Oleh: Jeriko Abadi Putra.
Alumni Sekolah Muda Toleran Angkatan 2020.
Laporan tentang Indeks Kota Toleran (IKT) tahun 2018 yang disusun oleh SETARA Institute menunjukkan bahwa Kota Banda Aceh masuk ke dalam sepuluh kota dengan skor toleransi terendah. Hasil laporan IKT tersebut ditolak oleh tokoh-tokoh lintas agama (Islam, Hindu, Budha, Kristen dan Katalik) di Banda Aceh. Walaupun demikian, indikator penilaian IKT tidak hanya sebatas ada toleransi antar etnis dan umat beragama, masih ada beberapa indikator lain seperti regulasi pemerintahan kota yang membuat nilai Kota Banda Aceh rendah. Direktur Riset SETARA Institute, Haili juga menyatakan bahwa skor tingkat toleransi yang rendah terhadap Kota Banda Aceh bukan diartikan Banda Aceh sebagai kota yang intoleran.
Menurut Andini dalam tulisannya tentang Barongsai yang terbit di Jurnal Kajian Seni tahun 2015, pertunjukkan barongsai bukan hanya menyangkut seni dan tari, tetapi juga identitasi, begitu juga dengan liong. Sebagai salah satu identitas etnis Tionghoa, kesenian barongsai dan liong dapat memperkaya keberagaman di bidang seni dan budaya. Seni liong dan barongsai membutuhkan ruang publik dalam pementasannya, karena itu, perlakuan seni barongsai dan liong dapat dijadikan indikator toleransi terhadap seni dan budaya etnis Tionghoa di daerah tersebut. Pada artikel ini, dibahas perkembangan liong dan barongsai di Kota Banda Aceh untuk menunjukkan tingkat toleransi di Banda Aceh terhadap kebudayaan dan seni barongsai.
Tim Barongsai di Banda Aceh.
Setidaknya ada tiga tim barongsai yang terbentuk di Aceh, yaitu tim Dragon Fighter, tim Macan Putih (MP) dan tim Golden Dragon (GD). Sasana tim Dragon Fighter berlokasi di Kota Sabang sedangkan tim (MP) dan tim GD berada di Banda Aceh. Lahirnya tim barongsai Macan Putih (MP) maupun Golden Dragon (GD) adalah berkat kerja sama antara Yayasan Hakka Aceh (YHA) dan American Friends Service Committee (AFSC) yang memprogramkan pembentukan dan pelatihan kesenian barongsai di Aceh, khususnya di Kota Banda Aceh. Maka terbentuknya tim MP yang dibina yang oleh Wihara Dharma Bakti dan tim barongsai GD yang dibina oleh YHA. Pada tulisan ini, akan dibahas lebih detail tentang perjalanan barongsai GD karena tim barongsai GD adalah tim yang masih aktif di Banda Aceh dan terdaftar dalam Federasi Olahraga Barongsai Indonesia (FOBI).
Perjalanan Tim Barongsai GD di Banda Aceh.
Barongsai adalah kesenian etnis Tionghoa yang merepresentasikan singa yang gagah dan berani sedangkan liong merepresentasikan naga. Seni barongsai sudah mengalami komodifikasi, agar sesuai dengan perubahan dan kebutuhan zaman. Arif dalam jurnal Kawistara yang terbit ditahun 2016 menyatakan bahwa seni barongsai tidak hanya dipakai untuk kegiatan sakral atau ritual tetapi sudah lebih kepada fungsi estetis dan hiburan, barongsai juga dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya etnis Tionghoa saja. Komodifikasi ini juga terjadi pada tim liong dan barongsai GD di Banda Aceh. Bahkan, liong dan barongsai tidak digunakan sebagai alat ritual atau kegiatan sakral, namun lebih kepada kegiatan kebudayaan, hiburan, dan olahraga.
Seni Liong dan Barongsai di Banda Aceh pada awal pembentukannya selalu berusaha agar dapat tampil pada pentas seni atau kebudayaan. Usaha ini dilakukan agar seni liong dan barongsai dapat dikenal dan diterima masyarakat. Salah satu pentas seni yang dimeriahkan barongsai adalah Festival Peunayong yang telah diselenggarakan pada tanggal 6-7 Mei 2011 dalam rangka menyambut HUT Kota Banda Aceh ke 806. Kegiatan-kegiatan multikultural semacam Festival Peunayong merupakan media interkomunal (interaksi sosial lintas etnis atau agama) di Banda Aceh. Pentas budaya ini tentunya dapat meningkatkan keharmonisan, kerukunan, dan perdamaian antar etnis dan agama sekaligus membantu mengurangi ketegangan sosial dan meningkatkan pemahaman masyarakat lintas agama dan budaya.
