Oleh: Juanda Djamal
Penulis di Konsorsium Aceh Baru
Siem Reap adalah sebuah provinsi di Kamboja, berpenduduk sebanyak 189.292 jiwa dan luas wilayah yang mencapai 10.299 km2, menjadikan dirinya sebagai salah satu kota tujuan turis dunia. Sebelum Covid 19, jumlah pengunjung wisatwawan yang masuk lewat Siem Reap mencapai 2 juta orang per tahun.
Kamboja merupakan negara yang memiliki sejarah Panjang, Nama Kamboja diambil dari bahasa kesenian Hindu kuno atau Sansekerta Kampuchea atau Kamboja berarti tanah kedamaian dan kemakmuran. Namun, perjalanan sejarah yang penuh kegelapan sehingga dijuluki sebagai hell on earth karena pernah mengalami perang saudara dengan terbunuhnya masyarakat sampai 2 juta jiwa. Kondisi demikian, menciptakan pengalaman pahit yang menjadi pembelajaran di masa kini.
Pengalaman perang saudara menjadi semangat rakyatnya agar mewujudkan kembali Kamboja sebagai negara Kampuchea – perdamaian/kemakmuran
Alhamdulillah, saya mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke Siem Reap pada 22-25 November 2022. Saya diundang oleh Center for Peace and Conflict studies (CPCS) menghadiri Peace Practitioners Research Conference (PPRC) yang ke-11.
Bagi saya, konferensi ini menjadi forum ini menjadi salah satu kesempatan agar Aceh terus berinteraksi dengan dunia global utamanya dari pembelajaran proses peace building di Aceh. Saat ini, Aceh sudah 17 tahun penandatanganan Perdamaian (15 Agustus 2005 – 15 Agustus 2022), tentunya banyak hal yang sudah kita lakukan namun masih ada beberapa kelemahan yang mesti diperbaiki guna memastikan Perdamaian Aceh mencegah tidak berulang dan menggunakan kesempatan damai untuk memakmurkan dan mensejahterakan rakyat Aceh secara budaya, ekonomi dan politik.
Kegemilangan Siem Reap paska Covid-19
Selama empat hari tinggal dikota Siem Reap, saya belajar banyak atas transformasi kota Siem Reap, kota yang dijuluki sebagai kota “kekalahan Siam” namun disisi lain juga dijuluki sebagai kemajuan Siam karena Siem Reap menjadi jalur perlintasan Kamboja Kuno ke Siam.
Sebagai pengetahuan kita, awal perubahan kembali yaitu 1901, saat itu Ecole Francaise d’Extreme Orient (EFEO) memulai keterkaitannya dengan Angkor. Angkor merupakan ibukota kerajaan Khmer (804-1431), runtuh karena penyerangan oleh kerajaan Ayuthaya (Siam/Thailand sekarang). Jadi, EFEO mendanai ekspedisi memasuki Siam dan Bayon, sehingga pada 1907 Angkor yang telah direbut dari Siam dengan paksa, dikembalikan kepada Khmer (Kamboja). Tahun 1907 pula, sebanyak 200 wisatawan berkunjung pertama sekali dan tinggal selama tiga bulan.
Namun, Siem Reap mulai berkembang dan menerima wisatwan pertama setelah dibangunnya Grans d’Angkor Hotel tahun 1929 sampai 1960-an. Ramai pesohor dunia yang berkunjung ke Siem Reap sebelum era genosida berlangsung. Namun setelah itu kembali mengalami kemunduran karena pengaruh kebijakan kepemimpinan Khmer Merah sehingga menjadi bagian dari genosida.
Saya sendiri, terakhir berkunjung kekota ini sudah lima kali, terakhir pada awal Desember 2019 sebelum Covid-19. Saat itu saya melihat perkembangan kota Siem Reap dalam memberikan pelayanan bagi para pengunjung sudah prima meskipun ketersediaan infrastruktur seperti jalan, tata ruang bangunan, kebersihan dan layanan transportasi masih kurang.
Jadi, kunjungan kali ini menunjukkan kekaguman yang luar biasa pada saya, begitu keluar dari Siem Reap-Angkor Airport, staf CPCS sudah menunggu dengan sign-board atas nama Juanda Djamal-Aceh ditangannya. Suasana Tourism City langsung terasa, saya dijemput dengan Tuk-Tuk (Becak) dan saat menuju jalan utama, saya melihat jalan utama yang sangat lebar dan suasana jalan benar-benar hidup.
