Oleh: Harjoni Desky
Ketua Prodi S2 Ekonomi Syariah UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe
Setiap 1 Juli, kita memperingati Hari Bhayangkara—sebuah momentum bukan hanya untuk merayakan kiprah kepolisian, tetapi juga untuk merenungkan kembali relasi antara polisi dan rakyat. Di kota besar, polisi mungkin tampak sebagai bagian dari sistem hukum dan lalu lintas yang kompleks. Namun di desa-desa terpencil, wajah Polri lebih dari sekadar penegak hukum: mereka bisa menjadi guru, penengah sengketa, hingga pelayan kemanusiaan.
Inilah sisi Bhayangkara yang kerap luput dari sorotan media nasional: peran polisi dalam ruang sosial masyarakat desa, tempat hukum dan budaya sering kali berjalan berdampingan.
Potret Inspiratif: Polisi Humanis di Tengah Sawah
Dalam konteks desa, seringkali tidak ada akses cepat ke bantuan hukum, pengadilan, atau bahkan rumah sakit. Ketika konflik tanah meletus, ketika kekerasan dalam rumah tangga terjadi secara tersembunyi, atau ketika anak-anak muda terlibat dalam perjudian online—polisi-lah yang pertama dihubungi. Tapi bukan hanya untuk menangkap atau menindak, melainkan untuk mendamaikan, memberi nasihat, atau sekadar hadir.
Sebuah riset LIPI (2021) mencatat bahwa tingkat kepercayaan masyarakat pedesaan terhadap polisi bisa jauh lebih tinggi dibanding di kota, asalkan pendekatan yang digunakan adalah dialogis dan berbasis kearifan lokal. Ini menunjukkan bahwa peran polisi tidak bisa hanya dilihat dari kacamata prosedural, tapi juga dari sisi sosial dan kemanusiaan.
Namun di sisi lain, ada juga keresahan yang muncul secara diam-diam. Di beberapa desa, keberadaan polisi justru tidak terasa. Polsek yang jauh, tenaga yang terbatas, atau pendekatan yang terlalu birokratis membuat masyarakat enggan melapor. Kasus kekerasan perempuan, pencurian hasil kebun, hingga sengketa warisan sering kali diselesaikan secara adat—tanpa sentuhan hukum formal.
Ini tentu bukan kesalahan sepenuhnya berada di pihak polisi. Tetapi ini mengindikasikan pentingnya reformasi pendekatan pelayanan hukum di tingkat akar rumput. Polisi di desa bukan hanya membutuhkan seragam, tetapi juga pelatihan pendekatan sosial, komunikasi budaya, dan penguatan kapasitas humanis.
Beberapa kisah tetap patut diangkat sebagai inspirasi. Seperti sosok Aipda Ariyanto di pelosok Pidie Jaya, Aceh, yang dikenal sebagai “polisi gampong” oleh warga. Ia tidak hanya menjaga keamanan, tetapi juga menjadi relawan literasi di meunasah, menjadi saksi damai dalam kasus sengketa keluarga, dan bahkan menjadi penghubung masyarakat dengan puskesmas saat pandemi.
Cerita-cerita seperti inilah yang seharusnya diperkuat oleh negara. Polisi yang dekat, mengayomi, dan hadir tanpa intimidasi. Bukan hanya dalam operasi, tetapi dalam kehidupan harian masyarakat kecil.
Jalan Menuju Bhayangkara yang Lebih Humanis
Peringatan Hari Bhayangkara seharusnya tidak sekadar seremoni dan lomba panjat pinang. Ini harus menjadi titik refleksi tentang apa makna “Polisi sebagai pengayom dan pelindung masyarakat” di tengah dinamika zaman. Di tengah menguatnya suara publik mengenai reformasi institusi keamanan, momen ini mestinya menjadi panggilan untuk meninjau kembali orientasi dasar kepolisian: apakah mereka hadir untuk masyarakat atau untuk sistem?
