• Tentang Kami
Sunday, September 28, 2025
SAGOE TV
No Result
View All Result
SUBSCRIBE
KIRIM TULISAN
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Internasional
    • Olahraga
  • Podcast
  • Bisnis
  • Biografi
  • Opini
  • Analisis
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Internasional
    • Olahraga
  • Podcast
  • Bisnis
  • Biografi
  • Opini
  • Analisis
No Result
View All Result
Morning News
No Result
View All Result

Dodaidi yang Kian Sunyi: Mencari Suara Ibu di Tengah Tidur Anak Zaman Kini

SAGOE TV by SAGOE TV
July 11, 2025
in SENI
Reading Time: 7 mins read
A A
0
Dodaidi yang Kian Sunyi: Mencari Suara Ibu di Tengah Tidur Anak Zaman Kini

Putri Zahira. (Foto: dokumentasi pribadi)

Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Putri Zahira

Tulisan ini lahir dari tugas kuliah—sebuah upaya awal memahami tradisi Dodaidi Aneuk melalui pendekatan etnografi seni. Berangkat ke Aceh Barat sebagai pembelajar, penulis mendengarkan kisah para ibu dan nenek, mencatat perubahan, dan perlahan menyusun ulang hubungan antara suara, kasih, dan budaya yang mulai meredup.

Ketika Tradisi Tidak Lagi Terdengar di Rumah Sendiri

Saya tumbuh di tengah kehidupan keluarga Aceh yang tak sepenuhnya asing dari suara-suara tradisi. Ada doa yang dilagukan, ayat suci yang disuarakan lembut menjelang tidur, dan mungkin, di antara itu semua, terselip satu dua bait dodaidi yang tak sempat saya kenali sebagai bagian dari warisan budaya lisan yang lebih besar.

BACA JUGA

Meuseukat & Pho: Bukti Perempuan Aceh Tak Pernah Absen dari Sejarah Seni Islam

Muniru (Kehangatan dan Keakraban) Masyarakat Gayo

Dodaidi Aneuk—lagu pengantar tidur yang sejak lama dikenal dalam masyarakat Aceh—sering disebut sebagai nyanyian penuh nilai: kasih sayang, nasihat, dan harapan yang disampaikan dari ibu atau nenek kepada anak-anak dalam pelukan malam. Tapi saya menyadari, semakin ke sini, dodaidi lebih sering dibicarakan sebagai warisan, ketimbang dipraktikkan sebagai bagian hidup sehari-hari.

Itulah yang mendorong saya meneliti tradisi ini dalam sebuah studi awal etnografi seni. Saya bukan datang sebagai ahli, bukan pula sebagai pewaris langsung, melainkan sebagai mahasiswa yang ingin memahami lebih dalam: bagaimana dodaidi hidup hari ini, di mana ia bertahan, dan sejauh mana ia masih dikenali oleh generasi yang terus tumbuh dalam dunia yang serba cepat dan digital.

Saya memilih Desa Simpang Peut di Kecamatan Arongan Lambalek, Aceh Barat, sebagai titik berangkat. Sebuah kampung yang masih memelihara banyak bentuk adat dan kesenian tradisional, namun juga tidak luput dari pengaruh perubahan zaman. Di sana, saya bertanya, mencatat, dan mendengarkan—bukan hanya tentang syair yang dinyanyikan, tetapi tentang suara yang mulai jarang terdengar.

Apa Itu Dodaidi, dan Kenapa Penting Kita Ingat?

Dodaidi Aneuk adalah jenis syair tradisional Aceh yang sejak dulu dilantunkan sebagai nyanyian pengantar tidur. Namun bagi banyak orang tua di masa lalu, fungsi dodaidi jauh lebih dari sekadar membuat anak terlelap. Ia adalah cara mencintai, cara mendidik, dan cara menyampaikan nilai—tanpa harus menggurui.

Dalam bahasa Aceh, kata dodaidi berasal dari gabungan “doda” yang berarti bergoyang dan “idi” yang berarti berayun. Nama itu sendiri sudah cukup untuk menggambarkan keintiman yang melekat pada tradisi ini. Seorang anak dalam ayunan, digoyang perlahan, dan kemudian diselimuti suara ibu atau nenek yang melagukan syair berisi harapan dan petuah. Syair yang mengalir terkadang lembut, sering pula getir, namun selalu hangat dan membekas.

