Oleh: Novendra Deje.
Analis Geopolitik di Komunitas Studi Agama dan Filsafat (KSAF).
Jelang malam tutup tahun 2020 ini, saya ingin membincangkan tentang sumber utama dari friksi yang terjadi antara China dan negara-negara Barat. Dunia Barat yang dipimpin Amerika Serikat (AS) masih dalam upaya menggiring dan memapankan dunia pada sistem globalisasi liberal yang monopolar. Sedang China tampak mengambil pola tatanan global lain di luar mainstream.
Bagaimana pun, AS masih sangat berambisi untuk terus memimpin dunia dengan upaya memantapkan kontrol dan hegemoninya dalam apa yang disebut dengan “global monopolar system.” Ambisi tersebut mendapat tantangan dan halangan terbesar yang datang dari China, negara dengan kemampuan jelajah jangkar ekonomi paling diperhitungkan saat ini.
Merujuk pada fakta-fakta dinamika kontestasi geopoliti global hari ini. AS tampak telah mulai kehilangan statusnya sebagai satu-satunya negara adidaya di dunia yang dicapainya sejak berakhirnya era Perang Dingin. Sementara China secara bertahap terus meningkatkan kekuatan relatifnya. Dimana, hal yang dilakukan China tampak sebagai upaya penyeimbangan ulang sistem global, dan mulai berdampak besar pada sistem internasional dan cara pengaturannya.
Ketika Francis Fukuyama menulis buku berjudul ‘The End of History and the Last Man’ (1992), dia mengklaim demokrasi liberal adalah tahap terakhir sejarah tak terelakkan, serta tahap akhir dari perkembangan evolusi manusia. Klaimnya tersebut tentu sangat kuat ketika itu. Dimana, setahun sebelum Fukuyama menyelesaikan bukunya, Perang Dingin berakhir, ditandai dengan kejatuhan Uni Soviet. Momen sejarah besar dunia itu kemudian menjadi titik awal lahirnya era baru menuju tegaknya dominasi AS sebagai satu-satunya kekuatan (Super Power) penentu arah dan polaritas tatanan global.
Fukuyama melihat bahwa era konflik kekuatan ideologi besar antara demokrasi dan otoritarianisme sudah berakhir dengan kemenangan AS. Hingga, ia pun berarusumsi bahwa proses globalisasi akan terserap hanya ke satu arah kekuatan terbesar saja. Karenanya, negara-negara seperti China pun akan terpaksa hanya dapat bertransisi ke cara berpikir Barat.
Memang, ketika itu, tidak dapat dipungkiri, bahwa Barat adalah kiblat peradaban dunia. AS dapat sangat leluasa menjalankan diktenya terhadap berbagai negara dalam percaturan ekonomi dan politik dunia. Walau masih ada negara-negara yang membangun resistensi atas dominasi AS, tapi nasibnya sedemikian tragis, menjadi sasaran isolasi dunia. Sehingga terus ada perlahan menyerah dan tunduk pada tekanan Super Power yang begitu kuat.
Namun demikian, kita sudah harus berhenti untuk meyakini tesis Fukuyama itu. Sebab setelah 28 tahun kemudian, arah perkembangan percaturan dunia menjadi sangat berbeda. Dan China bangkit sebagai suatu kekuatan yang tampak sangat mampu untuk melayani konfrontasi dengan kekuatan besar yang telah terlebih dahulu mampan serta begitu jumawa.
AS, sebagaimana diangkat dalam suatu artikel di Wallstreet Journal, telah banyak salah dalam membaca gerak-gerik dan target dari pemimpin China, Xi Jinping. Sempat ada keyakinan dari AS bahwa Xi Jinping merupakan seorang pejuang tatanan globalisme, dengan reformasi besar-besaran oleh Xi Jinping yang mengundang investasi Barat seluasnya ke China. Sehingga diyakini hal itu justru akan mempercepat terjadinya proses integrasi China dengan Barat.
Ternyata, dalam proses berjalannya waktu, keyakinan asumtif itu sangat salah dan berbalik arah. Alih-alih menyesuaikan diri dengan Barat, China kemudian justru mengarah ke jalan yang ditargetkannya sendiri. Jalan yang dimana itu malah menghancurkan tesis Fukuyama terkait takdir akhir sejarah. Meskipun sama saja gerak China menju arah globalisasi, namun pola tatanan, pendekatan dan orientasinya berbeda dengan yang di impikan Barat.
Makna Globalisasi
Globalisasi menunjukkan suatu tren koneksi ekonomi dan sosial dunia, yang ditopang oleh kemajuan teknologi dan komunikasi, menjadi semakin dekat dan bahkan pada puncaknya mengarah pada sistem yang terintegrasi satu sama lain. Kini, teknologi kian memangkas jarak dan durasi waktu, serta informasi tentang apa pun di tiap belahan dunia mana pun dapat diurai dengan instan.
Kontek kondisi yang tersebut di atas, secara tak terhindarkan, memaksa negara-negara untuk saling bekerja sama satu sama lain dalam berbagai hal. Baik itu yang dihadapi bersama maupun pada aspek lintas kepentingan yang perlu dikompromikan diantara pihak. Kedekatan koneksi ini makin membuat dunia saling bergantung satu sama lain. Dan pada akhirnya akan mendorong kebutuhan ke arah apa yang mungkin disebut sebagai “pemerintahan global”.
