Oleh: Sahlan Hanafiah
Staf Pengajar Program Studi Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Baru baru ini, Chelsea, klub sepak bola Inggris yang bermarkas di kota London memecat Frank Lampard dari kursi pelatih. Banyak pihak terkejut dengan pemecatan itu mengingat Lampard merupakan pemain bintang pada eranya dan telah dianggap sebagai the legend. Selain itu, ia baru menjabat 18 bulan, waktu yang sangat singkat untuk membesut tim sepak bola.
Namun yang menarik perhatian saya adalah alasan pemecatan Frank Lampard dari kursi pelatih, yaitu karena perjalanan klub dianggap tidak jelas arah dan tujuan di tangannya.
Ibarat sopir bus, Chelsea yang dikemudikan Lampard dengan tujuan menuju puncak prestasi dinilai berjalan sangat lambat, bahkan sesekali berjalan mundur kebelakang. Jalan yang dipilih Lampard juga bukan jalan tol bebas hambatan, melainkan jalan berliku yang tidak jelas kapan akan sampai ke tujuan. Situasi ini membuat penumpang (pemain) gundah, sanak famili (supporter) yang menunggu di terminal menjadi panik, dan pemilik bus (pemilik klub) kehilangan kesabaran dan kepercayaan.
Padahal pemilik perusahaan telah menyiapkan bus dalam kondisi sempurna. Semua infrastruktur (pemain) dibeli dalam kondisi baru dari bursa jendela transfer musim panas lalu dengan dana fantastis mencapai 220 milyar poundsterling.
Chelsea bahkan merupakan satu satunya klub sepak bola di Eropa musim ini yang berbelanja pemain dalam jumlah sebesar itu. Infrastruktur (pemain) yang dibeli juga bukan kualitas KW, tiruan atau produk gagal. Mereka adalah pemain top, kombinasi pemain muda dan senior penuh talenta dan sarat pengalaman. Sehingga tidak ada alasan bagi Frank Lampard menyalahkan kualitas pemain yang baru dibelinya.
Karena itu, wajar jika pemilik klub dan supporter menaruh harapan tinggi terhadap Frank Lampard agar klub yang dikemudikannya menempuh perjalanan dengan menyakinkan menuju puncak prestasi dan terminal juara.
Namun kenyataannya, setelah bermain 20 kali, Chelsea berada diurutan ke 9 klasemen sementara, dengan 30 raihan poin, terpaut 11 poin dari Manchester City yang berada di puncak klasemen dan baru bermain 19 kali. Jika Chelsea tetap berada di posisi tersebut hingga akhir musim, maka klub kaya raya itu akan kehilangan peluang bermain di Liga Champion musim depan.
Lalu apa hubungannya mengaitkan klub Chelsea dan pemecatan Frank Lampard dengan Aceh? Tidak ada hubungan apapun. Dalam tulisan saya hanya ingin menggunakan situasi klub sepak bola yang terkenal dengan julukan The Blues sebagai bahan refleksi untuk Aceh. Sebab, salah satu kemiripan Chelsea dan Aceh adalah sama-sama kaya.
Terutama sejak 2008 Aceh menerima dana Otonomi Khusus setiap tahun dalam jumlah cukup besar. Tahun 2008 misalnya Aceh menerima hampir 4 triliun rupiah dan setiap tahun hingga sekarang angka tersebut mengalami peningkatan berlibat ganda menjadi puluhan triliun rupiah. Penerimaan dana tersebut akan berakhir 2028 sesuai amanat UUPA.
Kekayaan Aceh tidak hanya dana yang datang dari berbagai sumber anggaran, tapi Aceh juga memiliki sumber daya alam melimpah yang belum terkelola dengan baik. Namun yang membedakan Chelsea dengan Aceh adalah ambisi, target, capaian dan ekspektasi.
Sebagai klub sepak bola, dengan kekayaan yang mereka miliki, Chelsea mempunyai visi dan ambisi yang jelas, yaitu menjuarai setiap kompetisi. Lalu apa visi dan ambisi Aceh dengan kekayaan yang dimiliki saat ini? Dengan kata lain, kemana arah dan tujuan pembangunan Aceh kedepan, apa saja target selama dana Otonomi Khusus masih dalam genggaman tangan? Silakan pembaca mencari jawaban dengan cara, pengetahuan dan kenyakinan masing-masing.
Chelsea menaruh ekspektasi yang jelas terhadap pelatih dan manajernya, minimal tim bermain konsisten setiap pertandingan dan dapat bermain di Liga Champion musim depan. Lalu apa ekspektasi anggota dewan yang mewakili rakyat Aceh di parlemen sebagai ’pemilik Aceh’ terhadap manajernya (gubernur, bupati dan wali kota)?
Sejuah ini kita belum mendengar adanya visi dan ambisi yang jelas dari ’pemilik Aceh’ yang sedang duduk di kursi empuk parlemen, seperti ambisi menjadikan Aceh sebagai provinsi juara dalam bidang pendidikan berkualitas, juara pelayanan publik, juara menurunkan angka kemiskinan , juara meningkatkan jumlah lapangan kerja, juara menurunkan kasus korupsi, juara memperbaiki citra provinsi intoleran.
Disisi lain kita juga belum pernah mendengar adanya ekspektasi yang ditaruk di atas pundak ’manajer’ (gubernur, bupati, wali kota) oleh ’perwakilan pemilik Aceh (wakil rakyat) terhadap target yang harus dicapai selama lima tahun menjabat, seperti yang Roman Abrahamovic lakukan terhadap pelatih Chelsea yang ditunjuknya selama ini.
Meski Aceh kaya anggaran dan sumber daya alam, tapi pemiliknya tidak memiliki visi, ambisi dan ekspektasi, maka kekayaan Aceh hanya akan menjadi petaka dan bencana sekarang dan dikemudian hari.
Seumpama klub sepak bola, jika pemilik daerah (wakil rakyat) tidak memiliki visi dan ambisi dalam menjadikan daerahnya maju dan berkembang, kepala daerah tidak mendapat tekanan dan ekspektasi apapun dari pemilik daerah (wakil rakyat), maka daerah tersebut dipastikan lambat laun akan terjun bebas ke zona degradasi, menjadi daerah tertinggal.
Disinilah kadangkala kita membanyangkan, andai semua anggota dewan di Aceh seperti Roman Abrahamovic, dan andai kepala daerah seperti Pep Guardiola, maka Aceh dengan kekayaan yang dimiliknya sekarang dapat dipastikan akan selalu berada di puncak klasemen, meraih prestasi setiap tahun, mengalahkan provinsi lain di Indonesia.[]