Oleh: M. Adli Abdullah.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Indonesia dan Aceh, dapat dilihat dari masing- masing perspektif. Indonesia bisa dilihat dalam perspektif Aceh. Pun Aceh bisa dilihat dari perspektif Indonesia. Ada cara pandang dua arah, yang seyogianya menempatkan kita untuk saling bisa interaksi dan melihat dengan kaca mata yang penuh persaudaraan.
Saya pernah mengajukan sejumlah pertanyaan. Apakah ketika memperbincangkan Indonesia dan Aceh, dari mana ia harus kita mulai? Indonesiakah yang harus melihat Aceh? Ataukah Acehkah yang harus melihat Indonesia? Indonesiakah dalam perspektif Aceh? Atau Acehkah dalam perspektif Indonesia?
Pertanyaan di atas, masih bisa dibolak-balik untuk konteks yang saya sampaikan. Jawaban dari pertanyaan tersebut bisa lahir ketika kita bisa membuang ego ke-aku- an yang menyeringai dalam kehidupan kita dewasa ini. Artinya, semua pertanyaan di atas bermuara pada kemauan masing-masing pihak untuk “melihat” dan “dilihat”.
Rumus itulah yang barangkali harus kita dalami kembali. Bahwa selama ini, kita, entah elit atau bukan elit, melupakan banyak “latar belakang” yang pernah terjadi. Seolah-olah kita ada seperti “saat ini” kita ada. Padahal tidak. Kita ada saat ini, karena ada latar bela- kang yang panjang. Saya kira, latar belakang panjang tersebutlah yang mesti dihadirkan setiap saat ketika kita ingin melihat Aceh dan Indonesia dalam arah yang berbeda-beda. Bahasan tentang pentingnya “Indonesia melihat Aceh”, sama pentingnya dengan “Aceh melihat Indonesia”.
Aceh dan Perang?
Ada satu tulisan saya yang berjudul “Acehkah Saya?, di harian Serambi Indonesia, pada tanggal 18 Juni 2008. Dalam tulisan tersebut saya menelusuri benarkan Aceh sebagai bangsa yang identik dengan perang. Alhamdulillah, konflik sudah berakhir. Tapi banyak pelajaran yang bisa dipetik. Dalam buku Hamid Awaluddin, Damai di Aceh: Catatan Perdamaian RI-GAM di Helsinki pertengahan Mei 2008 mencemeti saya untuk mendapatkan keterangan tersebut.
Begitu juga dalam buku Jusuf Kalla (JK), ia mengisahkan pengalamannya bertemu dengan seorang tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Amsterdam. Pada waktu itu, ia berkata, kira-kira begini: Anda hebat perang, tapi tidak mungkin mengalahkan Indonesia, tapi kami susah juga mengalahkan GAM. Sudah 30 tahun kita berperang, mengapa kita tidak berjabat tangan saja? Dan benar, tak lama setelah itu, JK berhasil meyakinkan pentingnya perdamaian di Aceh.
Namun catatan panjang perang juga terjadi di Aceh. Pernyataan Sultan Alaidin Mughayatsyah (1514-1530) untuk melepaskan diri dari Kerajaan Pasai pada tahun 1519 yang telah dikuasasi oleh Portugis, sepertinya menjadi bagian sejarah perang yang panjang di Aceh. Tahun 1524 M Pasai dibebaskan dari Portugis. Perang Aceh dengan Portugis berlangsung selama 121 tahun (1520-1641).
Namun tidak semuanya berupa catatan Perang. Tongkat estafet Mughayatsyah kemudian, juga ada yang bercerita Manis. Kegemilangan Aceh sebagai salah satu kerajaan besar merupakan bagian dari cerita manis tersebut. Di samping cerita pahit tentang ”perang internal” yang pernah berlangsung.
Dalam cerita perang, biasanya selalu ada hal penting yang selalu menjadi kekuatan –hingga Aceh kemudian menjadi satu kekuatan penting di Asia Tenggara, yakni adanya musuh bersama, dan Islam. Dua hal inilah yang memungkinkan perang terus berlangsung, bahkan ketika Belanda mau menguasai Aceh. Perang dengan dua hal tersebut, bagi Aceh tempo dulu seperti bu lukat (nasi ketan). Tidaklah mengherankan, pengaruh dua hal ini juga terpengaruh hingga berbagai kekayaan budaya yang berlangsung hingga kini, misalnya atribut (rencong), pakaian, rumah, dan adat-istiadat.
