Oleh: Saifuddin Bantasyam
Dosen Fakultas Hukum Unsyiah, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Di luar dugaaan kita semua, jumlah orang yang terinfeksi Covid-19 di Aceh bertambah secara signifikan dalam masa waktu dua bulan belakangan ini. Pada kondisi hari Rabu 14 Oktober, sebanyak 5.893 dilaporkan positif (Harian Serambi Indonesia), dan jumlah yang meninggal sudah mencapai 214 orang. Memang ada banyak juga yang berhasil sembuh, dalam laporan harian tersebut pada tanggal yang sama berjumlah 3.851 orang, namun laporan tentang pelonjakan jumlah yang positif terkena virus tersebut selalu lebih mendapat perhatian publik.
Sampai saat ini, ada dua strategi yang dilaksanakan dalam menangani wabah yang sangat mematikan tersebut. Untuk sisi pemerintah, disebut dengan 3T (testing, tracing, dan treatment). Dalam bahasa lain, pemerintah melakukan pemeriksaan (rapid test dan swab), lalu melakukan penelusuran atas orang-orang yang melakukan kontak dekat dengan orang yang positif Covid-19. Terakhir adalah melakukan tindakan medis kepada mereka yang diperlukan. Kebijakan 3T ini terus dijalankan dengan penyempurnaan disana-sini.
Lalu dari sisi masyarakat, ada istilah yang disebut dengan 3M. Pemerintah mengimbau agar masyarakat konsisten melakukan 3M ini, yang meliputi mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak. Ada yang menambah satu lagi M sehingga menjadi 4M yaitu menjauhi kerumunan. Berdasarkan kajian-kajian ilmiah, jika masyarakat melaksanakan secara konsisten keseluruhan M tersebut, maka angka keterinfeksian Covid-19 akan dapat diturunkan secara signifikan.
Di media sosial, ada berbagai saran dalam mencegah situasi menjadi semakin memburuk bagi mereka yang positif Covid-19. Saran-saran tersebut umumnya belum dapat dibuktikan secara ilmiah sampai saat ini. Itu sebabnya, hingga sekarang, belum ada obat untuk melawan virus tersebut. Memang ada berbagai riset untuk menciptakan vaksin. Namun, karena sedang diuji-coba pada manusia maka keterandalan vaksin dan kapan vaksin akan tersedia, belum diketahui dengan pasti.
Spritual Vitality
Ketika dalam beberapa bulan, sejak awal Maret jumlah yang positif corona di Aceh sangat minim, Jubir Satgas Covid-19 pernah memberi apresiasi melalui media massa. Saya cermati bahwa apreasiasi tersebut disikapi dengan berbagai sikap oleh sejumlah orang.
Diskusi pun kemudian mengarah kepada pertanyaan “mengapa Aceh minim kasus korona? (pada masa awal itu)” Jawaban yang muncul pun beragam.
Salah satunya adalah karena ketaatan beragama orang Aceh, yang antara lain ditunjukkan melalau doa qunut nazilah yang terus dibaca saat shalat dan berdoa dan berbagai bentuk lain yang berkait dengan aspek spritualitas.
Lalu, saat kini jumlahnya sudah 5000-an, apakah kemudian dapat disimpulkan bahwa ketaatan kita dalam menjalankan perintah agama, sudah menurut? Atau doa qunut nazilah tidak lagi kita lakukan dengan serius, tidak kita imani dengan baik, sehingga dia menjadi seperti doa-doa lain di luar situasi adanya pandemi, bala, atau wabah yang mendera kita? Hanya Allah SWT yang tahu jawaban pasti terhadap pertanyaan ini.
Tetapi dari cerita yang saya dengar dari beberapa kawan yang sembuh setelah menjalani perawatan di rumah sakit karena positif Covid-19 dan dari kawan-kawan yang sembuh setelah hanya menjalani isolasi di rumah, maka poin utama dan terpenting dari cerita mereka semua adalah ini: percaya bahwa Allah itu Maha Menyembuhkan. Artinya, dalam keadaan apa pun, atau bagaimana pun, kita wajib meyakini tentang kehendak Allah.
