Oleh: Galuh Tirta Juan Farera
Di balik dinginnya malam di dataran tinggi Gayo, ada kehangatan yang tak tergantikan dan selalu menjadi aktivitas rutin masyarakat Gayo. Tradisi muniru bukan hanya tentang kebiasaan tapi sudah menjadi tradisi masyarakat Gayo. Bayangkan, ketika angin malam menusuk tulang dan udara mencapai suhu yang membuat jaket tebal pun terasa kurang, masyarakat Gayo berkumpul mengelilingi api unggun kecil. Api itu bukan sekadar untuk mengusir dingin, tapi juga menjadi pusat cerita, tawa, dan canda di antara teman dan keluarga. Di sini, suara seruput kopi arabika hangat berpadu dengan nyanyian api yang menari, membawa keakraban dan kehangatan batin yang melampaui dinginnya malam.
Muniru bukan sekadar kebiasaan, tetapi sebuah ritual budaya yang menyatukan mereka dalam kebersamaan. Di sekitar api, cerita masa lalu dan harapan masa depan mengalir tanpa henti, sementara rasa dingin perlahan tersapu oleh panasnya persaudaraan. Inilah Gayo, tempat tradisi dan alam bertemu dalam simfoni hangat yang memikat siapa saja yang mengalaminya.
Tradisi yang tetap terjaga
Secara budaya, muniru memiliki makna mendalam sebagai simbol keseimbangan antara kerasnya iklim pegunungan dan kehangatan hubungan kemanusiaan. Tradisi ini lahir dari kearifan lokal yang mengajarkan pentingnya saling menopang dalam komunitas, menghadapi dingin dengan persaudaraan dan kehangatan api bersama. Lantas, apa yang membuat tradisi ini masih bertahan sampai saat ini? banyak faktor tentunya kenapa hal ini masih bertahan, mulai dari kebiasaan yang turun temurun, ketika orang orang dewasa berkumpul, remaja dan anak anak juga ikut dalam hangat nya muniru itu, sehingga kegiatan itu terus berlanjut dan berlanjut, dari generasi hingga ke generasi.
Di era modern sekarang, meskipun terjadi perubahan gaya hidup dan teknologi, tradisi muniru masih dipelihara. Banyak komunitas dan keluarga yang menjaga tradisi berkumpul di sekitar api sebagai simbol pelestarian budaya dan identitas. Pemerintah daerah pun mendukung dengan mengadakan kegiatan sosial dan budaya yang mengangkat tradisi ini sebagai warisan budaya yang harus dipertahankan.
Muniru menjadi representasi kehangatan yang tidak hanya menetralkan cuaca dingin tetapi juga menghangatkan rasa kebersamaan, solidaritas, dan semangat komunitas masyarakat Gayo. Tradisi ini menjadi perwujudan nyata bagaimana budaya lokal bisa membuat kehidupan sosial lebih kaya dan bermakna, sekaligus menjaga akar budaya di tengah derasnya arus modernisasi.
Dengan demikian, muniru bukan sekadar tradisi fisik, tapi ritual yang menghidupkan keakraban dan menjaga harmoni sosial masyarakat Gayo, menjadikannya warisan budaya yang pantas untuk dikagumi dan dilestarikan.
Api unggun dan aroma kopi
Tak lengkap rasanya muniru jika tidak di temani secangkir kopi Gayo yang jika di seduh, aroma nya itu semerbak sampai ke rumah tetangga. Masyarakat Gayo dan kopi memang tidak bisa di pisahkan, menurut saya jika tidak ngopi ya bukan orang Gayo. Walaupun memang tidak semua orang Gayo itu suka ngopi sih. Tapi hampir 90% masyarakt Gayo itu ngopi, walaupun tidak ada data spesifik yang menyebutkan persentase pasti berapa orang suku Gayo yang minum kopi secara langsung tetapi Survei GoodStats (2024) menyebutkan sebanyak 40% responden di Indonesia minum dua gelas kopi per hari, yang mengindikasikan bahwa konsumsi kopi sangat tinggi di Indonesia, termasuk di daerah penghasil kopi seperti Gayo.
Aroma kopi Gayo yang harum memenuhi udara sekitar api unggun menjadikan tradisi ini semakin kaya dan nikmat. Kopi Gayo, yang dikenal dengan rasa khas dan kualitas premium, menjadi teman setia saat berkumpul di sekitar api. Penyajian dan penyeruputan kopi hangat menjadi ritual penting yang melengkapi kebersamaan tersebut. Aroma kopi ini mengundang rasa nyaman dan suasana santai, menambah keakraban antar individu dalam kelompok.
Relevansi kedua elemen ini juga tampak dalam simbolisme dan fungsi sosialnya. Api unggun dan kopi Gayo bukan sekadar kebutuhan jasmani, melainkan medium komunikasi budaya yang menggiatkan rasa kebersamaan. Tradisi muniru dan minum kopi bersama menjadi wadah untuk menguatkan solidaritas, sekaligus media pelestarian budaya dan identitas komunitas Gayo. Di tengah derasnya perubahan zaman dan modernisasi, tradisi ini menjadi jangkar yang menahan hubungan sosial agar tetap kuat.
Simbolisme dan fungsi sosial
Secara simbolis, api unggun dalam muniru melambangkan kehangatan fisik sekaligus kehangatan hubungan sosial antarindividu. Api yang menyala bukan hanya untuk mengusir dingin, tetapi menjadi titik fokus yang mengikat tali persaudaraan dan keakraban. Dalam budaya Gayo, api unggun adalah lambang kehidupan dan harapan yang menerangi kegelapan malam, mencerminkan keseimbangan antara alam dan manusia. Kehadiran api ungung memberikan energi dan rasa nyaman, yang dirasakan sebagai ruang aman untuk berbagi cerita, pengalaman, serta menyemai rasa solidaritas.