Terlebih lagi, dalam konteks krisis kepercayaan publik yang belakangan semakin kentara—ditandai dengan viralnya kasus-kasus kekerasan aparat, lambannya penanganan kasus hukum di tingkat akar rumput, hingga tumpulnya respons terhadap konflik sosial—kepolisian perlu memperkuat kembali komitmen pada pelayanan yang adil, empatik, dan menyentuh sisi manusia. Di sinilah pendekatan yang humanis dan dialogis menjadi semakin relevan untuk diangkat sebagai strategi utama.
Salah satu pendekatan strategis yang dapat dijadikan pijakan adalah community policing, atau kepolisian berbasis komunitas. Namun sayangnya, pendekatan ini selama ini lebih sering menjadi jargon program daripada praktik yang membumi. Untuk itu, konsep ini harus ditanamkan secara serius sejak proses rekrutmen dan pelatihan awal di institusi pendidikan kepolisian. Polisi harus belajar tidak hanya untuk mengamankan, tetapi juga untuk mendengar keluhan warga, membaca situasi sosial secara utuh, dan menjadi jembatan solusi dalam problematika harian masyarakat.
Beberapa polisi di desa sebenarnya telah memahami dinamika ini. Dalam praktiknya, mereka tidak sekadar membaca pasal-pasal hukum, melainkan memahami konteks budaya dan relasi sosial setempat. Namun keberhasilan mereka sering kali bersifat individual dan situasional. Tidak sedikit pula yang akhirnya terjebak dalam ketidakberdayaan sistemik, karena minimnya pelatihan lanjutan, kurangnya sarana operasional, serta dukungan struktural yang belum memadai. Upaya membangun relasi sosial dengan masyarakat menjadi tersendat ketika institusi tempat mereka bernaung tak memberikan dukungan optimal.
Masalah ini diperparah oleh ketimpangan sumber daya manusia di berbagai wilayah, terutama di daerah-daerah terpencil. Fakta lapangan menunjukkan bahwa rasio polisi di beberapa kabupaten Indonesia bagian timur sangat tidak ideal. Menurut data Kompolnas (2022), ada wilayah yang hanya memiliki rasio 1 polisi untuk setiap 3.000 hingga 4.000 warga, jauh dari standar ideal WHO untuk petugas layanan publik. Ini artinya, beban tugas seorang polisi desa menjadi sangat berat—tidak proporsional dengan kompleksitas tugas yang harus mereka tangani.
Polsek-polsek di wilayah perbatasan atau kepulauan bahkan ada yang hanya diisi oleh satu atau dua orang personel. Mereka harus merangkap semua peran, mulai dari kepala SPKT, penyidik, pengatur lalu lintas, hingga penghubung ke perangkat desa. Dalam kondisi seperti ini, sangat sulit membayangkan bahwa fungsi-fungsi kepolisian yang kompleks bisa dijalankan secara optimal. Ketidakseimbangan inilah yang kemudian menjadi akar dari berbagai persoalan di lapangan, seperti keterlambatan penanganan kasus, rendahnya literasi hukum masyarakat, hingga minimnya ruang dialog antara polisi dan warga.
Dari sinilah muncul pola yang cukup mengkhawatirkan: masyarakat lebih memilih menyelesaikan sendiri masalah mereka—baik melalui mekanisme adat maupun keputusan sepihak. Hal ini bukan karena masyarakat anti terhadap hukum formal, melainkan karena mereka merasa aparat hukum terlalu jauh secara fisik dan emosional.
Namun demikian, di tengah segala keterbatasan, masih ada harapan. Polisi desa yang berhasil menjalankan tugasnya dengan baik biasanya adalah mereka yang tidak mengandalkan otoritas semata, tetapi membangun kepercayaan berbasis pendekatan sosial dan kultural. Mereka diterima bukan karena pangkat atau seragam, tetapi karena mampu menyentuh hati masyarakat. Sayangnya, pola semacam ini belum menjadi arus utama dalam pembinaan polisi. Kurikulum pendidikan di akademi kepolisian masih dominan berorientasi pada aspek teknis dan militeristik, dengan porsi minim untuk pendekatan sosial dan humanistik.
