SAGOETV | BANDA ACEH – Islam mengajarkan kita untuk bangun lebih awal, melaksanakan shalat tahajud, lalu bergegas ke masjid untuk sujud bersama. “Kita juga bersyukur atas kesempatan yang Allah berikan untuk bangun pagi dan menjadi orang yang pertama, the first, bukan hanya the best one—bukan sekadar yang terbaik, tetapi juga yang lebih dulu,” demikian ceramah singkat dari KH. Muhammad Chalil Nafis, Lc., S.Ag., M.A., Ph.D., yang juga merupakan anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Mengawali ceramahnya, ia mengaku datang ke Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh hanya ingin jamaah shalat subuh saja, “Namun, Dr. Muhammad Yasir rupanya mengenali saya, meskipun saya sudah “menyamar”. Karena saya seorang penceramah, akhirnya saya diminta untuk menyampaikan sedikit tausiyah,” kata KH. Muhammad Chalil Nafis, dalam kajian dan Halaqah Subuh, Rabu (5/2/2025).
KH M Chalil Nafis mengatakan kedatangannya ke Banda Aceh kali ini dalam rangka menghadiri acara BPJS Kesehatan Syariah sebagai perwakilan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ada peluncuran buku tentang BPJS Kesehatan Syariah bersama Pj Gubernur Aceh.
Pada kesempatan itu, KH M Chalil mengutip sebuah ayat yang dibaca imam dalam shalat Subuh tentang bulan Ramadan yakni, “Syahru Ramadhāna allażī unzila fīhil-Qur`ānu hudal lin-nāsi wa bayyinātim minal-hudā wal-furqān…” (Al-Baqarah: 185)
Di bulan Syawal ini, ia mengingatkan pada doa Rasulullah SAW, meskipun hadisnya dhaif. Namun, Imam Syafi’i tetap menggunakannya dalam konteks fadha’ilul a’mal (keutamaan amal), bukan sebagai hadis maudhu’ (palsu). Hadis tersebut berbunyi, “Allahumma barik lana fi Rajaba wa Sya’bana wa ballighna Ramadhan.”
Artinya, Rasulullah berdoa agar diberkahi di bulan Rajab dan Sya’ban serta disampaikan kepada bulan Ramadan. Ini menunjukkan betapa Rasulullah mempersiapkan diri menyambut Ramadan.
KH M Chalil menyebutkan juga bahwa Keimanan seseorang bisa diukur dari bagaimana perasaannya saat menyambut bulan Ramadan. Orang yang beriman akan merasa gembira, sementara yang kurang beriman mungkin justru merasa berat. Ada yang mengeluh karena harus menahan lapar dan haus, tetapi bagi orang yang beriman, Ramadan adalah bulan yang penuh kebahagiaan.
Salah satu sunnah Rasulullah jelas KH Chalil adalah memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Rasulullah tidak pernah berpuasa penuh dalam satu bulan kecuali di bulan Ramadan, tetapi di bulan Sya’ban, beliau berpuasa lebih banyak dibanding bulan lainnya, kecuali dua hari menjelang Ramadan. Rasulullah tidak berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadan agar tidak tercampur dengan puasa Ramadan. “Oleh karena itu, kita dianjurkan untuk memperbanyak puasa dan amal saleh di bulan Sya’ban sebagai bentuk persiapan menyambut Ramadan,” ujar Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Jakarta.
Keberkahan Hidup
Lebih lanjut, papar dia keberkahan (barakah) adalah bertambahnya kebaikan. Hanya umat Nabi Muhammad yang diberikan keberkahan berlimpah oleh Allah. Misalnya, shalat lima waktu yang pahalanya setara dengan 50 waktu, atau Lailatul Qadar yang lebih baik dari 1.000 bulan (setara dengan lebih dari 83 tahun ibadah).
Umur umat Nabi Muhammad rata-rata berkisar antara 60–70 tahun, dan sedikit yang mencapai usia lebih dari 70 tahun. Oleh karena itu, jika seseorang berusia lebih dari 70 tahun, itu adalah bonus dari Allah. Maka, kita harus memanfaatkan umur yang singkat ini dengan sebaik-baiknya untuk beribadah dan berbuat kebajikan.