Secara sosial, fungsi muniru sangat luas. Tradisi ini menjadi momen berkumpul keluarga, tetangga, dan komunitas untuk berdiskusi, bertukar informasi, bahkan menyelesaikan masalah bersama. Muniru adalah forum informal yang memperkuat jaringan sosial dan komunikasi interpersonal di masyarakat Gayo, yang sangat penting dalam menjaga kohesi sosial di tengah berbagai perubahan sosial dan modernisasi. Ini juga menjadi waktu relaksasi dan hiburan sederhana, saat orang menikmati kopi Gayo, makanan panggang seperti ubi, dan kadang sambil menyundut tembakau, menciptakan suasana santai dan akrab.
Perubahan sosial dan ekonomi
Secara sosial, perubahan besar terjadi akibat globalisasi, modernisasi, dan pergeseran nilai-nilai budaya. Generasi muda Gayo kini lebih banyak terpapar dengan budaya luar melalui pendidikan, media sosial, dan teknologi komunikasi. Hal ini menyebabkan adanya pergeseran dalam pola interaksi sosial tradisional yang sebelumnya erat dengan tradisi muniru. Banyak anak muda yang kini memilih menghabiskan waktu dengan gadget atau berkumpul di warung kopi modern dibandingkan berkumpul di sekitar api unggun tradisional. Selanjutnya, pola hidup yang lebih individualistis mulai muncul, menggantikan nilai gotong royong dan kebersamaan yang lama terjaga.
Perubahan ekonomi juga memberikan dampak signifikan terhadap pelaksanaan tradisi muniru. Banyak keluarga Gayo yang mengalami perubahan mata pencaharian dari pertanian tradisional ke pekerjaan di sektor lain atau bahkan migrasi ke kota-kota besar demi mencari penghidupan yang lebih baik. Waktu dan ruang untuk berkumpul lama di sekitar api unggun pun menjadi berkurang. Selain itu, pembangunan infrastruktur dan gaya hidup baru membawa perubahan pada pola konsumsi, misalnya kopi Gayo kini tidak hanya dinikmati secara tradisional tapi juga dalam bentuk produk modern yang dipasarkan luas.
Meski demikian, tradisi muniru masih berperan sebagai alat sosial penting untuk menjaga ikatan komunitas, meski tampil dengan adaptasi baru. Di beberapa desa, tradisi ini difasilitasi dalam bentuk kegiatan komunitas yang lebih terstruktur, seperti malam kebudayaan atau festival kopi Gayo yang menggabungkan aktivitas muniru dengan hiburan modern. Dalam konteks ini, muniru bukan hanya menjadi kebiasaan menghangatkan badan, tetapi juga sarana penguatan identitas budaya dan solidaritas sosial di tengah arus perubahan. Penting pula untuk mencatat bahwa kesadaran akan pentingnya pelestarian budaya masih tinggi, terutama dari kalangan tokoh adat dan pemerhati budaya. Mereka berupaya mengadakan dialog antar generasi dan kampanye budaya yang mengajak generasi muda untuk menghidupkan kembali tradisi muniru dengan cara yang relevan dengan zaman.
Kebersamaan yang tak padam dalam api muniru
Tradisi muniru, yang mengayomi masyarakat Gayo dengan kehangatan api unggun dan keramahan suasana bersama, lebih dari sekadar ritual mengusir dingin. Ia adalah cerminan dari harmoni antara manusia, alam, dan budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun. Tradisi ini menjadi simbol persatuan, solidaritas, dan identitas khas yang melekat dalam kehidupan sosial masyarakat Gayo. Di balik nyala api dan aroma kopi, tersembunyi nilai-nilai luhur seperti gotong royong, musyawarah, dan rasa saling menghargai yang menjadi perekat kehidupan bermasyarakat.
Refleksi terhadap tradisi muniru mengajak kita menyadari pentingnya melestarikan warisan budaya agar tak hilang oleh derasnya arus modernisasi. Muniru mengingatkan bahwa kebahagiaan dan kehangatan sejati tak hanya datang dari barang mewah atau teknologi, tapi dari kebersamaan dan komunikasi antar manusia yang tulus. Di era digital ini, tradisi seperti muniru perlu ditemukan kembali makna dan bentuknya agar tetap relevan bagi generasi sekarang tanpa kehilangan esensinya.
Pelestarian muniru tak hanya tanggung jawab masyarakat Gayo, tetapi juga menjadi bagian dari kekayaan budaya bangsa yang harus dihargai dan dijaga. Melalui muniru, kita belajar bahwa budaya bukan hal yang statis, melainkan hidup dan bisa beradaptasi sekaligus menguatkan akar identitas dalam menghadapi perubahan zaman.
Dengan terbuka menerima perubahan namun tetap setia memegang nilai-nilai inti, tradisi muniru dapat terus menjadi sumber kebahagiaan, kehangatan hati, dan ikatan sosial yang kuat untuk masyarakat Gayo, masa kini dan generasi mendatang. []
Tentang Penulis
Galuh Tirta Juan Farera adalah mahasiswa Pendidikan Seni di Universitas Syiah Kuala yang dikenal penuh semangat dan ceria. Ia memiliki ketertarikan kuat pada dunia seni dan budaya, khususnya musik dan tarik suara, yang menjadi ruang ekspresi sekaligus refleksi emosional baginya. Terbuka pada pengalaman dan eksplorasi kreatif, Galuh meyakini bahwa seni bukan sekadar hiburan, melainkan medium untuk memahami dunia dan membangun jembatan antarbudaya.
Editor:
Ari J. Palawi