Bahwa globalisasi secara intrinsik terkait dengan satu ideologi tertentu yang diyakini oleh Barat, dan diharapkan menjadi takdir akhir sejarah. Dimana, globalisasi dinarasikan sedemikian seakan niscaya bergerak seiring liberalisasi. Itu telah menjadi keliru dan terbantahkan dengan bukti-bukti yang ada hari ini. Barat tak lagi dapat terlalu percaya diri untuk terus memaksa arah realisasi tatanan global pada relasi-relasi penjajahan. Sebab kemajuan ekonomi tidak niscaya bergantung pada pola tertentu ideogi, yaitu liberalisme.
China, dalam mobilisasi pengaruh efektif pikiran dan orientasi Xi Jinping, berevolusi secara berdaulat. Dimana, kini China membuktikan dapat mencapai kemajuan sosial dan menjadi kekuatan ekonomi yang luar biasa, tanpa harus mengadopsi ideologi Barat. Xi Jinping sendiri menggambarkan visi globalisasi ala China sebagai “komunitas masa depan bersama bagi umat manusia.”
Komunis, yang kita kenal sebagai ideologi progresif, pun menjadi unik di tangan China. Negara itu tidak menunjukkan ada minat radikal untuk mengekspor ideologi.komunis ke berbagai negara. Setidaknya tak tampak itu dilakukan secara terang-terangan. Apa yang dilakukan China secara serius justru menginisiasi berbagai program koneksi jaringan ekonomi secara lebih dekat dan terintegrasi dengan berbagai negara lain.
Kita dapat mengamati pada program inisiatif Belt and Road (BRI) yang sangat ambisius itu. China, dalam proyek ini, tampak seperti mereset ulang geopolitik global dengan mempersempit ruang bagi manuver Barat dalam mengepakkan kembali sayap hegemoni mereka di berbagai negara.
China dan Masa Depan Geopolitik Global
Mengacu pada kekeliruan menilai atas langkah agresif China dalam upayanya mencapai lompatan kemajuan, yang sempat dipandang AS dan Eropa sebagai mendekati nilai Barat, itu memberi keuntungan signifikan sendiri bagi China. Dari itu China leluasa memperluas jangkar kerja sama ekonominya hang membawa misi menata ulang polaritas geopolitik global.
Tercatat selama beberapa dekade, AS dan Eropa telah bekerja untuk menarik investor China dan membangun serta memperluas hubungan perdagangan mereka dengan China.Para pemimpin politik di Barat begitu berharap relasi ekonomi yang intensif akan mengikat China lebih dekat dengan nilai-nilai Barat. Harapan itu tampak dari bentuk-bentuk apresiasi mereka terhadap China, mulai dari yang ditunjukkan Nixon hingga Obama. Kedekatan nilai dan pemahaman itu utamanya tentang demokrasi dan ekonomi pasar bebas.
China relatif telah menjadi kekuatan dunia dalam aspek perdagangan dan punya kuat kendali hingga ke Barat sendiri. Hal yang mengecewakan Barat adalah digitalisasi China ternyata tidak mengarah pada pembukaan yang selama ini diharapkan Barat. China malah mengarahkannya pada bentuk baru pemerintahan yang didukung teknologi, sebagai suatu perkembangan yang secara diametris berkonfrontasi dengan pemahaman Barat terkait inovasi. Dan mulai dari sini lah residu friksi antara China dan Barat terlihat. Dan itu kemudian mengungkap secara jelas mengenai perpecahan budaya antara Cina dan Barat.
China hari ini terus mengejar kepemilikan suara dalam politik dunia dengan persyaratan yang sama dengan AS. Walau China diuntungkan dari sisi kekuatan kendali ekonomi, namun dari sisi militer, AS secara hitungan vis a vis masih tampak terlalu dominan. Mengatasi kebuntuan ini, proyek digitalisasi diharapkan China akan mengubah skala dan menjadi arena perlombaan senjata yang sebenarnya.
Melalui kekuatan digital baru China, upaya untuk menjalankan skema polar geopolitik baru semakin terbuka. Bukan sekedar pertempuran individu seperti mainan dalam kampanye pemerintahan Donald Trump untuk melawan perusahaan teknologi Huawei. Konfrontasi yang sesungguhnya adalah tentang makna di antara dua sistem politik yang lebih berhasil – dalam merevolusi tatanan kebudayaan geopolitik global. Bagaimana pun, letusan senjata selalu diharap ada masa berakhirnya. Dan itu selalu ditempuh dengan pencarian solusi-solusi di bawah kendali kebudayaan untuk mendialogkannya.
Unipolar system yang digawangi AS terus retak bersama kerasnya persaingan yang di mainkan China di kawasan Euroasia. Dan yang sangat menguntungkan China dari kompetitor Baratnya adalah Eropa sangat tidak menginnginkan eskalasi ini membawa pada perang fisik terbuka di kawasan tersebut. Intinya, AS tidak punya cukup dukungan dari sekutu Nato nya untuk mengandalkan kekuatan militer. Dengan demikian, ruang manuver China, dengan digitalisasi dan koneksi lintas batas BRI nya, akan semakin leluasa dalam upaya mereset relasi geopolitik.global dari monopolar ke arah multipolar system.