Oleh M Rizwan Haji Ali.
Pengajar Ilmu Politik di FISIP, Universitas Malikussaleh.
KALAU tidak ada perubahan, jadwal pemilihan gubernur/wakil gubernur Aceh dan sejumlah kepala daerah kabupaten/kota di Aceh akan digelar tahun 2022. Sudah mulai ada dorongan supaya tahapan Pilkada Aceh perlu segera disusun oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Jaringan Demokrasi Indonesia (JADI) Aceh mendesak KIP Aceh untuk segera merencanakan tahapan Pilkada Aceh.
Sementara KIP Aceh berpandangan bahwa tahapan Pilkada Aceh harus menunggu tahapan pilkada serentak yang disusun KPU RI. Tulisan ini tidak bermaksud masuk ke perbebatan teknis tersebut. Namun, tulisan ini – dengan mengambil resiko untuk didebat-ingin bermuzakarah untuk membangun pembicaraan bersama tentang kemungkinan Aceh menyusun dan melakukan sebuah sistem Pilkada Asimetris Plus (PA+), yaitu sebuah proses pilkada dengan sistem yang berbeda dengan sistem pilkada secara nasional yang saat ini tengah berlangsung di tengah pandemi covid 19 yang belum jelas kapan akan mereda. Pilkada asimetris plus ini barangkali dapat didesain dengan tiga lapisan: mempertahankan kekhususan Aceh dalam NKRI, demokratis dan mempersatukan seluruh kekuatan sosial politik di Aceh dalam semangat permusyawaratan.
Sejak UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otsus NAD disahkan, Aceh merupakan daerah pertama di Indonesia yang diberikan kewenangan melaksanakan pilkada asimetris di Indonesia. Ketika seluruh daerah lain masih melakukan pilkada di DPRD di bawah konsep otonomi daerah, Aceh sudah memiliki kekhususan untuk menggelar pilkada langsung. Namun, sayangnya hingga UU otsus itu tamat riwayatnya, belum satu pun pilkada asimetris itu terjadi di Aceh.
Baru setelah UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh lahir, pilkada langsung perdana di Aceh dapat terlaksana dengan terpilihnya pasangan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar dari jalur perseorangan sebagai gubernur dan wakil gubernur periode 2006-2011. Dengan demikian, Aceh menjadi daerah pertama di Indonesia yang memakai sistem pilkada asimetris, termasuk hadirnya calon perseorangan sebagai peserta Pilkada.
Namun, dengan lahirnya UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada di Indonesia berubah menjadi rezim pemilu, di mana artinya pemilihan umum kepada daerah dilakukan secara langsung sebagaimana pemilu presiden dan pemilu legislatif. Dengan masuknya Pilkada dalam rezim Pemilu, maka Aceh yang pada tahun 2006 memakai sistem pilkada asimetris sudah berubah kembali ke sistem simetris karena pilkada di Aceh dengan pilkada di daerah lain sistemnya sudah sama.
Artinya, pilkada Aceh bukan lagi pilkada yang berbeda dengan pilkada di daerah lain yang juga dilaksanakan secara langsung dan diikuti oleh calon perseorangan. Perbedaan yang masih tersisa hanya karena adanya partai politik lokal. Keberadaan parlok itu pun tidak bisa dimaknai Pilkada Aceh merupakan pilkada asimetris karena peserta pilkada diajukan oleh parpol/parpol lokal atau gabungan parpol/parpol lokal. Yang khusus itu parpol lokalnya, karena bisa ikut pemilu dan mengajukan calon kepala daerah, bukan pilkadanya.
Oleh sebab itu, klaim bahwa Pilkada Aceh merupakan pilkada asimetris itu semakin kabur dengan adanya reformasi hukum nasional dalam bidang pemerintahan daerah dan pemilu. Apalagi setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam gugatan terhadap hasil pilkada Aceh tahun 2017 dan gugatan beberapa warga Aceh tentang UU Pemilu yang dipandang mengganggu kekhususan Aceh, di mana MK menyatakan bahwa tidak seluruh yang diatur dalam UU Nomor 11 tahun 2006 itu khusus, termasuk pilkada bukanlah merupakan kekhususan Aceh.
Oleh sebab itu, dalam upaya untuk mempertahankan kekhususannya, ada kemungkinan bagi Aceh untuk kembali dalam sistem pilkada asimetris dengan mengajukan opsi pemilihan kepala daerah melalui sistem yang demokratis dalam format permusyawaratan/perwakilan dengan kriteria yang disebut di awal tulisan ini yang dapat ditawarkan dalam proses legislative review UU Nomor 11 Tahun 2006 tahun ini di DPR.
Stabilitas Pemerintahan dan Keretakan Sosial
Namun, sebelum kita membicarakan sistem pemilihan demokratis dalam format permusyawaratan/perwakilan, ada baiknya kita melihat ke belakang hasil dari pilkada langsung di Aceh sejak tahun 2006. Pemenang pertama dalam Pilkada langsung di Aceh adalah Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar yang maju dari jalur perseorangan. Pasangan Irwandi-Nazar merupakan pasangan kepala daerah yang lahir dari konsolidasi tiga agregat utama: konflik, tsunami dan perdamaian. Sebagai pasangan dengan tiga spektrum ini, Irwandi-Nazar memiliki beban besar dalam memimpin Aceh. Mereka menang pilkada dan memerintah secara efektif sejak tahun 2007 tetapi didampingi oleh mitra DPRA yang masih produk pemilu 2004.