Catatan penting perang panjang Belanda di Aceh adalah 26 Maret 1873. Berlusin-lusin buku kedahsyatan perang di Aceh ditulis oleh tentara Belanda yang ”kalah” perang di Aceh.
Ada yang menarik lain, yakni simbol agama yang dikekalkan dalam suasana dayah, sebagai pusat sumber ilmu agama Islam tempoe doeloe. Ketika Aceh hendak dijajah, semua suku dan ulama di Aceh sepakat melawan penjajahan. Karena itu, konsep kebencian orang Aceh terhadap penjajahan, bukan karena kebencian etnisitas atau sejarah, tetapi karena melawan penindasan atau penjajahan merupakan jihad. Hal itu dibuktikan oleh Tgk Chik Kuta Karang dengan karyanya kitab “Hikayat Prang Sabi” yaitu membakar semangat orang Aceh melawan penjajah dengan ideologi agama.
Dalam konteks etnis, orang Aceh adalah orang yang berjiwa kosmopolitan alias bisa menerima siapa saja atau suku bangsa apapun. Untuk mengelompokkan etnisitas, sistem kerajaan Aceh menyusun kependudukan berdasarkan negeri asal suku bangsa tersebut, sebagai- mana dilukiskan dalam hadih maja ”Sukee lhee reuthoh bak aneuk drang, Sukee ja sandang jeura haleuba, Sukee tok bate na bacut bacut, Sukee imuem peut yang gok-gok donya”.
Sukee di sini dalam kata lain artinya suku sehingga hadih maja ini menggambarkan keragaman suku bangsa di dunia yang berdomisili di Aceh.
Semuanya berhasil disatukan oleh sultan Alaidin Riayatsyah Al Qahhar (1537-1565) di bawah panji Islam dan terayomi di bawah payung kerajaan Aceh Darussalam.
Suku lhee reutoh diumpamakan bak aneuk drang, berarti seperti pohon padi yang tumbuh kembali setelah musim panen. Bahasa lain adalah sebuah pengambaran tentang suku tiga ratus ini banyak sekali dibandingkan dengan suku lain yang berada di tanah rencong. Kelompok suku tiga ratus ini di antaranya Batak Karee, Mante, Gayo, Alas, dan Kluet. Sebagian Batak Karee saat itu berdomisili di Lampanah dan Lamteuba, Aceh Besar. Sedangkan pendatang dari India dan kawin dengan penduduk asli mareka dikelompokkan dalam suku ja sandang.
Marcopolo, seorang pengembara Venetia, Italia yang mengaku pernah tinggal di kerajaan Pasai selama lima bulan pada tahun 1292 M di zaman pemerintahan Malikussaleh. Dalam catatan hariannya The Travel of Marcopolo melukiskan, di Pasai banyak sekali berdomisili orang India, mereka kawin dengan penduduk asli setempat. Al Qahhar juga mengakui keberadaan imigran Arab, Cina, Jawa, Bugis, Jamee, Semenanjung tanah Melayu. Mereka ini dimasukkan dalam suku Tok Batee yang diistilahkan na bacut bacut (kaum minoritas), mereka menguasai perdagangan dan bisnis.
Sedangkan mantan para pemimpin yang tersisih atau diusir dari negerinya akibat berlawanan alur politk di negara asalnya, yakni semacam polical asylum (suaka politik) sekarang, dikelompokkan dalam Suku Imuem Peut, kelompuk ini digambarkan mampu menggoncang- kan dunia, karena ilmu pengetahuannya. mereka dianjurkan kawin dengan penduduk Aceh Asli agar melahirkan keturunan cerdas.
Inilah sebenarnya kunci persaudaraan dalam tradisi bu leukat (nasi ketan). Bahwa perbedaan di Aceh adalah sebuah keniscayaan sejarah. Perbedaan tersebut berhasil menghela perhatian dunia internasional. Karena itu, untuk membangun Aceh, semangat juang dan Islam adalah sebuah prioritas yang tidak dapat dihindari.
