Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Dosen UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Esai ini berusaha untuk menampilkan wajah Islam secara keilmuan. Maksudnya, tulisan ini ingin memetakan mengapa Islam tidak pernah berhenti dikaji oleh ummat manusia di muka bumi ini.
Dalam studi ini, saya akan melihat kembali, secara historis dan bibliografis perkembangan keilmuan di dalam Islam. Kendati, Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW pada abad ke-6 Masehi, namun kontribusi keyakinan Islam terhadap peradaban di dunia tidak dapat diragukan lagi. Untuk itu, telaah singkat ini berupaya untuk menampilkan bagaimana lintasan sejarah keilmuan Islam, sejak kedatangan Rasul hingga abad ke-21 M ini. Dengan kata lain, studi ini bukanlah melakukan penilaian ulang terhadap Islam, tetapi ingin menampilkan Islam “sebagaimana apa adanya” di dalam konteks keilmuan.
Untuk memudahkan pemahaman saya terhadap Studi Islam, saya mencoba memilih dan memilah topik-topik yang dihasilkan dalam lintasan keilmuan Islam, yaitu al-Qur’an, Sunnah, Fiqh, Tasawwuf, Filsafat dan Logika, Ilmu-ilmu lainya yang muncul di dalam tradisi ilmu di Arab. Konsep ilmu menjadi titik poin sentral di dalam memahami tradisi dan pemikiran Islam. Untuk itu, upaya ini ingin mengajak para pembaca untuk mendalami dan memahami bagaimana konsep dan sejarah pemikiran di dalam Islam, yang telah mempengaruhi cara pandang ummat manusia, selama 13 abad lebih. Harus diakui bahwa para sarjana, baik yang berkeyakinan Islam ataupun non-Islam, selalu tertarik untuk membedah Islam dari kemunculan hingga era modern. Sampai buku ini ditulis, saya tidak begitu paham mengapa para sarjana tertarik untuk menjelaskan Islam dari A sampai Z.
Sebagai contoh, Fazlur Rahman mencoba menguraikan Islam dalam karyanya yang berjudul Islam. Dalam karya tersebut, Rahman menjelaskan berbagai dimensi mengenai Islam. H.A.R. Gibb juga melakukan hal serupa ketika menjelaskan Islam dengan judul Mohammadenism. Karya lain yang menjelaskan secara komprehensif mengenai Islam adalah Carl Brockelmann dalam karyanya yang berjudul History of the Islamic Peoples. Dalam sampul buku ini ditulis:”The first one-volume history in English giving the story of all the Islamic states and peoples from the beginning to the present day.” Di samping itu, ada juga karya Marshall G.S. Hodgson yang terdiri dari 3 volume, yang mengkaji Islam, sejak masa awal, hingga abad ke-19 M. Karya-karya, para sarjana di Barat, baik yang Muslim, maupun yang non-Muslim, cenderung ingin menampilkan Islam dalam satu panggung sejarah, berikut dengan dialektika yang terjadi di dalamnya. Misalnya, kemunculan berbagai ensiklopedi yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit di Barat, juga memiliki kontribusi penting di dalam memahami Islam. Semua upaya ini, menyiratkan bahwa betapa penting pemahaman terhadap Islam dan Muslim.
Penjelajahan literatur mengenai studi Islam memang tidak pernah selesai dilakukan oleh saya. Karena itu, sejak menempuh S-1 (1996), hingga tahun 2015, dimana sudah hampir 20 tahun, proses penjelajahan terhadap karya-karya dalam studi Islam, terus dilakukan. Di sini, karya yang dikumpulkan, masih sebatas berbahasa Indonesia, Inggris, dan Arab. Semua karya tersebut, menunjukkan betapa luas cakupan bidang ilmu yang terkait dengan studi Islam dan Muslim. Di sini dapat dinyatakan bahwa karya-karya mengenai topik ini masih terus berkembang, seiring dengan perkembangan zaman. Akan tetapi, uniknya, semakin banyak karya mengenai Islam dan Muslim, konflik di kawasan Muslim, khususnya Timur Tengah, tidak pernah padam. Hal inilah yang mengundang tanda tanya, mengapa studi Islam dan studi Muslim, tidak membantu pembangunan perdamaian di kawasan Muslim sendiri?