Maknanya, kendati pasangan ini menguasai posisi eksekutif dengan dukungan rakyat yang cukup besar, tetapi mereka tidak memiliki jangkar politik di DPRA. Walhasil, konflik antara gubernur dengan DPRA pun tidak bisa dihindari. Bahkan, ketika DPRA menyusun Qanun tentang Wali Nanggroe, tim DPRA yang dipimpin Mukhlis Mukhtar dipersulit oleh gubernur dan kekuatan politik pendukungnya. Hal itu dapat dimaklumi karena Irwandi-Nazar dan DPRA saat itu lahir dari “nasab politik” yang berbeda.
Namun, musim panas itu agaknya akan berakhir pada tahun 2009 setelah Partai Aceh terbentuk. PA menjadi peserta pemilu paling populer saat pemilu 2009. Mereka memperoleh kemenangan besar di pemilihan DPRA dan bahkan di beberapa kabupaten/kota yang dikenal sebagai basis GAM, PA menjadi single mayority di DPRK. Irwandi-Nazar dan PA dianggap memiliki pertalian “nasab politik” yang saat kuat. Sehingga muncul harapan pemerintah Irwandi-Nazar akan semakin mudah bergerak karena didukung oleh “saudaranya yang senasab” di DPRA. Tapi, faktanya hubungan Irwandi-Nazar dan DPRA hasil pemilu 2009 juga rumit dan penuh konflik. Hubungan nasab politik tidak berlaku dalam politik elektoral yang langsung dan penuh kepentingan.
Hal yang sama pun terjadi pada periode Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf. Hubungan Zaini dengan DPRA juga tak kalah rumitnya walau partai politik utama di DPRA berasal dari satu nasab politik yang sama dengannya dan Muzakkir Manaf menjadi ketua umum PA. Puncak dari kerumitan itu adalah ketika Irwandi memenangkan kembali Pilkada 2017 mengalahkan Muzakkir Manaf. Rivalitas dua tokoh GAM sangat ketat, sehingga pilkada 2017 menjadi pilkada yang sangat mendebarkan. Tapi, akhirnya setelah Irwandi menjadi terpilih sebagai gubernur periode 2017-2022, lawan pertamanya adalah DPRA. Hal itu melahirkan pemerintahan yang tidak stabil dan penuh konflik. Puncak dari kekacauan “politik senasab” ini adalah penangkapan Irwandi oleh KPK pada ujung tahun 2018, tepat di tahun pertama ia menjabat di periode kedua.
Desain Pilkada
Argumen yang saya ajukan dari pemaparan di atas adalah bahwa sebuah sistem pemilu yang baik apakah itu pilpres, pileg dan pilkada seyogianya bukan hanya didesain dan dianggap sukses kalau hanya untuk menfasilitasi keterpilihan pejabat publik secara demokratis, melainkan juga harus melahirkan sebuah pemerintahan yang stabil dan efisien.
Lalu, apakah yang kita rasakan dari tiga pilkada langsung di Aceh sejak tahun 2006, 2012 dan 2017? Memang pilkada itu berhasil melahirkan pejabat-pejabat publik yang dipilih oleh rakyat secara langsung dengan biaya pilkada yang sangat mahal, akan tetapi tidak berhasil menghasilkan sebuah pemerintahan yang stabil dan efisien. Pilkada langsung Aceh memang melahirkan strong governor/major lewat sosok Irwandi, tapi tidak menghasilkan strong and stable goverment. Dan akibatnya bisa kita rasakan sampai hari ini.
Belum lagi jika kita menghitung rusaknya “hubungan nasab ideologis” yang bertransformasi bahkan menjadi permusuhan abadi di tengah para tokoh perjuangan Aceh. Pilkada langsung di Aceh bahkan membuat keretakan sosial yang sangat kuat di bawah. Patahan-patahan sosial yang terasa hingga kini di tengah masyarakat Aceh akibat perbedaan sikap politik dalam pilkada.
Kini, dua jangkar utama politik Aceh yaitu Muzakkir Manaf dan Irwandi tidak lagi hadir secara de facto dan de jure untuk mampu menjadi penenang bagi politik Aceh yang gelisah. Satu sudah terkalahkan dalam pilkada, sementara satu lagi sudah berada dalam penjara akibat dari kontestasi politik. Inilah hasil paling nyata dari pilkada langsung di Aceh. Permusuhan abadi para tokoh perjuangan dan rontoknya kharisma para pejuang.
Oleh sebab itu, dengan melihat hasil langsung pilkada Aceh sejak tahun 2006 sudah sepatutnya kita membicarakan secara segar, penuh nalar, dan pikiran terbuka untuk membuat kembali desain pilkada Aceh tetap menjadi pilkada asimetris di Indonesia.
Tentu dengan rasa Aceh dalam format yang demokratis dan berbiaya murah, penuh nilai permusyawaratan/perwakilan sesuai dengan watak bangsa. Bagaimana formatnya, kita akan kupas pada tulisan lain.
Namun, intinya kita ingin melahirkan sebuah pemerintahan di Aceh yang berprinsip sesuai dengan hukum pemerintahan bahwa memerintah adalah melihat ke depan (governor c’est pouvoir) tetapi dalam semangat usul fikih al-muhafadhatul bil qadim al-shalih wal akhzu bil jadid al-ashlah (mempertahankan hal lama yang masih baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Wallahu a’lam bisshawab.[]