Oleh: Cut Ulan Nazli
Tulisan ini disarikan dari proposal skripsi penulis tentang hambatan perempuan menjadi seniman di Desa Darussalam. Gagasan dan data diambil dari kerangka penelitian yang tengah dikaji, lalu ditulis ulang dalam format esai populer untuk membuka ruang dialog. Asumsinya: perempuan menghadapi hambatan berlapis—norma sosial, budaya, dan tafsir agama—yang membatasi ruang ekspresi mereka dalam seni.
Di Antara Rapai dan Norma: Seni yang Tak Ramah Perempuan
Seni di Kampung Darussalam hidup bersama ritme harian masyarakat—menggema dalam tabuhan rapai, lantunan zikir, dan alunan tradisi yang mewarnai acara keagamaan maupun adat. Tapi denyut itu tak berdetak untuk semua. Di tengah semarak budaya itu, suara perempuan nyaris tak terdengar. Bukan karena mereka tak punya minat atau bakat, tapi karena ada sekat-sekat tak kasat mata yang membatasi langkah mereka untuk turut tampil sebagai pelaku seni.
Seperti banyak kampung lain di Aceh, Darussalam masih memegang teguh adat dan norma agama sebagai tiang utama kehidupan sosial. Nilai-nilai itu, meski menjadi sumber kebanggaan, sering kali justru menempatkan perempuan dalam posisi pinggir—terutama dalam ranah kesenian. Seni pertunjukan publik masih dianggap “kurang pantas” bagi perempuan. Bahkan, tampil di depan umum bisa dicurigai sebagai tindakan yang mencederai kesopanan.
Padahal, seni adalah ruang ekspresi kultural yang lahir dari denyut pengalaman kolektif. Ia seharusnya terbuka untuk siapa saja yang ingin mencipta dan bersuara. Tapi kenyataan berbicara lain. Laki-laki lebih mudah diterima sebagai seniman—baik sebagai penabuh rapai, pemain drama, maupun pengelola kegiatan seni. Mereka bisa berlatih di tempat terbuka, tampil dengan percaya diri, dan mendapat pengakuan sosial. Sementara itu, perempuan justru ditekan oleh ekspektasi domestik: menjaga citra keluarga, tetap berada di ranah rumah, dan tidak sering-sering muncul di ruang publik.
Dalam iklim sosial seperti ini, perempuan dihadapkan pada dilema yang pelik. Hasrat berkesenian kerap terkubur oleh ketakutan akan pandangan tetangga, komentar dari keluarga, atau bahkan cibiran dari sesama perempuan. Ruang publik bukan sekadar tempat yang tak ramah, tapi juga penuh ranjau penghakiman.
Akibatnya, potensi mereka tak pernah tumbuh utuh. Dalam banyak kasus, perempuan yang berani berkesenian dicap sebagai “terlalu bebas”, “tak tahu diri”, atau “memalukan keluarga”. Label-label sosial itu menjadi beban yang tidak hanya mematikan semangat, tetapi juga menegaskan ketimpangan struktural antara laki-laki dan perempuan dalam ruang budaya lokal.
Di Balik Sekat Tak Kasat Mata: Mengapa Perempuan Tidak Diundang?
Mengapa seni terasa begitu jauh dari jangkauan perempuan di desa? Apakah ini hanya soal kurangnya minat atau kesempatan? Atau justru karena ada mekanisme sosial yang pelan-pelan tapi pasti, mendorong perempuan menjauh dari panggung?
Di kampung, kita tumbuh dengan narasi yang nyaris sama: laki-laki dibentuk untuk tampil dan memimpin, perempuan diarahkan untuk diam dan mendampingi. Dalam banyak keluarga, anak perempuan yang ingin ikut latihan rapai akan dianggap aneh. Anak perempuan yang menari terlalu luwes bisa dicap tak tahu malu. Dan ketika seorang gadis tampil menyanyi di depan umum, bahkan jika suaranya merdu sekalipun, tetap saja ada yang bergumam, “Kok nggak malu?”
Padahal, hambatan itu bukan soal bakat. Ia soal akses—siapa yang diberi izin, siapa yang diberi ruang, dan siapa yang diberi waktu. Linda Nochlin, seorang pemikir seni dari Barat, pernah menggugat sejarah seni yang tidak pernah menyebut nama-nama besar perempuan. Dalam esainya yang terkenal, Why Have There Been No Great Women Artists?, ia menyimpulkan bahwa ketidakhadiran perempuan dalam sejarah seni bukan karena mereka tak ada, tapi karena mereka tak diberi tempat.
Itulah yang terjadi juga di kampung kita. Ruang seni bukan tidak ada, tapi tidak terbuka untuk semua. Pelan-pelan, seni berubah jadi milik laki-laki, dan perempuan sekadar penonton—atau lebih sering, hanya disebut saat membawa nasi kenduri untuk para pemain.
Dalam kajian teori sosial, peran seperti ini tidak lahir begitu saja. Teori peran sosial yang dikemukakan oleh Eagly (1987) menjelaskan bahwa masyarakat membentuk ekspektasi tertentu pada laki-laki dan perempuan. Ketika perempuan bertindak di luar “pakem” itu—misalnya tampil di atas panggung atau menari di depan publik—mereka dianggap melanggar norma, bahkan jika tindakan itu sah dan berakar pada budaya sendiri.
Tekanan sosial ini makin berat ketika dibungkus oleh tafsir agama dan adat yang konservatif. Dalam studi Nurdin (2020), tubuh perempuan di ruang publik sering dianggap sebagai sumber fitnah. Aturannya tidak selalu tertulis, tapi sangat terasa: jangan terlalu sering ke luar rumah, jangan bepergian tanpa muhrim, jangan bersuara terlalu nyaring. Maka ketika perempuan menyanyi, menari, atau tampil dalam bentuk seni apa pun, yang pertama kali dipertanyakan bukan karyanya—tapi moralnya.