Mencari jawaban terhadap pertanyaan di atas, tentu saja, seolah-olah ingin mencari titik hubung, antara studi Islam dengan keadaan ummat Islam dewasa ini. Para sarjana non-Muslim, seperti Bernard Lewis, mencoba menguraikan bahwa Islam tidak sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga perilaku keberislaman, merusak tatanan perdamaian dunia. Sementara itu, ada juga sarjana yang mengatakan bahwa adanya kegagalan politik Islam di dalam konteks kontemporer. Tesis ini disampaikan oleh Olivier Roy dalam beberapa karyanya. Demikian juga, pandangan yang mengatakan bagaimana bentuk tatanan dunia, jika Islam tidak wujud pada abad ke-6 M. Tesis yang paling kritikal adalah pandangan yang menyebutkan Islam sebagai ancaman dunia, seperti yang diutarakan oleh Samuel P. Huntington. Hampir semua pandangan tersebut, ingin mengatakan bahwa Islam dipandang sebagai “masalah” di dalam tatanan dunia secara global. Oleh karena itu, saya pun sering bertanya, apakah pandangan-pandangan tersebut menjadi basis argumen untuk terus melaksanakan berbagai kekacauan di kawasan Timur Tengah.
Sejak 1924, kekhalifahan Turki Ustmani runtuh. Saat itu, dunia memasuki era modernisasi atau Westernisasi. Jarak antara kelahiran Rasulullah dengan keruntuhan Kekhalifahan Islam terjadi dalam rentang waktu 1353 tahun atau tepatnya 13 abad setengah. Sejak, keruntuhan kekhalifahan Islam, berbagai upaya dilakukan untuk membangkitkan kembali Islam ke permukaan. Namun, tidak boleh menjadi salah satu poros utama kekuatan dunia. Sehingga, saat Islam jatuh, yang muncul adalah gerakan-gerakan Islam, yang mencoba merespon bagaimana membangkitkan kembali Islam. Jarak antara kebangkitan Barat melalui Era Pencerahan dengan keruntuhan Khilafah Islamiyyah adalah sekitar 2 abad lebih. Artinya, sejak Era Pencerahan hingga kejatuhan Islam, Barat melakukan proses okupasi ke seluruh penjuru dunia Muslim, tidak terkecuali ke Indonesia. Jika dihitung, kekuatan Barat di dalam “menguasai” dunia hari ini, sudah berjalan hampir 4 abad lebih. Dalam rentang waktu itulah, Islam dan Muslim telah dijadikan sebagai objek, bukan sebagai subjek. Adapun jarak antara kejatuhan khilafat Islam dengan tahun 2015 adalah sekitar 91 tahun.
Ada satu karakteristik di dalam rentang waktu 90 tahun yaitu: Pertama, kebangkitan spirit Yahudi, yang ditandai dengan kemunculan protokol Zionisme, yang kemudian telah berhasil memproduksi suatu paradigma peradaban dunia dari kalangan penganut Yahudi. Puncak keberhasilan Yahudi adalah ketika mengubah jatidiri mereka untuk salin menjadi “Barat” dan mendirikan negara Israel di Palestina. Peristiwa ini menandakan bahwa ada konflik yang diputar di dalam sejarah dunia, yaitu, yang pada awalnya, kekacauan terjadi antara Kristen dengan Islam, telah ditukar menjadi Islam versus Yahudi. Kedua, kekuatan Islam tidak lagi mampu dijadikan sebagai suatu poros kekuatan dunia, yang dimotori oleh negara-negara di Timur Tengah. Ketika Islam jatuh pada era kekhalifahan Turki Ustmani, salah satu ideologi yang dibangkitkan adalah ideologi komunis, yang kemudian berkembang di kawasan Russia. Kemunculan ideologi komunis ini, hampir bersamaan dengan keinginan Hitler untuk menghapus ras bangsa Yahudi di Eropa. Sejak saat itu, Yahudi berhasil menyalin diri menjadi Barat, dan terdepan di dalam memproduksi ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Tidak mengejutkan jika kemudian, para ahli-ahli rekayasa sosial yang dikenal secara internasional, merupakan sebagiannya berafiliasi pada keyakinan Yahudi. Di sini yang ditukar kemudian adalah Barat diperhadapkan dengan Islam, bukan model perilaku Hitler terhadap Yahudi.
