Oleh: Muzakkir Syamaun.
Guru SMA Negeri Ulumul Quran, Pidie.
Beberapa hari terakhir kita dihebohkan dengan berbagai kejadian aneh yang terjadi disekeliling kita, mulai dari pemuda yang bermain game sceter di saat pelaksanaan shalat tarawih. Serta ada anak perempuan yang melakukan free jump pada saat sujud dalam shalat tarawih. Pemandangan yang berbeda juga kita jumpai di hampir semua mesjid banyak anak – anak yang datang ke mesjid namun bukan untuk shalat namun mereka datang hanya untuk bermain – main, bahkan mereka disibukkan dengan gajet di dalam kawasan mesjid.
Semua kita merasa terkejut dan sangat menohok perasaan kita dengan kejadian di salah satu cafe di kawasan Peunayong yang melecehkan kemuliaan bulan Ramadhan dengan mengadakan konser musik dan dibarengi dengan goyangan para penonton pada malam ramadan. Kejadian yang juga mengejutkan semua kalangan adalah tertangkapnya anggota dewan terhormat dengan kasus kepemilikan sabu – sabu. Banyak rentetan kejadian lain yang sungguh memilukkan kita jika kita membuka media di setiap hari.
Untuk menyelesaikan masalah ini, tidak bisa satu pihak menyudutkan pihak lain atau bahkan menyalahkan pihak tertentu karena permasalahan ini sudah sangat komplek. Setiap kita memiliki peranan penting dalam menyikapi permasalahan ini, dengan porsi yang berbeda – beda sesuai dengan latar belakang dan dunia masing – masing.
Bulan ramadan yang sangat identik dengan bulan Al-Qur’an maka selayaknya semua permasalahan di atas akan selesai jika interaksi inten dengan Al-Qur’an. Rendahnya interaksi dengan Al-quran akan membuat manusia berjalan jauh dari garis yang telah di tentukan. Survey yang dilakukan oleh Yayasan Indonesia Mengaji, Komjen Pol Syafruddin menyampaikan 65 persen dari jumlah penduduk Indonesia beragama Islam tidak bisa membaca Alquran. Artinya hanya ada 35% dari jumlah umat islam indonesia yang mampu membaca Al-Qur’an. Data ini juga didukung oleh data yang dikeluarkan oleh Data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) berbasis rumah tangga yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 menunjukkan, 53,57% warga muslim di Indonesia masih buta aksara atau belum bisa membaca Al-Qur’an. Lemahnya interaksi dengan Al-Qur’an terjadi di lintas generasi, hanya sebagaian kecil dari kita yang memiliki hubungan mesra dengan Al-Qur’an.
Data dan fakta ini seakan berbanding lurus di mana masyarakat yang hidup makin jauh dari Al-Qur’an membuat kejadian aneh akan terus bertambah di lingkungan kita. Orang tua sebagai pioner dalam penyelesaian masalah ini, juga belum mampu mengambil peranan yang optimal bahkan tidak sedikit dari kalangan orang tua yang sudah lupa dengan cara membaca Al-Qur’an. Mereka yang memiliki pendapatan lebih akan mengirim anak – anak mereka ke TPA atau pondok pesantren, seakan permasalahan ini selesai disaat amanah ini dibebankan kepada tangan ustaz dan ustazah serta tengku – tengku di bale pengajian.
Sebahagian besar hari – hari anak negeri akan di habiskan di sekolah, ada yang setengah hari bahkan ada yang penuh seharian di sekolah. Mereka akan menghabiskan waktunya untuk belajar ilmu duniawi saja. Sebagaian besar pengelola pendidikan di nangroe indatu ini lebih mementingkan kemampuan saintis siswa, dengan harapan mampu menjuari kompetensi nasional dan paling kurang bisa menembus perguruan tinggi negri favorit. Mereka lupa akan kewajiban mengarahkan generasi muda kembali berinteraksi dengan Al-Qur’an. Sekolah harus memainkan peranan penting dalam memperkenalkan kembali Al-Qur’an bagi siswa – siswanya. Pendidikan yang hanya menitik beratkan pada kemampuan saintis hanya akan menghasilkan robot – robot yang lincah namun lupa akan kondratnya sebagai makhluk, dan ini telah dibuktikan oleh sistem pendidikan barat yang secara terang benderang menyatakan bahwa pendidikan agama tidak boleh di masukkan dalam kurikulum sekolah.