Menurut Staf CPCS, jalan ini dan beberapa jalan lainnya dibangun saat Covid melanda, jadi pemerintah Kamboja mengambil langkah strategis menghadapi masa pemulihan paska Covid-19. Ternyata, beberapa kawasan lainnya menunjukkan perubahan yang luar biasa, terutama tata ruang bangunan dan kebersihannya. Saya ingat karena pada kunjungan terakhir saya, setiap pagi selalu lari pagi dikawasan tersebut dan masih terasa kumuhnya, namun akhir 2022 begitu bersihnya dan menyamai kota-kota kunjungan di Eropa.
Otak saya berujar, begitu siapnya pemerintah Kamboja memulihkan diri dari pandemic Covid-19, sedangkan pemerintah Aceh dan Kabupaten/kota di Aceh mengeluh ketiadaan anggaran dan defisit anggaran pembangunan, namun ironisnya Silpa APBA tinggi.
Saat konferensi berlangsung, meskipun tema utamanya “Mobilising For Peace : Peoples Movements and Momentum in 2022”, namun saya penasaran dengan kebijakan pemerintah Kamboja dan terutama pemerintah provinsi Siem Reap. Mereka menjadikan Covid-19 sebagai batu loncatan untuk menumbuhkan ekonomi paska wabah. Tentunya mereka melihat a brightness achievement atau dalam pandangan masyarakat muslim adalah mengambil “Hikmah atas Musibah”
Master Plan pemulihan pariwisata.
Pemerintah provinsi Siem reap mengambil langkah strategis dengan memperkuat perencanaan Jangka Panjang dan Menengah yang sudah disiapkan mereka sejak tahun 2006-2020. Sehingga saat Covid-19 melanda diawal tahun 2020, maka tahun 2021 mereka menyesuaikan perencanaannya yang menjadikan Pariwisata sebagai isu strategis di provinsi Siem reap. Jadi, pemerintah ingin cepat memulihkan keadaan ekonomi mereka melalui sektor Pariwisata. Targetnya, jumlah turis dapat melampaui 6.6 juta turis sebagaimana sebelum Covid-19. Siem Reap saja sudah tercatat lebih dari 500.000 turis yang sudah berkunjung dan target mencapai 1 juta turis diakhir 2022.
Dalam Master plan memuat enam langkah strategis, antara lain : (1) Mempromosikan pariwisata pada pasar global, (2) Meningkatkan manfaat bagi masyarakat dari pariwisata, (3) Mengembangkan kota yang lebih atraktif bagi turis dan masyarakat, (4) Mengembangkan Kota yang lebih berkelanjutan secara lingkungan, (5) memperkuat Infrastruktur untuk masyarakat dan turis, dan (6) Memperkuat Administrasi dan Keuangan.
Maka, enam langkah diatas menciptakan multi-player affect yang mempercepat pemulihan paska Covid-19 dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.
“Dikerjakan proyek 38 infrastruktur jalan di Siem Reap, terima kasih atas dana khusus pemerintah Kamboja sekitar USD150 juta, adalah investasi yang tepat berdasarkan visi jangka Panjang mempromosikan dan memulihkan sector pariwisata di Siem reap,” jelas gubernur provinsi Siem Reap Tea Seiha, juga sangat percaya diri bahwa master plan akan membantu mereka kembali seperti sebelum Covid-19.
Atas pembelajaran diatas, saya mengembalikannya dalam konteks Aceh, dimana Aceh memiliki momentum Tsunami yang diikuti dengan Rahabilitasi dan Rekonstruksi sehingga dalam lima tahun pembangunan Aceh dapat mencapai kemajuan lebih cepat 50 tahun. Begitu pula, momentum perjanjian perdamaian 15 Agustus 2005 dan Pengesahan UU No.11/2006 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, seyogianya dapat menjadi momentum untuk membangun perubahan politik “anti-tesis politik nasional” kearah perubahan ekonomi dan budaya, maka dapat kita pastikan kemajuan Aceh dalam 17 tahun telah melampaui kemajuan nasional.
Namun, kita menghadapi atmosfir politik yang terjebak dalam pusaran arus politik nasional, sehingga transformasi kepemimpinan politik kita tersumbat oleh ketidakmampuan kita merawat dan mengemas cita-cita perjuangan politik Aceh menuju Kesejahteraan dan Kemakmuran. Untuk mengembalikan arah perjuangan Aceh, maka perlu kita refleksikan sikap, perilaku dan kelakukan politik kita dalam 17 tahun terakhir. Kita pernah di era kegelapan dan kegemilangan, akankah keduanya menjadi pembelajaran bagi kita mengembalikan kemajuan aceh di masa depan.
Sepatutnya kita mengambil hikmah atas perjalanan sejarah kita sebagaimana masyarakat Siem Reap mengambil hikmah atas pengalamannya yang penuh kegelapan, sehingga hari ini mereka sedang bekerja mengembalikan Siem Reap sebagai kota Kunjungan dan Perlintasan masyarakat dunia.