Terlalu rumit untuk menjelaskan kepada anak sekarang mengenai sejumlah istilah yang dipakai para orang tua dulu. Marahet. Maop. Mareungge. Geunteut.
Masih ada yang percaya hal semacam itu? Tetapi makhluk tidak terlihat itu bukannya tidak ada. Ketika para orang tua mempersonifikasikan sesuatu yang diinginkan agar mudah tercapai tujuan mereka, maka posisi saat itu kreatif. Dengan zaman mereka, mungkin tidak ada sesuatu yang lain yang bisa diistilahkan dalam rangka membuat anak mereka percaya atas apa yang diinginkan mereka. Cara itulah, salah satunya.
Di luar konteks benar atau salah, percaya atau tidak, keliru atau tidak, masuk akal atau tidak, bahwa ada sesuatu yang ingin dirasiokan oleh para orang tua. Tidak ada bahasa lain untuk memudahkan mereka dalam menjaga anak-anaknya. Maka istilah yang direproduksi itu sekaligus diharapkan jadi pembatas dari arena jelajah anak. Ketika jelajah mereka sudah keluar dari jalur yang diijinkan, jurus pamungkas ini yang akan dipakai.
Dalam kehidupan sosial, jurus ini terkait internalisasi pola perilaku. Ketika saya masih kecil, saya mendapatkan istilah maop dan hantu dalam masyarakat. Istilah ini, boleh dibilang sebagai terminologi yang ragam makna. Di satu sisi, istilah itu kadang-kadang dimunculkan orang tua untuk menjaga batas jelajah anaknya, agar mudah dikontrol.
Bersama teman-temannya, seorang anak bisa bermain jauh ke hutan sekitar kampung untuk mencari buah-buahan. Jelajah demikian, bagi anak adalah permainan. Sedangkan bagi orang tua, perilaku demikian dianggap berisiko. Jusrus pamungkas yang dimunculkan, berangkat dari sisi ini, justru bisa menakutkan anak-anak. Dan jalan ini sepertinya sangat efektif.
Akan tetapi dalam kenyataan, jangan lupa, hantu itu juga bukan sesuatu yang sepenuhnya imaji. Ia bisa dirasakan nyata. Ada berbagai bentuk yang bisa ditangkap dalam masyarakat, seperti geunteuet, burong, atau jen. Anda yang tidak pernah melihat makhluk halus semacam itu, akan mengatakan itu sebagai reproduksi pengontrol. Akan tetapi tidak sedikit dari mereka yang pernah berhadapan –bahkan menghadapi dalam suasana yang sulit kita bayangkan.
Begitulah ketika isu semacam itu berhadapan dengan kehidupan kita. Antara ada dan tiada. Paling tidak, kita diuji sejauhmana kita peduli dengan anak-anak geneologis dan teoritorial kita. Sejauhmana kita kenal anak-anak tetangga, sehingga saat jumpa di tempat yang tidak seharusnya, apa yang akan kita lakukan? Konon lagi dalam suasana penculikan, sangat disayangkan bila ada orang yang dalam kampung tersebut tidak tahu menahu.
Konteks yang lain, adalah isu yang meresahkan. Sudah sejumlah gelombang munculnya isu yang begitu meresahkan. Tidak semua orang percaya. Berangkali dari pengalaman dan apa yang dilihat.
Sejumlah berita juga memperlihatkan hal yang sama. Ada berita yang memberitakan bahwa isu penculikan anak itu, tidak terjadi. Sementara sejumlah masyarakat mendapatkan pengalaman yang berbeda. Ada yang menjadi korban dari isu ini. Artinya ada yang tidak sekedar isu.
Ketika berbagai isu beredar, saya mendapatkan sejumlah foto yang menurut saya tidak seharusnya beredar. Namun apa boleh buat, media semacam ini menjadi lalu lintas yang terkesan tiada batas. Semua tersebar sedemikian rupa. Mereka yang mendapatkan sesuatu informasi pun, tidak semua mencoba menyelidiki dulu apa benar sungguh-sungguh atau hanya reproduksi kepalsuan yang tujuannya ingin membuat ketakutan dan keresahan massal.
Saya kira Anda juga mungkin memiliki pengalaman yang sama. Mengirim sesuatu yang membuat orang tertarik, tidak berapa lama, Anda yang mengirim akan menerima kiriman itu kembali. Untuk kiriman yang mungkin sudah diperdebatkan dan terbukti tidak benar, bahkan kita terima ketika debat itu masih belum terlupa.
Artinya ada sebagian orang, ketika menerima sesuatu, tidak membaca seutuhnya apa sebenarnya yang dimaksudkan. Dengan modal copy and paste, atau forward, tinggal menggeser jari di layar. Tidak terkecuali, hal semacam ini kadang-kadang dilakukan oleh orang yang kita kagumi.
Begitulah, tabayun, seharusnya ada dalam benak masing-masing orang. Sehingga begitu mendapatkan sesuatu, terutama yang berakibat serius bagi banyak orang, seharusnya dibaca dulu berulang kali untuk memastikan bahwa informasinya itu benar dan tidak keliru. Namun entah siapa yang peduli?