harus selalu dalam jarak pandang guru dan sebaliknya. Jika siswa sudah tidak bisa melihat gurunya, dia harus bisa kembali mendekat. Guru harus sering melakukan penghitungan siswa.
Venla bilang, biasanya anak-anak yang senang berkeliaran terlalu jauh adalah anak yang itu-itu saja. Jadi, dia sudah tahu siapa yang perlu dicari saat melakukan penghitungan ulang. Siswa juga tidak boleh memetik atau mencabut tanaman yang ada. Dan yang pasti, mereka harus mengangkut kembali sampah yang mereka bawa. Prinsipnya, hutan harus bersih setelah mereka belajar disitu.
Bermain sambil belajar di hutan tentu mengasyikan. Apalagi jika hal ini bisa membuat siswa tidak merasa asing dengan alam, belajar untuk menghormati dan menyayanginya sejak dini. Perspektif ini perlu menjadi pertimbangan jika kita ingin generasi berikutnya memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian alam.
Dalam konteks Indonesia dengan alamnya yang terkenal indah dan permai, perlu kiranya para guru mempertimbangkan kegiatan belajar di alam yang membuat anak-anak mengenali dan menyayangi alam kita. Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang.[]