Adakah itu hal yang terasa asing? Tidak sama sekali, apalagi dalam kehidupan keseharian rakyat Aceh. Saat saya membezuk orang yangg dirawat di rumah sakit misalnya, saya sering melihat alquran di samping pasien, atau di atas meja dalam kamar rawat. Juga ketika seseorang dalam keadaan dying, sakratul maut, keluarga biasanya membaca yasin, atau saat sudah meninggal, keluarga juga membaca yasin.
Amatan lain, sejumlah penumpang pesawat, membawa alquran kecil yang selalu dalam genggaman, membacanya selama terbang, atau akan dibaca jika ada turbulensi (pesawat terguncang). Saat menyaksikan kebakaran, ada yang mengumandangkan azan, atau berteriak Allahu Akbar. Ketika gempa, ada membaca lahaulawala quata illa billah.
Lalu, di televisi, kita dapat melihat terdakwa misalnya yang terlibat pembunuhan kejam atau pelaku korupsi miliaran rupiah, orang-orang yang diadili karena jual beli sabu, dan berbagai kejahatan berat lainnya (termasuk teroris), kebanyakan memakai peci hitam atau peci putih (peci haji) saat mengikuti persidangan.
Saya pikir, beberapa contoh di atas mungkin satu pertanda bahwa orang-orang merasa betapa aspek spiritual itu memegang peranan penting manakala berhadapan dengan suatu keadaan yang genting atau saat sakit. Sepertinya, seseorang menjadi lebih religius saat terbaring di rumah sakit atau saat menjadi pesakitan dalam suatu proses hukum. Para terdakwa tadi, sebagai misal, mungkin memperlakukan peci itu sebagai simbul atau “obat spiritual” yang memberi pengaruh kepada dirinya (untuk siap lahir batin) atau memengaruhi hakim yang mengadili mereka.
Tetapi dalam pengalaman saya saat menjalani perawatan di rumah sakit, atau mendampingi keluarga yang sakit, aspek spritualitas itu jarang menjadi perhatian dokter atau perawat. Saat pertama masuk, yang diperiksa biasanya adalah denyut nadi, tekanan darah, pernafasan, dan suhu tubuh. Semua ini merupakan “virtual signs” karena keempat hal ini merupakan tanda-tanda vital (untuk hidup) kehidupan. Dokter juga menanyakan di mana kita merasa sakit, atau seperti apa sakit yang kita rasakan utk menambah kepada keempat tanda vital tadi.
Lalu, dengan mendasarkan pada amatan saya di atas, maka jangan-jangan spritualitas menjadi tanda keenam yang juga sangat penting. Saat berhadapan dengan wabah, orang-orang mungkin merasa perlu menambah ketaatannya sehingga dapat mengusir kegelisahan, merasa tenang, dan nyaman. Juga kemudian meningkatkan daya imunnya. Tentu saja mungkin karena sulit mengukur tingkat spritualitas itu, maka kebanyakan dokter kemudian tidak memberikan perhatian yang memadai kepada sisi spritualitas itu. Perawatan akhirnya fokus pada “caring” oleh dokter dan perawat.
Tetapi jika diperhatikan dengan seksama, menurut sains, dalam “caring” (yang dilaksanakan oleh dokter) terdapat elemen yang bernuansa spiritual, misalnya ada rasa kasihan (compassion), berbagi, memberi dukungan, menunjukkan empati, honesty, dan truthworthiness.
Dalam “caring” dokter juga menunjukkan bahwa dirinya memiliki kompetensi dalam pemulihan. Pengetahuan pasien terhadap kompetensi dokter yang merawatnya dapat memotivasi pasien untuk menerima pengobatan dengan sungguh-sungguh.
Sepertinya, sangat menarik jika ada riset ilmiah yang dilakukan sejauh mana misalnya aspek spritualitas yang meningkat selama sakit, atau saat menjalani perawatan, berperan dalam proses penyembuhan. Sudah sama kita mahfum tentang adanya keadaan-keadaan yang berlevel “mukjizat” misalnya dalam kasus seseorang sudah divonis “mati” secara medis tapi kemudian berhasil sembuh sedemikian rupa.
Demikian juga, para pasien yang positif corona, yang memiliki penyakit penyerta (comorbid), seperti jantung, hipertensi, diabetes, namun ternyata bisa pulang ke rumah, kembali dalam keadaan sehat, terbebaskan dari virus corona. Allah adalah Maha Menentukan. []