SAGOETV | BANDA ACEH – Penceramah halaqah dan kajian subuh, Drs. Tgk, H Ameer Hamzah, M.Si menjelaskan bahwa bulan suci Ramadhan memiliki keutamaan yang luar biasa bagi umat Islam. Salah satunya adalah peristiwa Nuzulul Qur’an, yakni turunnya Al-Qur’an dari Lauh Mahfuz di Sidratul Muntaha ke langit dunia, sebelum kemudian diwahyukan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah Muhammad SAW selama 22 tahun, 2 bulan, dan 22 hari sesuai dengan kebutuhan umat Islam.
Dalam halaqah itu, Tgk. H. Ameer, Pakar Sejarah Islam Nusantara menyebutkan Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang tetap terjaga keasliannya dari campur tangan manusia. Naskah Al-Qur’an yang digunakan di Aceh sama dengan yang digunakan oleh seluruh umat Islam di dunia, termasuk di Iran yang mayoritas bermazhab Syiah. “Meskipun terdapat perbedaan dalam tafsir antara Syiah dan Ahlusunah Wal Jamaah, teks Al-Qur’an tetap sama tanpa perubahan,” paparnya dalam ceramah subuh, Kamis, (13/03/2025) di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Ia menerangkan bahwa sejarah mencatat bahwa Islam pertama kali berkembang di Nusantara melalui Aceh. Al-Qur’an diyakini masuk ke Aceh seiring dengan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam, seperti Kerajaan Perlak, Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan Islam Samarlanga, Kerajaan Islam Pidie, dan Kerajaan Islam Aceh Darussalam. Peran kerajaan-kerajaan ini sangat besar dalam penyebaran Islam, termasuk dalam pembelajaran Al-Qur’an.
Terdapat pula kisah tentang Malikus Saleh, raja pertama Samudera Pasai, yang dalam hikayat disebut menerima Islam setelah bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Dalam mimpi tersebut, ia dikisahkan menerima air liur Rasulullah dan langsung mampu menghafal 30 juz Al-Qur’an. Namun, secara historis, ulama dan sejarawan lebih cenderung menyatakan bahwa penyebaran Islam di Nusantara terjadi melalui proses pembelajaran Al-Qur’an secara bertahap, termasuk dengan mempelajari huruf hijaiyah dan ilmu tajwid,” ungkapnya.
Lebih lanjut, keistimewaan Aceh dalam dunia Islam juga terlihat dari peran besar ulama-ulamanya. Salah satunya adalah Syekh Abdul Rauf As-Singkili, seorang ulama besar Aceh yang juga dikenal dengan gelar Syekh Kuala. Ia merupakan Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman di era Ratu Safiatuddin Syah dan menulis tafsir Baidawi dalam bahasa Melayu yang kemudian dikenal sebagai Tarjuman al-Mustafid. Tafsir ini menjadi rujukan utama di wilayah Nusantara dan telah dicetak di berbagai negara, termasuk Istanbul, Mesir, Lebanon, Kuala Lumpur, dan Indonesia.
Namun, dalam sejarah juga terdapat kekeliruan terkait makam Syekh Kuala. Makam aslinya berada di Banda Aceh, tetapi di Singkil terdapat klaim adanya makam palsu. Majelis Ulama Aceh pada tahun 1970-an telah mengeluarkan fatwa yang menegaskan bahwa makam asli Syekh Kuala berada di Banda Aceh dan menolak klaim di Singkil sebagai makam beliau.
Peran Aceh dalam penyebaran Islam di Nusantara sangat besar. Hingga kini, kajian keislaman dan pendidikan Al-Qur’an terus berkembang. “Ini membuktikan bahwa Aceh tetap menjadi salah satu pusat keilmuan Islam yang berpengaruh di kawasan Melayu dan dunia Islam,” ujarnya. []