Oleh: Ari J. Palawi
Di sebuah sore (Sabtu, 6 September 2025) di Lhoksukon saya duduk bersama syeh Faizan, utoh Rapa’i Pasee. Obrolan kami sederhana, tidak melulu tentang seni, melainkan tentang kehidupan sehari-hari. Lalu saya melakukan video call dengan kanda Rafly ‘Kande’, mengetahui syeh Faizan juga sahabat baik beliau. Dari balik layar, kanda Rafly berbagi pengalaman panggungnya. Ada kegelisahan yang ia rasakan: seolah-olah ruang bagi perempuan dalam kesenian Aceh kian menyempit, seakan panggung untuk mereka tidak lagi terfasilitasi sebagaimana mestinya.
Kegelisahan ini mengantar kami kepada percakapan yang lebih dalam: mengapa kesenian masyarakat Aceh yang dulu tumbuh subur di dayah, zawiah, rangkang, dan meunasah, kini makin jarang terdengar? Mengapa banyak ruang itu justru digantikan oleh bentuk seni dari latar budaya Arab? Pertanyaan kritis pun muncul: apakah kesenian Aceh itu tidak islami? Syeh Faizan menanggapi dengan tenang, dari sudut pandang ketertiban dan kekhusyukan. Memang, dentuman Rapa’iPasee yang keras dan menggelegar terasa sulit dipadukan dengan rutinitas harian di dayah, tetapi tetap punya tempat terhormat dalam pertunjukan khusus.
Kalau kita jujur, perempuan Aceh tidak pernah absen dalam sejarah seni. Meuseukat adalah salah satu buktinya. Tarian duduk ini dimainkan berkelompok oleh perempuan, dengan syair yang melantunkan do’a, pujian Nabi, atau kisah rakyat. Dalam pesta pernikahan, pelepasan jamaah haji, hingga perayaan hari besar, Meuseukat menjadi ruang ekspresi religius sekaligus sosial. Bentuk awalnya, Ratéb Duek, berakar dari praktik zikir tarekat Sammān’iyah yang kemudian diperkaya dengan gerak dan nyanyian (Raseuki, 1993). Dari situ lahir pula Ratéb Meuseukat, yang lebih kental dengan syair-syair religius, menunjukkan betapa erat kaitannya seni perempuan dengan dakwah Islam (Kartomi, 2011).
Di Aceh Barat dan Selatan ada Pho, tarian berdiri yang dimainkan perempuan. Kadang ia tampil dalam suasana suka, kadang pula dalam suasana duka. Dari Pho lahir malelang, ratapan perempuan dalam konteks kematian, sebuah tradisi ekspresi duka yang sarat nilai spiritual sekaligus sosial (Bowen, 1991). Sementara itu di dataran tinggi Gayo, tumbuh Bines, dimainkan oleh perempuan dengan syair khas Gayo, menjadi bukti bahwa setiap wilayah Aceh memiliki ragam estetika perempuan yang berakar pada tradisi Islam. Bahkan Seudati yang selama ini dikenal maskulin pun memiliki bentuk Seudati Inong, meski jarang mendapat sorotan sebesar Seudati Agam (Raseuki, 1993).
Semua ini memperlihatkan bahwa seni perempuan bukan penyimpangan. Ia adalah bagian integral dari tradisi Aceh. Dan lebih jauh lagi, ia menunjukkan kemampuan Islam di Aceh untuk berakulturasi. Sejarah panjang Nusantara membuktikan bahwa seni sudah ada sejak prasejarah—nyanyian, musik bambu, dan tari ritual dalam konteks animisme. Masa Hindu-Buddha memberi warna baru. Lalu Islam datang sejak abad ke-13, tidak menghapus tradisi, melainkan memeluk dan mengislamkannya. Dari praktik zikir lahirlah Ratéb Duek. Dari syair-syair dakwah lahirlah meuseukat. Rapai digunakan sebagai pengiring zikir dan hikayat (Kartomi, 2012).
Sastra pun ikut meneguhkan ini. Hikayat Prang Sabi adalah contoh paling terkenal, karya besar Teungku Chik Haji Muhammad Pante Kulu: puisi religius yang membakar semangat jihad melawan kolonialisme Belanda (Ricklefs, 2001). Syair, hikayat, dan panton menjadi bagian dari keseharian, menunjukkan bagaimana seni dan Islam menyatu dalam politik, budaya, dan spiritualitas Aceh. Nyak Ina Raseuki menegaskan bahwa Seudati atau Meuseukat bukan ritual ibadah, melainkan ekspresi iman yang tumbuh bersama adat, sebagai bagian dari cara orang Aceh merayakan keislamannya dengan estetika (Raseuki, 1993).
Namun, kita tidak bisa menutup mata. Jalur pendidikan tradisional yang dulu menjadi tempat suburnya seni—dayah, zawiah, rangkang, meunasah—kini banyak kehilangan fungsi kulturalnya. Di sekolah formal, kurikulum sering lebih menekankan musik Eropa daripada Rapa’i atau Meuseukat. Padahal pendidikan adalah jalur paling efektif untuk regenerasi. Tanpa itu, tradisi hanya akan hidup sesekali dalam festival, tanpa basis yang kuat di masyarakat. Margaret Kartomi mengingatkan: tradisi tidak hilang, ia berevolusi. Tetapi tanpa regenerasi yang terfasilitasi, evolusi itu bisa berakhir sebagai kepunahan (Kartomi, 2011).
Karena itu, ada dua prinsip yang patut kita pegang. Pertama, jangan terburu-buru menilai bahwa perempuan tidak boleh berkesenian. Kehati-hatian boleh ada, tetapi sifatnya pada tata cara dan konteks, bukan larangan mutlak. Kedua, jangan pernah berhenti mengajarkan tradisi seni masyarakat Aceh di jalur pendidikan formal, informal, maupun non-formal. Di sekolah rakyat, di sekolah umum, di kursus seni, di rumah-rumah sanggar, tradisi harus terus diajarkan, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Itulah jalan paling konkret untuk memastikan seni tidak berhenti pada generasi kita.
Tradisi Berkesenian Masyarakat di Aceh harus kita pandang sebagai sebuah orkestra besar yang penuh warna. Ada dentuman Rapa’i Pasee yang mengguncang dada, liar sekaligus sakral, menuntut ruang panggungnya sendiri. Ia mungkin tidak dapat menyatu dengan ketenangan keseharian dayah, tetapi tetap layak dimuliakan dalam pentas besar. Namun, jangan sampai perhatian kita hanya berhenti pada rapa’i semata. Ada Meuseukat dengan syair yang lembut, Phoyang tegak penuh ekspresi, Malelang yang menyuarakan duka, Bines yang memantulkan keindahan dataran tinggi, dan Seudati Inong yang tak kalah berwibawa. Semua tradisi perempuan itu sama-sama besar, sama-sama Islami, sama-sama bermakna. Bersama rapa’i dan Seudati, mereka membentuk wajah Aceh yang utuh—keras dan lembut, tegas dan indah, religius dan artistik. Menjaga mereka berarti menjaga jati diri, merawat Islam yang ramah, dan memelihara kebanggaan kita sendiri. []
Tentang Penulis:
Ari Palawi, S.Sn., M.A., Ph.D. Lahir, bernyanyi dan belajar hingga SMA di Banda Aceh. Lalu menekuni gitar klasik, musikologi dan etnomusikologi, serta kajian budaya Asia di ISI Yogyakarta, University of Hawai’i at Manoa, dan Monash University. Saat ini mengajar di Universitas Sumatera Utara dan Universitas Syiah Kuala.