Perjalanan tim barongsai GD di Banda Aceh dan sekitarnya tidak serta-merta tanpa hambatan. Sempat terjadi pelarangan pertunjukkan liong dan barongsai di Banda Aceh pada bulan Agustus 2012 lalu pada acara peringatan tujuh tahun perdamaian Aceh. Alasan pe-larangannya adalah untuk menghormati Bulan Ramadhan. Walaupun demikian, keputusan pemerintah itu dikritisi oleh Jaringan Masyarakat Sipil untuk Perdamaian (JMSP) lewat juru bicaranya. Pelarangan pertunjukkan seni barongsai dari Pemkot Banda Aceh tidak mematikan semangat dari tim barongsai GD. Selain itu, sikap menerima atau toleransi masyarakat Aceh juga menjadi faktor penting bertahannya tim barongsai GD. Andaikan masyarakat Aceh menolak barongsai, maka seni barongsai di Aceh tidak akan hidup sampai saat ini.
Pengurus Yayasan Hakka Aceh sebagai pembina tim GD memandang bahwa sebagian kalangan masyarakat terutama dalam kalangan pemerintahan masih mengira bahwa kebudayaan liong dan barongsai adalah kebudayaan asing. Oleh karena itu, pelarangan pementasan liong dan barongsai harus disikapi dengan arif. Dalam menanggapi hal ini, Yayasan Hakka Aceh terus melakukan konferensi pers berkelanjutan dan audiensi untuk memaparkan bahwa kebudayaan barongsai itu adalah bagian dari kebudayaan Indonesia. Alhasil, Pemkot Banda Aceh mulai menerima dan terbuka terhadap seni barongsai dan liong. Seni liong dan barongsai pada akhirnya dapat digelar di ruang publik hanya dengan melengkapi surat izin.
Tim barongsai GD juga mengajak kelompok seni dan budaya di Banda Aceh seperti kelompok seni Seudati dan Rapa’i geleng untuk berkolaborasi. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa seni liong dan barongsai tidak eksklusif dan dapat berbaur dengan seni kebudayaan lain. Alhasil, tarian Liong dan Barongsai, terutama yang melakukan kolaborasi dengan seni lokal Aceh semakin diminati masyarakat. Sejak saat itu, tim barongsai GD mendapat banyak permintaan untuk menampilkan kolaborasi antara tarian Seudati atau Rapa’i geleng dengan liong atau barongsai. Kolaborasi antara tarian Seudati dan barongsai juga ada dilakukan oleh tim barongsai MP, atraksi kolaborasi ini ditampilkan pada saat imlek 2565 di Banda Aceh Tahun 2014.
Tim Barongsai GD selain berfungsi sebagai seni dan kebudayaan juga berfungsi sebagai olahraga di Aceh. Barongsai menjadi olahraga resmi di Indonesia sejak terbentuknya Federasi Olahraga Indonesia pada tahun 2012. FOBI menaungi tiga jenis olahraga barongsai yaitu liong, barongsai, dan peikingsai. FOBI Aceh sendiri terbentuk pada tahun 2014. Tim Barongsai GD aktif dalam kejuaraan Nasional yang diselenggarakan FOBI sejak tahun 2015.
Tim barongsai GD pada Kejuaraan Nasional yang diselenggarakan FOBI, menunjukkan identitas Aceh dengan menggunakan pakaian adat Aceh dan kolaborasi alat musik dan tarian Aceh dengan alat musik dan gerakan barongsai. Kombinasi dua kebudayaan itu berhasil mengantarkan GD menjadi juara III pada saat PON XIX tahun 2016 di Jawa Barat. Tim GD terakhir kali juga memakai pakaian adat Aceh pada turnamen internasional di ajang Festival 2019 China Gongyi Cooper Camel Cup Hakka Dragon and Lion Dance International Invitational Tournament seperti yang terlihat pada gambar 2. Keikutsertaan tim barongsai GD dalam pertandingan nasional FOBI tidak lepas dari bantuan pemerintah provinsi Aceh yang memberikan bantuan dana untuk akomodasi dan logistik atlet barongsai, hal ini merupakan bukti konkrit barongsai Aceh dipercayakan untuk mewakili Provinsi Aceh.