Syair dodaidi biasanya terdiri dari empat baris dalam satu bait (kuplet), dengan pola sajak yang sederhana—baik a-a-a-a maupun a-b-a-b. Bentuk ini memungkinkan syairnya mudah diingat, mudah diulang, dan cocok untuk mengalun dalam irama pelan. Seperti penggalan yang masih kadang-kadang terdengar hari ini:

La ilaha illallah Aneuk mamak beu rayeuk bagah,

La ilaha illallah Aneuk mak beu meutuah.

(Satu kalimat tauhid yang mengiringi harapan: semoga anak ibu tumbuh besar, dan menjadi anak yang baik.)

Baca Juga:  Deputi Kemenko PMK Tinjau Venue PON di Aceh

Syair-syair ini anonim, tidak diketahui siapa penciptanya. Ia tumbuh dari lisan, diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa buku, tanpa rekaman. Justru di situlah kekuatannya,  hidup dalam tubuh, dan dalam relasi. Ibu menyanyikan cinta untuk anaknya. Dodaidi adalah contoh nyata bagaimana seni, pendidikan, dan kasih sayang bisa hadir dalam satu momen yang sangat manusiawi.

Namun seiring waktu, bentuk dan fungsi dodaidi mulai tergeser. Hari ini, banyak orang tua lebih memilih memutar murottal, selawat digital, atau bahkan lagu anak di ponsel pintar untuk menemani anak tidur. Syair yang dulu diwariskan melalui suara kini tergantikan oleh file audio. Dan syair empat baris itu—yang bisa membawa cinta dan nilai hidup seumur anak bertumbuh—pelan-pelan menghilang dari malam-malam di rumah-rumah Aceh.

Catatan Mahasiswa di Simpang Peut

Desa Simpang Peut di Kecamatan Arongan Lambalek, Aceh Barat, menjadi tempat pertama saya benar-benar mencoba menjalani proses etnografi. Saya datang bukan sebagai peneliti yang serba tahu, tetapi sebagai mahasiswa yang masih belajar mendengar. Dan di sini, saya mendengar banyak hal—tentang perubahan, tentang kebiasaan yang luntur, juga tentang suara yang perlahan hilang dari malam-malam rumah Aceh.

Saya berbincang dengan seorang ibu muda yang ramah. Di ruang tamu rumah panggung yang sederhana, sambil sesekali membetulkan posisi anaknya yang tertidur di ayunan elektrik, ia berkata:

“Kalau neneknya, mama saya, banyak syair zaman dulu. Tapi kami mamak muda sekarang? Gak ada! Kayak gak ada semangat menerapkan lagi. Jadinya ya gitu… gak melestarikan dari mamak kita.”

Lalu ia tertawa ringan. Saya ikut tertawa, tapi dalam hati, saya mencatatnya sebagai satu bentuk kenyataan yang barangkali sedang dialami banyak keluarga. Tradisi memang tidak selalu hilang karena ditolak. Kadang ia surut karena tak sempat diajarkan, atau tak lagi dianggap penting.

Ibu itu melanjutkan,

“Kalau anak susah tidur, ya tinggal hidupin speaker. Ngaji atau selawat. Kadang hidup terus sampai subuh.”

Lalu, dengan nada setengah bercanda tapi serius, ia menyimpulkan,

“Speaker sekarang lebih dipercaya dari suara sendiri.”

Saya mencatat kalimat itu sambil menunduk sedikit. Di antara semua kutipan yang saya kumpulkan hari itu, mungkin itulah yang paling jujur dan menohok. Di balik kepraktisan dan kemudahan teknologi, tersimpan jarak yang semakin melebar antara generasi muda dan warisan lisan yang dulu begitu hidup.

Narasumber lain menceritakan pengalaman dengan anak ketiganya.

“Kalau dengan neneknya tuh, cepat tidur. Tapi kalau sama saya? Susah. Mungkin karena udah terbiasa dengan dodaidi dari neneknya.”

Pengakuan itu menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar cara menidurkan anak. Ada kedekatan emosional yang dibangun dari lantunan suara. Bukan hanya anak yang merasa nyaman, tetapi hubungan antara generasi juga jadi lebih dalam.

Meski begitu, tidak semua narasumber memiliki pengalaman atau ingatan yang jelas tentang dodaidi. Ada ibu muda yang terlihat bingung ketika saya tanyakan bagaimana bentuk atau syair dodaidi yang ia ketahui.