Berbakti Pada Orang Tua
Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan tentang keimanan dan mengajarkan kita untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Allah berfirman, “Wa waṣṣainal-insāna biwālidayhi iḥsānā…” (Al-Ahqaf: 15)
Artinya, setelah beriman kepada Allah, wasiat kedua yang diberikan adalah berbuat baik kepada orang tua. Ihsan (berbuat kebaikan yang lebih dari sekadar kewajiban) kepada orang tua adalah suatu keutamaan yang tidak mudah dicapai.
Dalam transaksi jual beli, misalnya, Abdurrahman bin Auf pernah memberikan contoh ihsan. Saat orang Yahudi menimbang barang dagangan dan sering mengurangi timbangannya, Abdurrahman bin Auf tetap berlaku adil. Namun, ihsan lebih tinggi dari keadilan. Jika seseorang membeli satu kilogram, lalu ditambahkan sedikit oleh penjual, itulah ihsan.
Begitu pula dalam hubungan anak dan orang tua. Orang tua selalu berbuat ihsan kepada anak-anaknya, bahkan saat anak-anak tidak membalas dengan kebaikan. Orang tua tetap memberi, tetap menyayangi, meskipun anaknya sering mengecewakan mereka. Sebaliknya, anak-anak sering kali sulit untuk berbuat ihsan kepada orang tua.
“Allah mengingatkan kita bahwa proses kehamilan dan melahirkan adalah sesuatu yang berat bagi seorang ibu. Al-Qur’an menyebutkan bahwa masa mengandung dan menyapih selama 30 bulan adalah perjuangan yang besar. Oleh karena itu, kita wajib membalas jasa mereka dengan kebaikan dan doa,” ajak KH. Chalil.
Refleksi Syukur
Dalam perjalanan hidup, lanjut dia, terdapat pesan mendalam dalam Al-Qur’an, khususnya terkait dengan usia baligh yang disebut dalam ayat “Hatta balagha asuddahu”. Beberapa ulama berpendapat bahwa usia baligh adalah 18 tahun, sementara yang lain mengatakan 38 tahun. Usia 18 tahun dikaitkan dengan Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq yang saat itu bepergian bersama Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ke Syam. Pada perjalanan tersebut, seorang pendeta di sana melihat tanda-tanda kenabian pada diri Nabi Muhammad yang kala itu berusia 20 tahun, sedangkan Sayyidina Abu Bakar berusia 18 tahun.
Pada usia 40 tahun, umumnya para nabi diutus untuk menyampaikan risalah, kecuali dalam kasus Nabi Isa yang dikatakan berbeda dalam beberapa pendapat. Ini menunjukkan bahwa usia memiliki peran penting dalam perjalanan kehidupan dan tanggung jawab seseorang.
Dalam salah satu doa yang dipanjatkan Sayyidina Abu Bakar, beliau memohon kepada Allah agar diberikan ilham untuk bersyukur atas nikmat yang diterima, baik untuk dirinya maupun keluarganya. Keluarga Sayyidina Abu Bakar adalah keluarga yang istimewa karena seluruh anggotanya memeluk Islam. Syekh Tantawi menjelaskan bahwa nikmat Allah itu memiliki empat tingkatan.
Tingkatan pertama adalah iman dan Islam, yang merupakan nikmat paling utama. Tingkatan kedua adalah keluarga—anak, istri, dan orang tua—karena kebahagiaan sejati bukan hanya dari kenikmatan duniawi, tetapi juga dari keberhasilan anak-anak dalam pendidikan, ibadah, dan kehidupan rumah tangga mereka. Seiring bertambahnya usia, manusia mulai menyadari bahwa kebahagiaan tidak lagi terletak pada kenikmatan fisik seperti makanan atau perjalanan jauh, melainkan pada keberhasilan anak-anak mereka.