Di sinilah pentingnya kita memahami pendekatan interseksionalitas. Teori ini, yang dikembangkan oleh Kimberlé Crenshaw, menjelaskan bahwa pengalaman perempuan tidak bisa dilepaskan dari identitas-identitas lain yang melekat padanya—seperti latar sosial, agama, usia, bahkan tempat tinggal. Perempuan dari kota besar mungkin bisa menari dan bernyanyi tanpa banyak hambatan. Tapi perempuan desa? Hambatannya berlapis. Mereka tak hanya perempuan, tapi juga anak dari orang baik-baik, warga dari kampung yang taat, dan bagian dari keluarga yang dijaga nama baiknya siang malam.
Maka, banyak perempuan yang memilih diam. Bukan karena tak ingin bersuara, tapi karena tahu suaranya akan dipelintir, disalahkan, dan dihakimi. Mereka tahu panggung itu ada. Tapi mereka juga tahu, panggung itu bukan untuk mereka.
Merintis Jalan Pulang ke Panggung: Harapan yang Tidak Diam-Diam
Apa yang bisa kita harapkan dari semua ini? Apakah masih ada ruang bagi perempuan di kampung seperti Darussalam untuk ikut mencipta dan tampil sebagai seniman, tanpa harus dicurigai atau dibungkam?
Jawabannya mungkin belum terlalu jelas, tapi bukan berarti tidak ada. Perubahan sosial memang tidak terjadi secepat tepuk rapai. Tapi ia bisa dimulai dari hal kecil: dari percakapan di rumah, dari sikap seorang ibu yang tidak melarang anak perempuannya bernyanyi, dari tokoh adat yang memberi tempat latihan seni untuk semua, dari guru yang tidak hanya melatih teknik tapi juga menyemai keberanian.
Satu hal yang sangat penting adalah kehadiran ruang aman. Perempuan butuh tempat untuk belajar seni tanpa takut dinilai, dilabeli, atau diawasi dengan niat mengekang. Ruang ini tidak harus besar. Bahkan bisa dimulai dari teras rumah, dari pekarangan sekolah, atau dari komunitas kecil yang saling menguatkan. Yang dibutuhkan bukan kemewahan fasilitas, tapi kesediaan untuk membuka telinga dan hati.
Seni digital juga bisa jadi celah. Seperti ditunjukkan oleh Rahmawati (2022), banyak perempuan mulai berekspresi lewat media sosial, membagikan nyanyian, tarian, atau karya visual mereka kepada dunia yang lebih luas. Meski tantangan seperti seksisme daring tetap mengintai, dunia digital membuka kemungkinan baru yang tidak bergantung sepenuhnya pada restu lokal. Dunia maya, dengan segala problemnya, kadang bisa jadi pelarian yang menyelamatkan.
Namun, kita tidak bisa berharap semua perempuan kuat menghadapi stigma hanya karena ada YouTube atau TikTok. Justru tugas masyarakatlah menciptakan dukungan sosial yang nyata. Dukungan ini bisa datang dari keluarga, dari komunitas seni, dari lembaga pendidikan, bahkan dari pemerintah desa.
Perempuan di kampung bukan tidak bisa jadi seniman. Mereka hanya belum diberikan panggung yang cukup aman untuk melangkah. Dan bahkan ketika panggung itu mulai terbuka, masih ada terlalu banyak yang harus mereka bawa sendiri—keraguan, beban sosial, dan rasa bersalah yang tak semestinya mereka pikul.
Di titik ini, kita tidak sedang bicara soal emansipasi besar-besaran. Kita hanya sedang meminta satu hal sederhana: agar perempuan juga diizinkan mencintai seni dengan utuh, dan diakui haknya untuk berkarya tanpa harus merasa salah.
Seperti ditulis oleh Suryadi (2015), seni bukan sekadar hiburan atau estetika. Ia adalah ruang negosiasi makna, identitas, dan relasi sosial. Maka ketika perempuan dibungkam dalam seni, yang hilang bukan hanya satu suara, tapi satu perspektif tentang kehidupan.
Kalau seni memang cermin budaya, kita harus jujur bertanya: apakah kita ingin terus menatap cermin yang tak pernah memantulkan wajah perempuan secara utuh?
Sudah saatnya panggung itu diberi lampu yang terang. Bukan untuk menyorot perempuan sebagai tontonan, tapi untuk memberi mereka cahaya agar bisa tampil sebagai dirinya sendiri. Mungkin mereka belum datang ke panggung itu sekarang. Tapi jika kita mulai merintis jalannya hari ini, panggung itu akan terasa lebih dekat esok pagi. []
Tentang Penulis
Cut Ulan Nazli adalah mahasiswi Program Studi Sendratasik Universitas Syiah Kuala yang berasal dari Darussalam, Peusangan Selatan, Kabupaten Bireuen. Ia tumbuh di tengah tradisi kampung yang kental dengan nilai adat dan agama, namun tak pernah berhenti menyimpan kecintaan pada seni, terutama menyanyi. Melalui tulisan ini—yang disarikan dari proposal skripsinya—ia membuka suara tentang ketimpangan yang dihadapi perempuan dalam dunia seni desa. Dengan keberanian menulis dan refleksi yang jernih, Cut Ulan berupaya menjadikan pengalaman lokalnya sebagai pintu menuju perubahan sosial yang lebih inklusif dan adil.
Kurator naskah
Ari J.Palawi