Gadis Muslim Pemain Simbal Barongsai.
Wahyudiarto dalam Acintya Jurnal Penelitian Seni Budaya yang terbit tahun 2019, menuliskan bahwa kesenian Liong dan Barongsai di Jawa tidak hanya didominasi oleh warga etnis Tionghoa, banyak warga dari etnis Jawa yang ikut sebagai pemain, bahkan dari kalangan ABRI yang pada masa orde baru sangat menentang seni ini, sekarang juga memiliki kelompok liong dan barongsai. Hal yang serupa juga terjadi di Aceh. Ada dua perempuan berjilbab yang ikut dalam tim GD. Nama mereka adalah May Sarah dan Ratih Puspa Sari. Pada tahun 2013, dengan restu orang tua mereka, May dan Ratih diterima dalam keluarga tim barongsai dan liong GD. Mereka latihan sebagaimana tim GD latihan. May dan Ratih diposisikan oleh pelatih GD sebagai pemain simbal.
Penampilan May dan Ratih pada saat atraksi barongsai menjadi sorotan publik. Banyak media yang tertarik untuk mewawancarai mereka berdua. Dalam wawancara mereka mengatakan bahwa barongsai itu menarik dan anggota-anggota GD memperlakukan mereka dengan baik. Beberapa tahun kemudian, Ratih bahkan mengungkapkan kepada media bahwa ia menganggap anggota tim GD seperti keluarganya sendiri. Penampilan May dan Ratih di publik mengundang dua muslimah lainnya untuk bergabung ke dalam tim GD. Mereka adalah Herlin dan Nabila Wulandari. Wulandari berminat bergabung ke dalam tim barongsai GD karena terinspirasi oleh Ratih sebagai wanita muslim yang lama bergabung bersama tim barongsai. Ratih sampai saat ini masih latihan di tim GD dan terakhir kali juga ikut pertandingan barongsai Camel Cup Hakka Dragon and Lion Dance di Henan, China bersama tim (lihat gambar 2).
Pemerintah Kota Banda Aceh pada awalnya kurang menerima seni budaya liong dan barongsai. Sikap Pemerintah Kota Banda Aceh perlahan mulai berubah ketika YHA sebagai pembina Tim barongsai GD terus melakukan komunikasi untuk menjelaskan seni budaya liong dan barongsai.
Masyarakat dan pemerintah seiring berjalannya waktu sudah dapat menerima seni liong dan barongsai sebagai bagian dari keberagaman di Aceh. Setelah berkarya selama 3 tahun di Banda Aceh, tim GD tidak perlu membuat surat izin lagi bila ingin mementaskan liong atau barongsai. Bahkan, tim barongsai dan liong GD sering diundang baik pihak swasta maupun pemerintah untuk menyemarakkan kegiatan yang mereka selenggarakan seperti karnaval, penyambutan tamu, acara pernikahan, pembukaan usaha, dll. Hal ini menunjukkan bahwa sikap toleransi dan keberagaman di Aceh, khususnya Banda Aceh sudah terbentuk dengan baik.
Barongsai dan liong dapat berbaur dengan seni budaya lokal Aceh melalui kolaborasi seninya. Kesediaan para pelaku seni budaya lokal Aceh untuk berkolaborasi adalah salah satu bukti toleransi dari para pelaku seni budaya di Banda Aceh. Kolaborasi antara seni budaya barongsai dan lokal berhasil membangun rasa ketertarikan sekaligus toleransi masyarakat Banda Aceh. Buktinya, kolaborasi antar seni budaya lokal Banda Aceh dan liong atau barongsai yang dipadukan berhasil mendapat ruang publik.
Terbentuknya FOBI Aceh menandakan sikap pemerintah yang menerima olahraga barongsai di Aceh. Sebagaimana olahraga lainnya, FOBI Aceh juga diberikan dana-dana yang menunjang perkembangan olahraga barongsai di Aceh. Bergabungnya orang-orang Aceh seperti Ratih dan May ke dalam olahraga tim barongsai memperlihatkan bahwa olahraga barongsai adalah milik semua masyarakat Aceh tanpa memandang etnis, agama, ras, ataupun golongannya.[]
Note: Artikel ini merupakan bagian dari buku “Muda, Toleran!: Bagaimana Pemuda-Pemudi Aceh Melihat Keberagaman” yang akan diterbitkan oleh Zawiyah Serambi Ilmu Pengetahuan pada tahun 2020.