Oleh karena itu, sudah saatnya pendidikan kepolisian dirombak secara mendasar. Institusi pendidikan Polri perlu memberikan ruang lebih besar pada ilmu komunikasi, antropologi, sosiologi, dan resolusi konflik. Ini penting, terutama bagi mereka yang akan ditempatkan di daerah-daerah rural, di mana struktur sosial lebih cair dan norma adat masih hidup. Polisi tidak cukup hanya paham hukum dan senjata, mereka juga harus paham tentang bahasa lokal, ritual budaya, hingga cara berkomunikasi secara persuasif dalam komunitas yang tidak terstruktur secara modern.
Tak hanya itu, dalam banyak kasus, polisi juga dapat menjadi agen literasi hukum dan sosial. Misalnya, melalui kegiatan penyuluhan hukum di sekolah-sekolah, balai desa, hingga tempat ibadah. Hal ini tidak hanya berperan sebagai tindakan preventif terhadap tindak kriminal, tetapi juga menjadi sarana membangun kesadaran hukum yang lebih menyatu dengan nilai-nilai masyarakat.
Inisiatif seperti Polisi Sahabat Anak, Polisi Mengajar, dan Bhabinkamtibmas Literasi adalah contoh-contoh baik dari pendekatan ini. Sayangnya, keberadaan program-program ini masih sporadis dan belum terintegrasi dalam kebijakan nasional. Banyak di antaranya lahir dari inisiatif pribadi polisi di lapangan, tanpa dukungan struktural yang cukup. Padahal, inisiatif semacam ini sangat potensial untuk menjadi model permanen pelayanan Polri yang berbasis kedekatan sosial.
Untuk menjawab tantangan di atas, sudah saatnya kita mengembangkan model Community Policing berbasis desa—yakni pendekatan kepolisian yang dibangun di atas partisipasi warga, nilai lokal, dan dialog aktif antar elemen sosial. Pemerintah bisa mengembangkan format “Polisi Adat” atau “Bhayangkara Desa”, yang tidak hanya bertugas menindak, tapi juga mendampingi masyarakat. Ini bukan hanya memperluas peran kepolisian, tapi juga mengembalikan kepercayaan publik yang selama ini tergerus oleh kasus-kasus kekerasan aparat. Dengan dukungan dana desa, format semacam ini dapat diimplementasikan melalui sinergi antara kepolisian, pemerintah daerah, dan lembaga adat. Bayangkan jika setiap desa memiliki satu Bhayangkara yang bukan hanya berwenang, tetapi juga dipercayai.
Penutup: Refleksi Hari Bhayangkara yang Sesungguhnya
Hari Bhayangkara bukan hanya milik institusi Polri, tetapi milik kita semua. Masyarakat desa memerlukan polisi yang bukan hanya datang saat darurat, tetapi yang hadir dalam kehidupan sehari-hari: saat pasar ramai, saat konflik muncul, saat bencana datang, bahkan saat anak-anak butuh teman belajar.
Maka refleksi yang perlu kita lakukan pada 1 Juli bukan hanya pada angka kasus kriminal atau statistik pengamanan, tetapi pada pertanyaan mendasar: Sudahkah polisi hadir sebagai sahabat masyarakat—terutama mereka yang hidup jauh dari gemerlap kota dan hiruk-pikuk pusat kekuasaan?
Jika jawaban kita jujur, maka kita tahu: tugas Bhayangkara belum selesai. Tapi harapan itu masih hidup—di tengah desa, di balik sawah, bersama rakyat yang masih percaya bahwa negara itu nyata… dalam senyum dan tangan Bhayangkara yang datang bukan untuk menghakimi, tapi menemani. []


