Setiap sekolah harus mampu menyusun kurikulum secara mandiri untuk mensubstitusikan nilai – nilai keagamaan ke dalam pembelajaran, sehingga anak – anak yang lebih mesra dengan game dari pada lembaran – lembaran Al-Qur’an akan merasakan bahwa ilmu pengetahuan yang mereka pelajari adalah bagian dari pendidikan agama yang wajib mereka ketahui, atau sebaliknya disaat mereka serius dengan konsep Matematika dan fisika maka beraka akan belajar cara bersyukur dan menemukan nilai – nilai ketauhidan. Nilai – nilai karakter yang selama ini diajarkan di sekolah diselipkan dalam setiap langkah dan proses pembelajaran, kedepan untuk meningkatkan interaksi siswa dengan Al-quran maka nilai – nilai keislaman khususnya ilmu Al-quran harus tersurat dalam rancangan pembelajaran, sebagaimana harapan kurikulum Aceh yang pernah di gembar gemborkan.
Guru harus mampu meyakinkan siswa bahwa semua ilmu pengetahuan bersumber dari Al-Qur’an. Pendekatan Al-Qur’an bisa dilakukan dengan cara filosofi dimana guru mengaitkan konsep dasar dari sebuah teori dengan ayat – ayat Al-Qur’an. Pada saat guru Matematika ingin mengajarkan konsep Integral maka kita harus mampu mengaitkan dengan surat Al-Bainah, dimana kedua konsep ini adalah berbicara perhitungan pada level sekecil mungkin. Surat Albaiinah juga bisa dijadikan sumber oleh guru kimia pada saat mengajarkan atom, serta guru biologi pada saat megajarkan sel. Contoh lain yang bisa digunakan dengan pendekatan filosofi adalah konsep Limit yang diajarkan dalam buku Matematika SMA kelas XI harus dikaitkan dengan konsep ijab kabul dalam fiqih, sehingga selain memahami konsep limit siswa juga memiliki pengetahuan tentang ijab kabul dan mereka akan mencoba mencari beberapa ayat tentang ijab kabul dala Al-Qur’an.
Cara kedua yang langsung bisa digunakan adalah pendekatan Materi. Pembelajaran Fisika, Kimia, Biologi, Sosiologi adalah pelajaran yang hampir semua konsepnya bisa kita temukan secara kasad mata dalam Al-Qur’an. Seorang guru biologi yang ingin mengajarkan konsep terjadinya manusia maka, mereka harus memuli dengan menghafal surat Al-Mukminun ayat 12 – 14. Bagi guru kimia yang ingi mengajarkan konsep besi maka anak – anak diharuskan mampu menguasai surat Anbiya ayat 80. Bagi guru matematika yang ingin memperkenalkan konsep pecahan maka anak – anak diarahkan untuk membuka Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 11.
Pembelajaran dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai referensi utama akan mampu meningkatkan interaksi harmonis antara siswa dengan Al-Qur’an, sehingga peranan sekolah untuk melahirkan siswa yang seimbang antara dunia dan akhirat akan terselesaikan. Pembelajaran dengan melibatkan Al-Qur’an secara langsung akan mampu mendekatkan generasi milenial dengan harapan semua kalangan. Dan pada akhirnya akan menjadikan mereka manusia – manusia yang mampu menjadi harapan agama dan bangsa. Masing – masing kita harus mampu memainkan peranan maksimal dalam pembentukan generasi emas generasi yang mampu menguasai pengetahuan dunia dan tidak melupakan pegetahuan agama. Pembelajaran ini diharapkan akan mampu melahirka ekonom yang taat, insiyur yang takut neraka, dokter yang alim serta yang paling penting adalah generasi cinta Al-Qur’an yang mampu bersaing dalam perkembangan dunia.[]