SAGOETV| BANDA ACEH – Masa konflik Aceh bukan hanya dipenuhi ketegangan dan kecurigaan. Di sela bayang-bayang operasi militer dan patroli aparat, secangkir kopi sering menjadi jembatan antara dua pihak yang saling mengamati. Hal itu dirasakan langsung oleh Muhammad Awal , tokoh penggerak komunitas sepeda Aceh Basic Community (ABC), yang kini menjabat Direktur Yayasan IDEP Selaras Alam.
“Waktu itu kita sering ngumpul di warung kopi, baik di Ulee Kareng maupun Canai Mama. Sering juga duduk satu meja sama aparat, bahkan intel. Kita ngopi bareng sambil diskusi. Mereka tahu kita anak-anak muda yang aktif dan punya semangat positif, bukan bagian dari gerakan apa-apa,” kata Muhammad Awal dalam Podcast Sagoetv, ditayangkan Jum’at (27/06/2025) dipandu langsung Dr Mukhlisuddin Ilyas, M.Pd, CEO Sagoetv.
Di tengah masa konflik Aceh yang belum sepenuhnya reda pascatsunami 2004, Muhammad Awal atau yang akrab disapa Bang Awal, mengalami momen tak terlupakan: duduk ngopi semeja dengan aparat intelijen di sebuah warung kopi kecil di Aceh Jaya.
“Waktu itu saya masih relawan. Datang ke desa bawa data, bawa semangat, bukan bawa misi politik. Tapi tetap saja setiap gerak-gerik kami diawasi,” kenang Bang Awal.
Suatu sore, setelah seharian mengumpulkan data titik pengungsian, ia mampir ke sebuah warung untuk melepas penat. Di meja sebelah, duduk dua orang tak dikenal yang tampak mengamati gerak-geriknya. Tak lama, salah satu dari mereka memanggilnya.
“Duduk sini, Dek. Ngopi bareng kami,” kata salah satu pria tersebut, yang belakangan diketahui adalah intel.
Dengan sedikit canggung namun tetap tenang, Bang Awal duduk dan menerima ajakan itu. Ia paham betul bahwa saat itu, setiap pendatang—apalagi yang membawa peta, GPS, dan kamera—pasti dianggap mencurigakan.
“Saya jujur saja. Saya relawan dari UI, bukan LSM asing, bukan wartawan. Cuma anak Mapala yang ingin bantu masyarakat,” tuturnya.
Obrolan mereka awalnya kaku, penuh tanya. Tapi secangkir kopi mampu mencairkan suasana. Mereka akhirnya berbicara soal kondisi lapangan, kebutuhan masyarakat, dan bahkan soal keluarga. Tak disangka, kedua intel itu justru memberinya info penting tentang desa-desa yang masih terisolasi.
“Yang menarik, mereka ternyata juga prihatin. Mereka bilang: ‘Kami juga lelah, Bang. Tapi tugas tetap tugas’. Di situlah saya sadar, kadang di balik seragam dan kecurigaan, ada juga kemanusiaan,” ujarnya.
Momen itu menjadi titik balik bagi Bang Awal dalam memaknai kerja kemanusiaan di wilayah konflik. Ia belajar bahwa kadang, perjuangan tak melulu harus lewat aksi besar—tapi cukup lewat secangkir kopi, dan hati yang terbuka.
Hadirkan Komunitas
Komunitas sepeda ini awalnya hanya beranggotakan anak-anak muda perantauan yang tinggal di Banda Aceh, seperti dari Jakarta, Bandung, Medan, hingga beberapa aktivis lokal. Mereka rutin bersepeda setiap akhir pekan, menyusuri jalur-jalur eksotis seperti Mata Ie, Lambade, hingga Pucok Krueng.
“Waktu itu kita sepakat membentuk komunitas. Namanya Aceh Basic Community. Misi awalnya sederhana—mensepedakan Banda Aceh. Dulu belum banyak orang bersepeda. Kebanyakan cuma bapak-bapak naik sepeda ontel ke kebun,” ujarnya.
Seiring waktu, komunitas ini berkembang dan dilibatkan dalam banyak kegiatan, termasuk kerja sama dengan NGO dan instansi pemerintah. Bahkan, ABC pernah menggelar event besar funbike siaga bencana bersama BRR dan TDRMC. Salah satu yang berkesan, kata Bang Awal, adalah keikutsertaan mantan Kepala BRR, Kuntoro Mangkusubroto.
Tak berhenti di situ, komunitas ini juga melahirkan atlet-atlet sepeda downhill berbakat dari daerah, salah satunya dari Takengon yang sempat masuk peringkat delapan nasional.
“Sempat kami diminta ISI (Ikatan Sepeda Indonesia) untuk mengirim atlet ke PON. Sayangnya, karena keterbatasan anggaran dan miskomunikasi, pembinaan kurang maksimal. Akhirnya banyak talenta Aceh diambil provinsi lain,” ungkapnya.
Kini, Bang Awal mengabdikan diri sebagai Direktur Yayasan IDEP Selaras Alam yang berbasis di Bali. Yayasan ini memperkenalkan konsep permakultur atau pertanian berkelanjutan dan budaya lokal yang adaptif terhadap perubahan zaman.
“Kami punya prinsip peduli bumi, peduli sesama, dan berbagi secara adil. Aceh punya potensi luar biasa. Dari kopi, padi, jagung, sampai sumber daya manusia. Kalau semua dikelola dengan benar dan tak bergantung dari luar, saya yakin Aceh bisa jadi provinsi mandiri dan maju,” katanya.
Meski kini menetap di Bali, Bang Awal tetap menyimpan harapan besar untuk Aceh. “Saya ingin kembali membawa program IDEP ke Aceh. Ini tanah yang subur dan kaya budaya. Tinggal bagaimana kita mengelolanya dengan bijak dan lestari.” []
Untuk lebih lengkap simak link berikut ini :