“Pernah dengar kayaknya. Tapi gak tahu pasti. Gak pernah belajar.”

Respons itu bukan bentuk penolakan. Justru sebaliknya, ia tampak malu karena merasa tidak tahu cukup banyak tentang sesuatu yang seharusnya dekat.

Baca Juga:  Rubrik Seni Sagoe TV

Di satu titik wawancara, saya bertanya, “Masih adakah yang mendodaidi anak sekarang?”

Seorang ibu menjawab singkat,

“Hana. Hana di teupeu ladom di gop.”
(Tidak. Tidak banyak yang tahu.)

Tapi ketika saya tanya apakah penting mempertahankan tradisi ini, jawabannya justru sangat reflektif:

“Penting… tapi orang banyak yang gak mau.”

Di balik kejujuran narasumber-narasumber itu, saya merasakan satu hal yang kuat: Dodaidi belum sepenuhnya hilang. Ia masih dikenang. Ia masih dianggap berharga. Tapi jalan untuk menghidupkannya kembali memang tidak mudah—karena tradisi bukan hanya soal mengingat, tapi juga soal kemauan untuk mempraktikkan kembali, dengan cara baru yang tetap berakar.

Saat Lagu Ibu Digantikan Teknologi

Perubahan memang tak bisa dihindari. Ia tidak datang dengan gegap gempita, tapi perlahan dan tanpa banyak pertanyaan. Dalam banyak rumah tangga hari ini, termasuk di desa tempat saya melakukan observasi, Dodaidi Aneuk bukan lagi bagian dari rutinitas tidur anak-anak. Bukan karena mereka menolak tradisi itu, tapi karena kehidupan menawarkan cara-cara baru yang terasa lebih cepat dan praktis.

Ayunan listrik, speaker Bluetooth, video pengantar tidur di YouTube—semua itu kini menjadi pengganti suara ibu. Murottal dan selawat yang terus mengalun dari perangkat digital memang menenangkan, tetapi di balik semua itu, ada suara yang perlahan tak lagi terdengar, yakni: suara manusia yang menyanyikan kasih.

Ayunan listrik memang praktis, tapi tak mengajarkan anak tentang suara kasih.

Di lapangan, saya menemukan bahwa banyak ibu muda mengakui mereka tidak lagi menyanyikan dodaidi untuk anak-anak mereka. “Nyalain speaker aja,” kata salah satu narasumber, “bisa sambil nyuci, sambil beresin rumah. Anak tidur sendiri.” Tak ada nada penyesalan dalam suaranya, tapi juga tak ada kebanggaan. Hanya pengakuan atas kebiasaan baru yang mereka rasa wajar saja.

Namun, yang membuat saya terdiam bukan hanya pergeseran teknologinya, melainkan pergeseran relasinya. Dodaidi bukan hanya alat bantu tidur. Ia adalah bentuk interaksi antara orang tua dan anak. Saat suara digantikan rekaman, dan waktu digantikan oleh efisiensi, maka yang tergeser bukan hanya bunyi, tapi juga kedekatan.

Seorang ibu bahkan berkata bahwa anaknya yang biasa didodaidi oleh neneknya justru lebih nyaman bersama nenek dibanding dengan ibunya sendiri. Ada sesuatu dalam suara yang dikenal dan berulang, sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh teknologi, seberapa pun canggihnya.

Tradisi lisan seperti dodaidi menyimpan bukan hanya nilai budaya, tetapi juga ritme keintiman.

Di tengah gelombang modernisasi, tradisi memang harus bernegosiasi. Tapi apakah semuanya harus dikalahkan oleh yang lebih cepat dan lebih praktis? Atau justru kita perlu mencari ulang makna dari hal-hal yang tampak sederhana, tapi sebenarnya punya kedalaman luar biasa?

Saya tidak menemukan jawaban mutlak untuk pertanyaan itu. Tapi saya tahu satu hal: suara ibu—dengan segala ketidaksempurnaannya—punya tempat yang tak tergantikan. Dan jika dodaidi masih menyimpan ruang itu, maka barangkali, bukan hanya warisan yang sedang dipertaruhkan, melainkan juga bentuk paling awal dari cinta yang diucapkan dalam bahasa sendiri.

