SAGOETV | BANDA ACEH – Sudah dua dekade sejak damai dan tsunami melanda Aceh, namun berbagai permasalahan masih belum menemukan solusi. Salah satu isu krusial adalah investasi yang mandek, meski daerah ini pernah digadang-gadang memiliki potensi besar pasca-kesepakatan damai. Tantangan di sektor pendidikan, pembangunan ekonomi, serta kemiskinan masih menjadi momok bagi masyarakat Aceh.
Dalam podcast bersama akademisi Dr M Adli Abdullah, berbagai faktor penghambat kemajuan Aceh dibahas secara mendalam. “Benarkah Aceh aman tapi tak nyaman?” menjadi pertanyaan utama dalam diskusi tersebut.
Saat tsunami terjadi, M Adli tidak berada di Aceh karena tengah menempuh studi di Malaysia. Ia tiba kembali di Aceh pada hari kedua setelah bencana. “Yang pertama saya pikirkan adalah apakah keluarga saya masih hidup,” ujarnya dalam podcast bersama host Dr Mukhlisuddin Ilyas, tayang Jumat (27/12/ 2024) lalu.
Menurut mantan Sekretaris Jendral (Sekjend) Panglima Laot itu, dalam keadaan kosong dan tidak tahu harus berbuat apa, ia mencari keluarganya yang selamat. Sebagian besar keluarganya meninggal dunia, termasuk abangnya di Kampung Cadek dan keluarga dari pihak istri di Kampung Pande.
Selain kehilangan sanak saudara, ia juga menyaksikan kehancuran total. “Di mana-mana ada mayat berserakan. Saya pun mencari jenazah anggota keluarga,” katanya. Dalam kondisi tanpa listrik, ia berupaya membangun komunikasi dengan dunia luar menggunakan telepon fleksibel dan mesin genset yang masih berfungsi di rumahnya di Limpuk. Upaya ini membuahkan hasil setelah ia berhasil menghubungi Krisnanto Sinandang dari UNDP.
Setibanya di Aceh, tim UNDP melihat langsung kondisi masyarakat yang kehilangan semangat hidup. Pak Sinandang berniat membagikan uang tunai kepada pengungsi, tetapi Tgk Adli menolak. “Saya katakan, pemberian uang bisa membuat masyarakat semakin malas,” ungkapnya. Sebagai gantinya, ia mengusulkan skema kerja berbasis relawan dengan sistem hierarki yang terorganisir. Usul ini kemudian berkembang menjadi program “Cash for Work.”
Program “Cash for Work” diterapkan untuk menghidupkan kembali semangat masyarakat pasca-tsunami. Dengan konsep kerja berbasis tim, masyarakat dibayar untuk membersihkan kota dan fasilitas umum. Program ini menarik lebih dari 12.000 relawan yang membersihkan berbagai tempat, termasuk Rumah Sakit Umum Daerah dr Zainoel Abidin (RSUDZA), bekerja sama dengan tentara Jerman dan UNDP.
Namun, setelah dua bulan berjalan, Dr. Adli memutuskan untuk menghentikan program tersebut. “Orang-orang mulai bekerja bukan karena kemanusiaan, tetapi hanya demi uang,” katanya. Setelah itu, berbagai lembaga lain mengambil alih program rehabilitasi dan rekonstruksi.

Aceh Pasca-Perdamaian dan Politik Sosial
Tahun 2005 menjadi tonggak sejarah bagi Aceh dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kesepakatan ini membawa perubahan signifikan dalam aspek ekonomi, politik, dan sosial. Namun, pembangunan ekonomi Aceh masih menghadapi berbagai kendala.
Meski dana rekonstruksi mengalir deras pasca-tsunami, investasi belum berkembang sebagaimana harapan. Ketidakpastian regulasi, birokrasi yang berbelit, serta minimnya infrastruktur menjadi penghambat utama. Pemerintah daerah telah berupaya menarik investor dengan berbagai insentif, tetapi hasilnya masih jauh dari optimal.
Sektor pertanian dan perikanan, yang menjadi tulang punggung ekonomi Aceh, juga belum berkembang pesat. Kurangnya akses pasar dan minimnya infrastruktur membuat petani dan nelayan sulit meningkatkan taraf hidup mereka. Upaya diversifikasi ekonomi pun menghadapi tantangan besar, terutama karena rendahnya keterampilan tenaga kerja lokal dalam industri nontradisional.
Dalam bidang politik, integrasi mantan kombatan GAM ke dalam sistem pemerintahan membawa dinamika baru. Namun, tidak sedikit yang mengalami kesulitan beradaptasi dengan sistem birokrasi yang kompleks. Transparansi dan tata kelola pemerintahan masih menjadi isu yang perlu dibenahi.
Secara sosial, masyarakat Aceh mengalami perubahan pola pikir dan gaya hidup. Generasi muda kini memiliki akses pendidikan yang lebih baik serta peluang kerja yang lebih luas. Namun, trauma masa lalu masih menghantui sebagian masyarakat, terutama mereka yang kehilangan anggota keluarga akibat konflik berkepanjangan.
Untuk menjawab tantangan ini, sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat diperlukan. Pendekatan komprehensif dalam pembangunan ekonomi, penguatan sektor pendidikan, serta tata kelola pemerintahan yang lebih baik menjadi kunci utama bagi kemajuan Aceh di masa depan. “Perdamaian harus diiringi dengan kesejahteraan,” kata Adli. “Jika tidak, Aceh akan terus berada dalam kondisi aman, tetapi belum tentu nyaman.” [MM]