Oleh: Risman Rachman
CEO aceHBaru Consulting
100 Tahun Hasan Tiro, sosok yang namanya dipinjam dengan penuh hormat tapi tak ada yang bersedia (dengan jujur) menjadi Tiro-is-me.
Tiro memang merujuk suatu tempat yang terletak di kaki bukit Halimun. Tapi, lebih dari itu, secara eksistensial “tiro” menjelaskan difinisi manusia (ureung) yang ditakdirkan sebagai pejuang atau patriot untuk melanjutkan amanah sejarah.
Jika Tiro adalah difinisi yang menjelaskan siapa itu ureung Aceh yang ideal maka Aceh adalah tujuan, bukan lagi difinisi. Sebagai tujuan, Aceh adalah “proyek” imagine yang “tidak pernah selesai” (the unfinished).
Makanya, tantangan keacehan bukan pada bentuk final bagaimana Aceh, melainkan pada kemampuan menjelmakan Aceh di ruang waktu dan tempat dengan sehormat-hormatnya.
Itulah mengapa prasyaratnya adalah kolektif, bersama, dan seimbang. Sedikit saja ditarik dalam ekslusif, maka runtuhlah banggunan yang ingin dijelmakan, bahkan sebelum ada bentuknya.
Tapi, untuk sampai pada kesadaran itu, Anda wajib menyelami buku “The Price of Freedom – Catatan yang Belum Selesai” yang diterjemahkan oleh Haekal Afifa.
Buku ini banyak kelebihannya karena sudah dibantu dengan informasi dan tafsir yang membuat kita tetap sadar diri dalam memahami sebuah catatan.
Itulah kenapa saya terhenti pada keterangan Hasan Tiro tentang Nietzsche dengan satu pertanyaan: benarkah Hasan Tiro sudah mengerti pikiran Nietzshe atau sebatas meminjam teks-nya saja untuk menjadi alasan pembenar keputusannya untuk “pulang.”
Tapi, itu tidak begitu menganggu, ketimbang kesunyian yang dialami oleh Tirois seperti yang dialami Sang Penterjemah.
Dia mengaku sempat “berhenti” berbicara tentang pemikiran Hasan Tiro, dan baru “bergerak” lagi setelah mengalami “tamparan.”
Apa ini siklus hidup kita, yang harus “ditampar” konflik dan bencana baru menjadi, seperti besi yang harus dibakar dan dipukul untuk menjadi pedang???[]