Belajar Merasakan Tradisi Lewat Cerita Orang Lain

Sebelum penelitian ini saya mulai, Dodaidi Aneuk mungkin pernah terdengar—entah dari potongan syair yang dilantunkan nenek, dari kaset lama yang sempat diputar di rumah, atau dari suara-suara latar yang tak sempat saya beri perhatian. Tapi baru setelah mendengarkan cerita para ibu dan nenek di Simpang Peut, saya merasakannya hadir sebagai sesuatu yang utuh. Ia bukan sekadar suara, melainkan sikap hidup. Cara seseorang memberi kasih, mendidik dengan lembut, dan mewariskan nilai tanpa suara keras atau buku tebal.

Baca Juga:  Mutiara Hasanah Dapat Dukungan Penuh dari Wali Kota Banda Aceh

Proses mendengar—dalam arti yang sebenarnya—menjadi inti dari pengalaman ini. Mendengar dengan sabar, mencatat tanpa menyela, dan membiarkan cerita orang lain menggugah hal-hal yang mungkin selama ini hanya samar-samar saya pahami. Dari satu narasumber ke narasumber lainnya, saya mulai menyadari bahwa dodaidi adalah bentuk seni yang tidak hanya hidup dalam teks, tetapi dalam relasi. Ia tidak bisa berdiri sendiri. Ia hidup dalam tubuh, dalam suasana, dalam waktu yang diberi.

Penelitian ini sederhana. Data yang saya kumpulkan pun belum banyak. Tapi dari yang sedikit itu, saya justru merasa menemukan hal besar: bahwa tradisi bisa begitu halus menghilang, dan justru karena itu, kita harus lebih halus lagi dalam merasakannya. Bukan untuk menyelamatkan sebagai proyek besar, tapi untuk merawatnya dalam kehidupan kecil yang kita jalani.

Saya tidak merasa sudah tahu banyak. Tapi saya merasa lebih dekat. Dan itu, bagi saya, adalah awal yang penting.

Pelan-pelan, Kita Bisa Menyanyikan Ulang

Dari semua hal yang saya pelajari selama meneliti dodaidi, satu hal yang paling saya ingat adalah bahwa tradisi tidak butuh panggung megah atau seremoni besar untuk tetap hidup. Ia hanya butuh ruang kecil, suara yang tulus, dan seseorang yang mau melanjutkan—meski pelan-pelan.

Kita tidak harus kembali sepenuhnya pada cara lama. Dunia berubah, dan kita juga berubah bersamanya. Tapi bukan berarti kita harus meninggalkan semua yang pernah membuat kehidupan kita lebih dekat dan manusiawi. Jika dulu syair dodaidi diturunkan dari mulut ke mulut, mungkin hari ini ia bisa dihidupkan kembali dari cerita ke cerita. Dari satu ibu ke ibu lainnya. Dari seorang nenek ke seorang cucu. Atau dari seorang mahasiswa yang menulis tugas kuliah, ke siapa saja yang kebetulan membaca tulisan ini.

Karena mungkin, cukup satu orang yang menyanyikan kembali syair itu—walau pendek, walau pelan—untuk membuat tradisi ini tidak benar-benar hilang. Dan mungkin, di masa depan, akan ada lebih banyak anak Aceh yang tertidur bukan hanya dengan suara mesin, tetapi juga dengan suara yang mereka kenali: suara ibu yang menyampaikan kasih, dalam bahasa sendiri. []

Tentang Penulis:

Putri Zahira adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni, Universitas Syiah Kuala. Lahir dan besar di Aceh Barat, ia memiliki ketertarikan mendalam pada seni rupa sebagai medium eksplorasi visual dan ekspresi diri. Selain aktif memperdalam pemahaman seni pertunjukan di lingkungan kampus, ia juga mengembangkan minat pada seni gambar dan praktik visual kontemporer. Sebagai calon pendidik seni, ia percaya bahwa pendidikan seni tidak hanya membentuk keterampilan artistik, tetapi juga membangun kepekaan, imajinasi, dan cara berpikir reflektif dalam menghadapi dunia yang terus berubah.

Kurator naskah:
Ari J. Palawi

Tags: acehAnakArtikelBudayaDodaidiIbuLaguopiniSeniSuara
ShareTweetPinSend
Seedbacklink
SAGOE TV

SAGOE TV

SAGOETV.com adalah platform media digital yang memberi sudut pandang mencerahkan di Indonesia, berbasis di Banda Aceh. SAGOETV.com fokus pada berita, video, dan analisis dengan berbagai sudut pandang moderat.