Kemunculan kesadaran Yahudi di dalam sejarah Barat di dalam satu abad terakhir, memperlihatkan bagaimana Islam menjadi ancaman. Di sini, keyakinan Kristen-Eropa diamankan dan diaminkan di Vatikan dengan pemunculan tokoh spiritual, yang dikenal dengan Paus. Paling tidak, ada usaha keras kemudian untuk melakukan perbandingan religi, untuk saling menghormati, antara Islam dengan Kristen, namun jarang diusahakan antara Islam dan Yahudi. Proses re-struksturisasi order dunia ini berjalan, dengan menjadikan Islam sebagai objek, dimana merupakan warisan dari studi ketimuran, yang dikenal dengan istilah orientalisme. Sebagai contoh, upaya untuk mengkritik Barat yang sangat disegani, dilakukan oleh Edward Said, yang nota bene, bukan berkeyakinan Islam. Dia sesungguhnya, ingin melakukan kritik terhadap upaya Barat di dalam memperlakukan ketimuran. Namun, karya Said tidak menjadi landasan utama di dalam memperlakukan Islam dan Muslim di Timur Tengah.
Karena itu, studi orientalisme dan studi Islam dan Muslim, menjadi suatu ranah reproduksi keilmuan yang dilakukan untuk terus menerus memahami Islam. Dengan kata lain, pengetahuan tentang Islam, lantas dihasilkan oleh non-Islam, yang kemudian dijadikan sebagai standar baru pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam, khususnya di Barat. Seyyed Hossein Nasr, misalnya, melakukan studi, terhadap beberapa orientalis yang berjasa di dalam menampilkan wilayah spiritual Islam. Hal ini tentu saja telah menuai rasa simpatik terhadap Islam, dimana ada beberapa orientalis yang memeluk Islam, karena perjalanan spiritual dan intelektualnya. Salah seorang orientalis, yang paling disegani dalam studi sufisme, misalnya Louis Massignon dan Henry Corbin. Sampai di sini, beberapa pemikir Sufisme dalam Islam, cenderung dikaji dan ditelaah karya sarjana non-Islam, untuk diperkenalkan kepada dunia Barat. Namun, studi terhadap ‘ulama-‘ulama yang dipandang memberikan kontribusi gerakan-gerakan Islam garis keras, cenderung tidak “dilepas” begitu saja, sampai diberikan “catatan-catatan” mengenai dampak pemikiran tersebut, di dalam dunia Islam. Karena itu, studi terhadap Ibn Taymiyyah dan Abdul Wahhab, cenderung digiring pada studi gerakan Islam, untuk membuktikan bahwa ada dasar-dasar mengenai menggunakan kekerasan di dalam Islam.
Dalam hal ini, tentu saja bukanlah ingin mengkaji seluruh aspek dari hasil karya para sarjana mengenai Islam dan Muslim, melainkan untuk melihat bagaimana cakupan studi Islam yang amat luas. Untuk itu, di dalam karya ini, saya akan mengandaikan “Islam sebagai …”. Dalam bahasa Inggris, “Islam as …” Sejauh ini, hampir semua sarjana telah mencoba menguraikan Islam dari berbagai sisi. Ada yang tertarik mengupasnya dari sisi sejarah, muncullah istilah Sejarah Islam. Ada juga yang berminat melihat sisi gerakan, tidak mengejutkan ketika timbul istilah Gerakan Islam. Karena itu, konsep “Islam sebagai …” adalah Islam yang telah mengalami proses penalaran oleh manusia, yang merupakan salah satu keyakinan dari tradisi keyakinan Nabi Ibrahim. Di dalam konteks ini, Islam mampu mencakup semua aspek kehidupan, melalui petunjuk yang dimaktubkan di dalam al-Qur’an. Adapun perilaku yang terstandarisasi adalah apa yang telah dipraktikkan oleh Rasulullah SAW di dalam Sunnah-nya. Inilah salah satu kelebihan Islam, dimana walaupun di sudut tersembunyi di muka bumi ini, mereka tetap berpandukan pada apa yang tertulis di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Kedua sumber ini mesti dibaca di dalam konteks kebahasaan, yaitu bahasa Arab. Sehingga, konsep Islam sebagai din, bukan sebagai agama. Karena istilah ‘agama’ bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan tradisi keyakinan Hindu.[]