Oleh: Burhan Anshari, MA.
Analis geopolitik Timur Tengah, pernah bekerja pada Kedubes Indonesia di Tehran, Iran.
Gencatan Senjata dan Jeda Kemanusiaan antara pemerintahan Palestina di Gaza dan Israel telah dimulai 24 November lalu, dalam perjanjian itu Hamas telah berhasil memaksa Israel untuk menerima semua butir Gencatan Senjata, perjanjian ini sempat hampir batal karena PM Netanyahu berat untuk menyetujuinya setelah penolakan keras dari Petinggi Keamanan dan Militer serta Mahkamah Agung Israel, namun Israel akhirnya menyetujui persyaratan Hamas, Netanyahu meyakinkan mereka bahwa setelah gencatan senjata ini “Serangan besar-besaran dengan kekuatan penuh” terhadap Gaza akan dijadikan sebagai gantinya.
Netanyahu sebenarnya saat ini seperti makan buah simalakama, jika dia melanjutkan perang, maka kerugian besar dipihak Israel dalam perang Gaza yang selama ini ditutup-tutupi akan semakin tampak dan konflik akan segera meluas menjadi masalah regional, namun jika dia menerima Gencatan Senjata paling tidak dia punya waktu berfikir selama 4 hari untuk mengatur langkah berikutnya, baginya ini adalah opsi lebih aman dalam keadaan terdesak.
Netanyahu tampaknya telat menyadari bahwa jika pun dia memilih opsi Gencatan Senjata, kalkulasi kerugian Israel juga tidak dapat ditutup-tutupi, bahkan jadi lebih parah hingga membuat kedudukannya sebagai Perdana Menteri digoyang dan terancam digulingkan oleh partainya sendiri.
Betapa tidak, butir gencatan senjata setiap 1 orang Israel yang dibebaskan Hamas maka Israel harus membebaskan 3 orang Palestina sebagai imbalannya jelas-jelas menunjukkan kekalahan Israel, bahkan dari 1 orang yang dibebaskan Hamas itu, hanya anak-anak dan para lansia, kebalikan dari Hamas yang meminta pembebasan tokoh-tokoh penting dalam perjuangan Palestina yang telah dipenjara Israel bertahun-tahun sebagai imbalannya, Israel seperti menerima tamparan keras dua kali pada butir perjanjian ini.
Menariknya, dari 150 nama tahanan Palestina yang diminta Hamas, Hamas menuntut 72 orang tahanan yang berasal dari Tepi Barat untuk dibebaskan (Keyhan) , sebuah tindakan negarawan terhadap perjuangan seluruh warga Palestina walaupun dibawah kekuasaan Otoritas Palestina pimpinan Mahmoud Abbas. Jelas ini adalah sebuah kemenangan mutlak bagi perjuangan kemerdekaan Palestina secara umum yang membuat Israel seperti tertampar berkali-kali.
Menyadari kesalahan langkah ini, Netanyahu mencoba membuat aturan yang justru semakin membuat runyam keadaan para tahanan yang dibebaskan oleh Hamas, diantaranya melarang wartawan untuk mewawancarai mereka atau kerabatnya, melarang mengadakan upacara penyambutan bahkan di kediaman mereka, serta melarang berkumpul di kediaman mereka.
Netanyahu khawatir kasus Yocheved Lifshitz dkk yang mengumumkan perlakukan baik Hamas selama mereka di tahanan meruntuhkan doktrin yang selama ini dibangun oleh rezim ini terhadap muslim Arab Palestina.
Namun tindakan ini justru semakin memperjelas kedudukan Israel bahwa ternyata dalam opsi Gencatan senjata pun kelemahan, kegagalan, kekalahan dan kehinaan Zionis Israel tidak dapat dibendung lagi. Mungkin saja untuk menutupi malu yang sangat besar di mata dunia, mereka akhirnya akan membatalkan gencatan senjata sebelum waktunya, atau jika mereka meneruskannya apalagi memperpanjangnya, maka kekalahan Israel semakin nyata.
Betapa tidak, di medan pertempuran militer Zionis telah mengalami kerugian yang sangat besar, dari 1.600 Tank dan kendaraan lapis baja yang dikerahkan ke Gaza (SNN), sedikitnya 355 unit telah dihancurkan oleh Hamas dalam 48 hari (RT). Bahkan Israel terpaksa membatalkan proses penjualan ratusan Tank Merkava edisi lama militernya ke Ukraina dan Polandia untuk dipakai kembali dalam perang Gaza (Tasnimnews) .
Sementara kerugian personil, walaupun secara resmi Israel mengatakan telah kehilangan sedikitnya 390 orang personil militernya di Gaza, namun mengutip analis militer Iran, Vahid Samadi mengatakan jumlah yang sebenarnya kemungkinan besar melebihi angka tersebut, Samadi menyebut angka 400-600 orang atau bahkan 800 orang dalam analisanya jika kita menghitung berdasarkan jumlah personil yang menumpangi kendaraan militer tank Merkava sebanyak minimal 4 orang, dan panser “Nimr” kurang lebih 10-12 orang dengan melihat jumlah kendaraan tersebut yang berhasil dihancurkan Hamas, sementara korban militer yang terluka diperkirakan menyentuh angka 1.200 hingga 2.400 orang dengan melihat medan dan sengitnya pertempuran (Farsnews) .
Tentunya ini belum termasuk kondisi psikis prajurit Israel di Frontline yang melemah serta menginginkan penghentian segera perang di Gaza.
Hal ini jika ditambah dengan kerugian ekonomi Israel selama agresi ke Gaza berlangsung, maka adalah wajar kerugian ekonomi yang menembus 269 juta dolar per hari atau 4 triliyun Rupiah lebih/hari seperti yang ditulis Sharon Wrobel mengutip Moody (The Times of Israel) akan mengakibatkan Israel terancam bangkrut dan bubar. Moody memperkirakan total biaya perang Israel kali ini akan memakan 10% GDP ekonomi Israel.
Perang Israel Akan Berlanjut?
Jika dilihat dari situasi dan kondisi saat ini yang sedang menguntungkan Hamas secara khusus dan poros Perlawanan Palestina pada umumnya, maka kalaupun Israel memutuskan untuk menghentikan agresinya terhadap Gaza, besar kemungkinan Hamas akan tetap melanjutkan perjuangan kemerdekaan Palestina hingga semua wilayah yang diduduki Zionis berhasil dikuasai kembali oleh perlawanan Palestina. Begitu pula jika Israel memutuskan untuk melanjutkan perang pasca Gencatan Senjata atau sebelum gencatan senjata berakhir maka perang akan meluas menjadi konflik regional Tentunya hal ini memiliki konsekuensi yang berat bagi Kawasan khususnya Timur Tengah.
Amerika Serikat dalam berbagai penyataan sangat mewanti-wanti kawasan untuk tidak ikut campur dalam perang ini, namun jika ketidak ikut campuran negara-negara poros perlawanan pun akan membuat Israel kalah, maka bagi Amerika Serikat tidak ada cara lain selain semakin terlibat dalam konflik tersebut yang tentu akan mengundang rival lainnya yang memiliki “dendam” yang belum terbalaskan untuk bergabung.