Nama Aceh dan Orientasi Masa Depan
Teungku Sjech Muhammad Noerdin (Aboebakar Atjeh: 1973), yang banyak sekali membatu Snouck dan Hoesain dalam mencari data tentang Aceh, mengatakan nama Aceh berasal dari Aca, yang artinya saudara perempuan. Dalam kajian ilmiah, sepertinya belum diketahui persis kapan nama Aceh pertama kali muncul. Dalam hikayat Marong Mahawangsa (517 H, 1220 M), yang menciptakan asal muasal negeri Kedah, Malaysia, negeri Aceh tersebut sebagai salah satu negeri di pesisir pulau Perca (Sumatra). Namun pelaut-pelaut asing seperti Cina, Arab, Barat seperti Marcopollo, Ibnu Batutah, Ma huan, dan lain-lain menggunakan bermacam macam istilah untuk negeri Aceh yang kita kenal sekarang ini seperti Basma (Pasai), Ferlec (Perlak), Dagrodian (Gayo), Fansoer (Barus) Lamoeri, Rami, Lambri (Aceh Besar), Poli (Pidie).
Dalam catatan Zheng He (Cheng Ho) misalnya waktu singgah di Sabang, dia singgah disana dan berjumpa sekitar 20-30 penduduk. Mereka masing-masing mengaku dirinya sebagai raja. Jikalau ditanya siapa pemimpin di sini, jawabnya tidak lain dari “Aku raja”. Sungguh lucu! Kata Cheng Ho, Pulau itu berada di bawah kekuasaan Lambri (Aceh Besar). Demikianlah menurut catatan Ma Huan pada abad ke-15 (Kong Yuanzhi: 2000).
Mengenai asal usul masyarakat Aceh, HM. Zainuddin (1961), mengatakan bahwa orang dari suku Batak/Karee membentuk kaum Lhee Reutoih. Orang asing lainnya seperti Arab, Persia, Turki, Keling (dagang), Melayu semenanjung, Bugis membentuk kaum Tok Batee Sultan berasal dari kaum Tok Batee. Kaum percampuran dari Hindu dan Batak Karee membentuk group baru menjadi kaum Ja Sandang. Pimpinannya diberi gelar dengan panglima kaum dengan gelar kaum imeum peut.
Sedangkan orang Gayo, sebagaimana dikutip Gerini (Zainuddin, 1961) menghubungkannya dengan Dagroian sesuai dengan catatan-catatan Marcopolo. Menurutnya, Dagroian berasal dari kata-kata drang – gayu, yang berarti orang Gayo.
Masyarakat tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Perubahan itu bisa saja berpunca di dalam masya- rakat itu sendiri atau bersumber dari luar lingkungan masyarakat yang bersangkutan.
Aceh mempunyai comparative advantage karena menjadi pusaran dunia, transit pertama sebelum ke bagian Nusantara. Hal ini tersurat dalam dalam hadih maja yakni:
Aceh Meulayu Datu Sirungkoom, Asai awai phon di naggroe Dewa, Aleuh Nibaknyan Hindi dengan Rom, Datang meu ron ron u pulau Ruja.
Bukankah ”keterbukaan” Aceh adalah corak mini dari bangsa yang besar ini? Sebuah bangsa yang kemudian berusaha dengan segala tenaga menutup ruang budaya bagi bangsanya. Dari ditutup ruang inilah lahir kekuatan untuk menyadarkan–yang oleh sebagian pihak disebut sebagai pergolakan. Bila sejarah gejolak di Aceh lahir dari proses tersebut, maka tepatkah bila disebutkan sebagai Aceh sebagai pemberontak?
Setiap waktu selalu melahirkan momentum tertentu. Saya berharap, momentum ini yang selalu dimanfaatkan. Kalah dan menang dalam satu pemilihan adalah satu hal. Namun hal krusial lain yang menurut saya penting adalah tidak menjadikan itu sebagai dasar dalam proses membangun.[] Sumber: Sebagian isi buku, “Aceh 2020, Diskursus Sosial, Politik, dan Pembangunan”. []