Tingkatan ketiga adalah amal dan perbuatan baik. Orang yang beramal saleh akan memperoleh kebahagiaan sejati. Keempat adalah harta, yang harus digunakan di jalan Allah. Oleh karena itu, kita diajarkan untuk bersyukur sebelum menerima nikmat, bukan hanya setelah mendapatkannya. Jangan menunggu bahagia baru bersyukur, tetapi bersyukurlah agar merasakan kebahagiaan.
Bersyukur bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan tindakan. Syukur itu menggunakan nikmat di jalan Allah. Mata yang masih bisa melihat, kaki yang masih bisa berjalan ke masjid, semua itu harus disyukuri dengan menggunakannya untuk ibadah. Salat yang dilakukan dengan sempurna menjadi ukuran kesehatan dan keimanan seseorang.
Salat juga merupakan cerminan kehidupan seseorang, sebagaimana disebutkan dalam ayat, “Inna as-shalata tanha ‘anil fahsya’i wal munkar.” Salat yang benar akan menjauhkan seseorang dari perbuatan keji dan munkar. Oleh karena itu, salat adalah ukuran keimanan, kesehatan, dan interaksi sosial seseorang.
Selain bersyukur dan beramal saleh, penting juga untuk berpikir tentang warisan kebaikan yang akan ditinggalkan. Legacy atau warisan amal jariyah seperti membangun pesantren, menulis buku, atau mendidik murid yang akan terus mengamalkan ilmu yang diberikan. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Maqaddamu wa asaruhum,” yaitu apa yang kita bawa menghadap Allah dan apa yang kita tinggalkan di dunia.
Jangan takut menghadapi kematian, karena semua orang pasti akan mati. Yang perlu dikhawatirkan adalah bagaimana kita mempersiapkan amal untuk kehidupan setelah mati. Banyak orang meninggal di usia muda, bahkan sebelum mencapai usia 40 tahun. Oleh karena itu, setiap amal yang kita lakukan akan menentukan bagaimana kita meninggal—apakah dalam keadaan husnul khatimah atau sebaliknya.
Orang yang hidup dengan kebiasaan baik, insyaAllah akan meninggal dalam keadaan baik. Sebaliknya, orang yang hidup dalam kebiasaan buruk akan menghadapi akhir yang sulit. Ada tanda-tanda husnul khatimah yang dapat dikenali, seperti perubahan hidup ke arah yang lebih baik sebelum wafat. Banyak orang yang dulunya jauh dari agama, namun di akhir hayatnya justru semakin dekat kepada Allah, membangun masjid, dan beramal saleh. Ini adalah tanda-tanda husnul khatimah.
Sebagai orang tua, kita juga harus berusaha agar anak-anak kita menjadi generasi penerus yang baik. Tidak semua anak seorang pendakwah otomatis menjadi orang baik. Nabi Nuh memiliki anak yang tidak beriman, Nabi Luth memiliki istri yang bersekongkol dengan kaum LGBT. Oleh karena itu, tugas kita hanyalah berusaha mendidik anak-anak dengan bekal agama yang kuat, sedangkan hidayah tetap berada di tangan Allah.
Dalam kehidupan, kita sering mengalami kesulitan dalam mencari rezeki. Namun, Allah mengajarkan bahwa rezeki itu datang dengan cara yang tak terduga. Seperti kisah Siti Hajar yang berlari antara Safa dan Marwah tujuh kali untuk mencari air, tetapi justru air zamzam muncul dari tendangan kaki Nabi Ismail. Ini menunjukkan bahwa usaha itu penting, tetapi hasilnya tetap merupakan karunia Allah. Terkadang kita mencari sesuatu dengan bersusah payah, namun Allah justru memberikan jalan keluar dari arah yang tidak disangka-sangka.
Terakhir, doa yang harus selalu kita panjatkan adalah: “Inni tubtu ilaika wa inni minal muslimin,” yaitu memohon kepada Allah agar diberikan hidayah, keselamatan, dan akhir hidup yang husnul khatimah. Lima hal yang perlu kita jaga dalam kehidupan adalah keimanan, keluarga, amal saleh, warisan kebaikan, dan husnul khatimah. Semoga Allah memberi kita taufik untuk menjalankan lima hal ini dengan sebaik-baiknya. [CEM]