Related Posts

Aceh Dua Dekade Damai: Seremoni Berlimpah, Substansi Terlupa
SENI

Meuseukat & Pho: Bukti Perempuan Aceh Tak Pernah Absen dari Sejarah Seni Islam

by SAGOE TV
September 26, 2025
Muniru (Kehangatan dan Keakraban) Masyarakat Gayo
SENI

Muniru (Kehangatan dan Keakraban) Masyarakat Gayo

by SAGOE TV
September 12, 2025
Penyuka Musik Metal Cenderung "Setia"
SENI

Penyuka Musik Metal Cenderung “Setia”

by SAGOE TV
August 30, 2025
Mencari Minat Generasi Muda terhadap Museum di Tanah Rencong
SENI

Mencari Minat Generasi Muda terhadap Museum di Tanah Rencong

by SAGOE TV
August 27, 2025
Di Antara Mesin dan Jiwa Menyiapkan Fondasi Kreatif di Era AI
SENI

Di Antara Mesin dan Jiwa: Menyiapkan Fondasi Kreatif di Era AI

by SAGOE TV
August 16, 2025
Load More

POPULAR PEKAN INI

Cerita dari Konferensi Perdamaian Perempuan Internasional 2025

Cerita dari Konferensi Perdamaian Perempuan Internasional 2025

September 24, 2025
Lima Ilmuwan PTKIN Masuk Top 2% Scientist Stanford–Elsevier 2025, Dua dari UIN Ar-Raniry

Lima Ilmuwan PTKIN Masuk Top 2% Scientist Stanford–Elsevier 2025, Dua dari UIN Ar-Raniry

September 23, 2025
Obituari Adun Baha; Guru Inspirator Kami

Obituari Adun Baha; Guru Inspirator Kami

September 22, 2025
Akademisi dan Aktivis Aceh, Dr. Tgk Baharuddin AR, Berpulang ke Rahmatullah

Akademisi dan Aktivis Aceh, Dr. Tgk Baharuddin AR, Berpulang ke Rahmatullah

September 22, 2025
Pandai Merasa Bukan Merasa Pandai

Tantangan Berhukum dengan Cinta: dari MoU ke UUPA

September 27, 2025
USK Buka Pendaftaran Calon Rektor

USK Buka Pendaftaran Calon Rektor

September 23, 2025
100 Tahun Hasan Tiro

100 Tahun Hasan Tiro

September 26, 2025
Enam Dosen USK Masuk 2% Top Saintis Dunia

Enam Dosen USK Masuk 2% Top Saintis Dunia

September 23, 2025
Malaysia Rayakan Hari Kebangsaan dan Hari Malaysia 2025 di Medan

Malaysia Rayakan Hari Kebangsaan dan Hari Malaysia 2025 di Medan

September 25, 2025

EDITOR'S PICK

Rektor Universitas Almuslim: Ada Tiga Masalah Utama Dihadapi Aceh Saat Ini

Rektor Universitas Almuslim: Ada Tiga Masalah Utama Dihadapi Aceh Saat Ini

March 4, 2025
Peneliti BRIN Kunjungi Zawiyah Teungku Chik Tanoh Abee

Peneliti BRIN Kunjungi Zawiyah Teungku Chik Tanoh Abee

August 19, 2025
IO UIN Ar-Raniry Luncurkan Buku dan Film Dokumenter Study Visit Mahasiswa ke Jerman

IO UIN Ar-Raniry Luncurkan Buku dan Film Dokumenter Study Visit Mahasiswa ke Jerman

May 25, 2025
Program Kerja Kemenag Harus Selaras dengan Visi Nasional

Program Kerja Kemenag Harus Selaras dengan Visi Nasional

January 26, 2025
Seedbacklink
  • Redaksi
  • Kontak Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Iklan
  • Aset
  • Indeks Artikel

© 2025 PT Sagoe Media Kreasi - DesingnedBy AfkariDigital.

No Result
View All Result
  • Artikel
  • News
  • Biografi
  • Bisnis
  • Entertainment
  • Kesehatan
  • Kuliner
  • Lifestyle
  • Politik
  • Reportase
  • Resensi
  • Penulis
  • Kirim Tulisan

© 2025 PT Sagoe Media Kreasi - DesingnedBy AfkariDigital.